Bukan Penulis (Part 2)

Cerpen, Fiksiana255 Dilihat

Tidakkah Ayah tahu kenapa aku selalu memilih di luar dari berkumpul di rumah bersama Ayah, Ibu,dan Lia. Setiap kami berkumpul selalu saja Ayah mencari kekuranganku, dan Ibu selalu diam. Dan itu terjadi sejak Lia adikku masuk sekolah, ya beda kami 3 tahun, tahun pertama aku masuk sekolah Ayah tidak pernah membedakan Aku dan Lia malah Ayah selalu memujiku dan mengingatkan Lia untuk selalu seperti aku. Tentu aku merasa bangga, betapa tidak Ayah sangat sayang kepadaku dan selalu meminta Lia menjadi seperti diriku. Aku kecil tentu merasa tersanjung dan sangat di sayang.

Tapi sejak Lia masuk sekolah, aku melihat perubahan Ayah. Apalagi Lia baru di kelas 3 bisa membaca dengan lancar, tentu saja prestasi Lia di bawahku. Tapi bukannya Lia yang dimarah Ayah tapi aku yang selalu disalahkan Ayah. Aku masih ingat betapa marahnya Ayah setelah mengambil rapot kami waktu itu

“Ila bukankah Ayah sudah memintamu untuk mengajar dan melatih Lia supaya lancar membacanya, atau kau memang sengaja supaya Lia mendapatkan banyak nilai merah.” Bentakan Ayah membuat aku kecil menangis dan sangat ketakutan. Hanya pelukan Ibu saat itu yang bisa membuatku tenang. Tapi Ibu juga dimarah Ayah

“Jangan kau manjakan Ila, nanti melunjak. Sana tenangkan Lia, dia malu mendapatkan nilai merah.” Perintah Ayah kepada Ibu, Ibu terpaksa melepaskan pelukkanya kepadaku dan pergi mendapatkan Lia. Aku menagis di sudur ruangan karena melihat masih ada amarah Ayah ketika memandangku.

“Tetap berdiri disitu sampai kau tahu kesalahanmu.” Bentak Ayah sambil berlalu meninggalkanku.

Aku tidak tahu salahku dimana waktu itu, aku menangis sampai tertidur waktu itu. dan kenangan itu selalu membayang jika Ayah marah kepadaku.

***

Hari ini aku sebenarnya masih belum masuk kerja, sehabis cek kemaren sore aku mendapatkan surat tambahan istirahat dari dokter. Untungnya aku pergi sendir sehingga Ibu tidak perlu tahu jika sebenarnya aku masih disuruh untuk istrirahat karena masih bengkak pada engsel kakiku. Tapi lebih baik aku ke kantor daripada melihat pandangan sinis Ayah. Aku masih mengingat kata – kata Ayah sewaktu aku terserempet kemaren.

Pagi ini aku mendengarkan perkataan Ibu kepada Ayah

“Yah, Ila masih belum bisa bawa motor tapi Ila harus masuk kerja. Ayah antar Ila ke kantornya Ya.”

“Ila bukan anak kecil, dia bisa mengatasi masalahnya sendiri. Siapa suruh dia kelayapan sepulang kantor. Cari penyakit sendiri.” Ucapan Ayah sangat menyakiti hatiku.

Aku memesan ojek Online, aku hanya membutuh tongkat untuk membantu berjalan itu saja.

Aku mendengar klason dari arah depan rumahku, pasti ojek online pesananku sudah datang. Aku pamit kepada Ibu, tak seperti biasanya aku meraih tangan Ibu dan menciumnya sebelum aku berangkat kerja. Tapi hari ini karena aku harus memegang tongkat, aku hanya mengucapkan salam kepada Ibu dan berlalu menuju depan.

Sepanajang perjalan ke kantor aku berfikir, apakah Aku salah jika merasa tersinggung dan marah kepada Ayah, karena sikap Ayah menurutku sudah terlalu. Tidak ada orang yang mau kecelakaan apalagi aku hanya karena apes aku terserempet motor. Mungkin jika motornya di pacu dengan laju aku sudah mati fikirku, tapi karena pelan aku hanya terkilir di kaki saja. dank arena itu Ayah marah seperti aku yang bersalah. Belum lagi tidak sepeserpun Ayah harus mengeluarkan dana untuk itu. orang yang menabrakku yang membiayai semua perawatanku karena ia merasa yang bersalah dalam hal ini. Aku sungguh tidak habis fikir dengan Ayah.(Bersambung)

***

Tinggalkan Balasan