Bukan Penulis (Part akhir)

Cerpen, Fiksiana10 Dilihat

Hampir setengah hari Ibu di rumah, setelah Ibu aku hanya menduga – duga apa yang terjadi dengan Ayah. Sampai segitunya Ayah depresi dengan kepergian Lia, walaupun Aku bukan anak Ayah tapi aku sangat menyayangi Ayah, karena dari Aku bayi sosok laki – laki yang aku kenal sebagai Ayah hanya dirinya. Aku bersyukur Ayah sudah mau membesarkanku mungkin Aku tidak akan tahu Aku bukan anak Ayah jika Ayah tidak berubah sikap kepadaku.

Bunyi sirene terdengar aku berdiri dari dudukku, berjalan menuju jendela depan rumah. Aku berdoa dalam hati semoga ambulance itu tidak menuju arah rumahku, walaupun Ayah terlalu melukai hatiku aku tidak mau dia meninggalkan Ibu, kebahagian Ibu  dimana Ayah selalu ada disampingnya, kebahagianku dengan melihat Ibu bahagia maka Aku akan bahagia.

Ya Allah, ternyata ambulance berhenti tepat di depan rumahku. Pintu ambulance terbuka, Aku melihat Bang Jamal memapah Ibu yang ku bagaikan mayat hidup meratap terisak. Tidak tidak Ayah tidak boleh pergi, aku membuka pintu depan tak ku pedulikan kakiku yang masih di gips aku berlari mendapatkan Ibu dan memeluknya

“Ibu.” Belum habis kalimatku aku mendengar suara Ibu serak berkata

“Ayah sudah menyusul Lia.” Ibu mempererat pelukan kami.

Ibu dan Aku berpelukan melihat bang Jamal dan beberapa tamu yang sudah berdatangan menurunkan mayat ayat dan membawanya masuk kedalam rumah. Ibu dan Aku terduduk lemas di ruang tengah rumah, kami membiarkan tetangga yang membantu segala keperluan untuk pemakan Ayah, Aku tidak bisa berbuat banyak dengan kakiku yang masih di gips. Ibupun sudah kehilangan tenaganya belum juga kami berduka atas perginya adikku Lia sekarang kami dihadapkan dengan kepergian Ayah.

***

Malam ini, hanya tinggal Ibu dan Aku setelah semua orang pulang dari tahlilan buat Ayah dan Lia. Ibu lama memandangku, melebarkan tangannya untuk memelukku, aku mendekat dan meraih badan Ibu. Kami berpelukan, elusan lembut tangan Ibu dikepalaku membuatku bertanya dalam hati, apakah ibu baik – baik saja. belum sempat aku bertanya, aku mendengar suara Ibu

“Ila, Ibu yakin Ila pasti mendengar pertengkaran Ibu dan Ayah.” Aku hanya menganggukkan kepalaku.

“Sebaiknya Ibu menceritakan semuanya, biar Ila tidak membenci Ayah. Walaupun Ayah bukan Ayah kandung Ila, tapi Ibu yakin Ayah menyanyangi Ila. Tapi Ayah terlalu keras kepala dan hati untuk mengakuinya.” Ibu memulai ceritanya

“Ibu bertunang dengan Ayah, kami sudah menetapkan tanggal pernikahan kami tapi Ayah diberhentikan dari perusahan tempat Ayah bekerja. Ayah depresi takut keluarga Ibu memutuskan pertunangan kami karena sebelumnya keluarga Ibu menentang hubungan kami. Ayah pergi meninggal Ibu, untungnya Abang Ayah, Ayahmu Ila mau menikahi Ibu untuk menutup malu. Ibu tidak punya pilihan lain, Ibu tidak mau atok nenekmu malu jika Ibu tidak jadi menikah. Selama 2 tahun Ibu menata hati Ibu untuk menerima Ayahmu Ila, akhirnya Ibu hamil setelah 2 tahun menikah dengan Ayahmu. Malang tidak dapat di tolak, Ayahmu meninggal karena kecelakan dan bersamaan dengan itu Ayah Lia pulang. Ibu baru mengandung 2 bulan, Atok dan Nenek sebelah Ayahmu meminta Ayah Lia untuk menikahi Ibu. Ibu sempat menolak permintaan mereka, tapi Ayah Lia menyakinkan Ibu kalau Ayah Lia merasa bersyukur jika yang menikahi Ibu adalah Abangnya. Semuanya berjalan dengan baik, tapi semenjak Ibu melahirkan Lia, Ayah berubah dia selalu mengatakan jika melihat Ila ia merasa Ibu menghianitinya dengan menikahi abangnya. Selalu saja Ayah Lia mengatakan kenapa Ibu tidak menunggu Ayah pulang, Ayah Lia begitu egois. Jika tidak memikirkan Ila Ibu tentu tidak akan mau menikah dengan Ayah Lia. Ayah Ila dan Ayah Lia sangat bertolak belakang dalam hal sifat, Ayah Ila sangat bijaksanan dan penuh kematangan dalam pikiran tidak seperti Ayah Lia yang selalu mengikuti emosinya sehingga kadang cendrung ceroboh. Ayah Lia selalu mau menang sendiri. Tapi itulah cinta dan jodoh mungkin kerena Ibu jodoh Ayah Lia akhirnya walaupun Ibu sudah menikah dengan kakaknya tetap saja Ibu bisa menikah dengan Ayah Lia. Ibu tidak pernah menyesalinya tapi susah untuk mengingatkan bahkan merubah keegoisan Ayah Lia.

Semenjak Lia SMP dan tidak secerdas dirimu, Ayah selalu mengungkit – ungkit bagaimana Ayah Ila selalu menjadi prioritas keluarga sementara Ayah Lia selalu merasa di anak tirikan oleh keluarganya. Dan Ayah Lia merasakan hal yang sama dengan dirinya, sehingga untuk melindungi Lia, Ayah Lia selalu memarahi Ila karena menurutnya Ila tidak mau Lia membimbing Lia menjadi seperti Ila.

Ibu sudah berkali – kali mengingatkan dan menasehati Ayah untuk merubah sikapnya terhadap Ila dan tidak memanjakan Lia tapi sia – sia. Mungkin ini nasib Ibu harus kehilangan suami untuk yang kedua kalinya. Tapi ada rasa ragu dihatiku sehingga aku bertanya kepada ibu setelah Ibu menyelesaikan ceritanya.

“Bu, setahu Ila Ayah tidak punya riwayat sakit. Kenapa Ayah mendadak meninggal bu?”

Jangan berfikir macam – macam La, biarkan Ayah tenang bersama Lia, kita hanya mendoakan mereka tenang di sana dan kita harus menata hidup kita untuk terus hidup dengan menjadi orang yang bertaat di sisa hidup kita. Ibu meriahku dalam pelukannya, kami berpelukan semoga hidup kami ke depan lebih baik. Amin.***.

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan