Bukan Penulis (Part 1)

Cerpen, Fiksiana479 Dilihat

Jenuh seringkali melanda, aku biasanya hanya memainkan game untuk mengusirnya. Apalagi seperti saat ini, rindu bercampur jenuh sudah hampir sepekan aku tidak bisa kemana – mana. Bukan karena kantong lagi kosong alias bokek kata teman – temanku. Tapi naas tidak ada yang tahu, kemaren sore setelah pulang dari kongkow, tak ada pertanda tiba – tiba  aku terserempet motor lumayan sich tapi tidak parah tapi ini membuat kakiku susah digerakkkan. Kata dokter engselnya tergeser walhasil kakiku harus digips.

 

Kantor  memberikan izin 3 hari karena ada surat dokter, akhirnya aku berakhir di kamar sendiri. Semua punya kesibukan masing – masing, biasanya aku yang meninggalkan mereka lebih memilih berkumpul bersama teman – teman walaupun sebenarnya aku bisa berkumpul bersama keluargaku.

Entahlah sejak kejadian itu, aku lebih memilih untuk menghindari keluargaku aku, terlalu sakit jika harus mengingat hal itu.

“Tahun ini kamu tidak bisa kuliah, Ayah tidak punya dana. Kamu harus mengerti itu.” suara Ayah memecahkan semua impian dan cita – citaku menjadi kepingan kaca yang tidak mungkin bisa disatukan lagi.

Sudah 2 tahun berlalu tapi aku masih merasakan sakit itu, apalagi Ayah tidak menepati janjinya.

“Ila, harus mengerti adikmu mendapatkan SMPTN dari sekolahnya, jika tidak diambil kata walikelasnya untuk tahun depan sekolah akan diblacklist.”

“Tapi Ayah, sebelum mengikuti seleksi itu semua orang tua dan siswa akan ditanya kesiapannya, berarti Ayah punya dana untuk kuliah Lia. Tapi kenapa tidak ada dana untuk kuliahku.” Intonasi suaraku sedikit meninggi

“Ila jaga ucapanmu.” Aku mendengar suara Ibu memahariku karena aku membangkang Ayah

“Sekarang Ila sudah kerja, ikut UT saja. Sayang kalau kerjanya ditinggalkkan, mana gajinya besar lagi dengan  dan Ila tidak perlu meninggalkan Ayah dan Ibu.” Ibu memberikan pendapatnya.

Aku selalu harus mengalah dengan Adikku Lia, sejak kecil semua harus aku berikan kata Ibu aku anak tertua harus selalu mengalah itu tandanya kakak yang baik. Aku masih ingat bagaimana aku di marah habis – habisan oleh Ayah hanya karena aku tidak mendapatkan rangking kelas.

“Kamu itu harusnya menjadi contoh Adikmu Ila, jangan hanya main saja nanti Adikmu mengikuti jejakmu. Ayah tidak mau anak – anak Ayah, menjadi orang yang gagal.” Hatiku sedih itu ketika aku duduk di kelas 8 SMP.

***

Aku Shakila, umurku baru 19 tahun baru dua tahun aku lulus SMA. Setelah lulus SMA sebenarnya aku punya cita – cita untuk menjadi arsitek sepertinya keren cewek jadi arsitek. Film – film yang sering aku tonton selalu menceritakan bagaimana kehidupan seorang artitek. Aku selalu suka mengambar, apalagi mengambar 3 demisi dari bagunan yang menurutku keren banget. Tapi cita – citaku kandar, karena kata Ayah dia tidak punyak dana untuk kuliahku. Trus kenapa Ayah selalu memaksaku untuk rajin belajar, sehingga rangking 1 tidak pernah lepas dari tanganku, hanya sekali aku berarti di rangking 2 itupun harus dimarah habis – habisan oleh Ayah.

Sekarang adikku boleh kuliah, perekonomian kami seperti tidak berubah dari 2 tahun lalu tapi kenapa sekarang Lia adikku bisa kuliah. Pikiran itu seperti menari – nari di pikiranku, tapi percuma jika aku berdebat dengan Ayah dan Ibu.

Seperti kemaren sore bukannya mereka iba dengan keadaanku, yang ku dapat kata – kata Ayah yang sangat membuatku merasa aku bukan anak Ayah dan Ibu

“Ila, apa yang kau fikikan bukannya lebih baik kau pulang langsung kerumah daripada harus kongkow dengan temanmu lihat apa yang kau dapat?” hanya menyusahkan Ayah dan Ibu saja tidak bisa sedikitpun kau membantu meringankan beban Ayah.” Seperti bom yang meledakkan teligaku mendengar perkataan Ayah, ibu hanya terisak melihat kondisiku

“Lihat dirimu hanya bisa membuat Ibu menangis.” Bentak Ayah (bersambung)

Tinggalkan Balasan