Kabut Kehidupanku (1)

Terkukung di antara diding empat segi, mungkin hanya beberapa orang yang merasakannya. Aku ada di dalamnya, duniaku sempit dan sangat menyiksa. Aku mendengar suara dan melihat cahaya di celah – celah dinding kamar, suara yang aku perkiraankan ramai hanya mereka yang tahu rasanya sementara aku selalu dalam kegelapan, kesunyian dan sendiri.

“Dindaaaaa, belum juga kau kerjakan apa yang aku suruh?” teriakkan yang selalu aku dengar, padahal aku masih belum selesai mengerjakan apa yang dia suruh. Bergegas aku menghampirinya dengan tangan yang berlumuran sabun serta membawa salah satu baju yang harus aku cuci.

“Masih mencuci, kapan masaknya. Ibu sudah lapar, kau mau membuat ibu  mati kelaparan?”

“Ibu mau Dinda meneruskan mencuci atau memasak sekarang.” Ku coba menjawab pertanyaanya.

“Sudah berani menjawab rupanya upik abu ini.” Sakit sekali rasanya dipanggil upik abu oleh orang yang seharusnya melindungiku sebagai seorang Ibu.

“Masih lama nyucinya?” aku hanya mengangukkan kepala saja.

“Sana belikan Ibu nasi bungkus, ibu sudah lapar. Nanti sambung lagi nyucinya.” Sambil ibu menyerahkan lembaran uang yang hanya cukup untuk membeli 1 nasi bungkus saja.

“Untuk Dinda tidak ada bu?” aku juga lapar dari pagi belum ada yang masuk ke dalam perutku, bahkan teh hangat saja belum.

“Kamu masak saja sendiri setelah nyuci nanti.” Teganya padahal dari subuh Ibu hanya berbaring santai di depan TV sambil tersenyum – senyum sendiri seperti orang gila.

“Sana pergi, kenapa masih berdiri disitu.” Suara Ibu yang membuatku merasa muak dan benci. Berjalan menuju dapur mencuci tangan yang penuh dengan sabun. Merapikan baju dan mengambil kerudungku berjalan menuju warung makan yang tidak berapa jauh dari rumah. Selalu begini jika Ayah tidak ada di rumah aku seperti upik abu dibuat oleh ibuku.

Entahlah aku tidak tahu apa yang membuatnya sangat membenciku, jika ayah ada Ibu bagaikan peri cantik yang sangat menyayangiku bahkan untuk turun ke tanah aku akan dibentangkan karpet merah supaya kakiku tidak kotor oleh tanah dibawahnya.

“Dinda, beli nasinya 1 bungkus saja?” aku menganguk menjawab pertanya bu Wati yang sudah sering aku datangi untuk membeli nasi bungkus.

“Lauk rendang seperti biasanya dengan kuah banyak?” sekali lagi aku menganggukkan kepalaku.

“Terima kasih bu.” Aku menerima bungkusan nasi yang diberikannya.

“Bu, dinda pesan 1 kenapa nasinya 2?”

“Sudah bawa pulang saja, 1 untuk Dinda. Pasti belum makankan?” Ya Allah orang luar saja masih perhatian kepadaku tapi ibuku!!!

***

Terus jalan menuju dapur, menyalin nasi yang ku beli. Menyimpan 1 untukku makan setelah selesai menyuci nanti. berjalan kearah Ibu

“Bu, ini nasinya.” Aku menyerahkan nampan yang berisi sepiring nasi dan segelas air putih

“Ibu mau teh manis.” Aku menghembuskan napas dengar permintaannya. Selalu begitu ada saja perintah yang harus kerjakan sementara masih banyak kerjaan yang belum aku selesaikan.

“Jangan lupa pel rumah, setelah mencuci. Sore nanti Ayahmu pulang.” Masih ada saja perintah lain yang diberikanya aku hanya bisa membatin dalam hati.

“Iya” jawabku lesu

Berjalan menuju dapur membuatkan teh yang diminta Ibu.

***

Pukul sudah menunjukkan angka 2.30 sore aku baru menyuci dan mengepel rumah, aku masih harus memasak untuk makan sore. Melangkah lemah menuju dapur mengambil nasi bungkus yang ku simpan. Membukanya dengan semangat, perutku sudah berbunyi sejak tadi. Tapi aku tidak berani makan, Ibu belum tidur. Aku menunggu ibu tidur siang dulu, kalau tidak ibu pasti akan marah dan berkata

“Kamu mengemis lagi, buat malu Ayah saja. Ayahmu bukan orang miskin sehingga anaknya harus mengemis.” Andaikan Ibu mau membeli 2 nasi bungkus tentunya aku tidak perlu mengemis untuk makan siang ini.

“Bismilahirahmanirahim” aku membaca doa makan, melahap nasi di depanku

“Alhamdulillah.” Akhirnya laparku sudah hilang. Berdiri dari meja, menuju tempat cuci piring.

“Sudah masak?” untung saja aku sudah selesai makan, jika tidak?

“Ini baru mau mulai Bu.” Untung saja aku sudah mengeluarkan bahan untuk memasak, sehingga ibu tidak curiga dengan berdirinya aku di tempat cuci piring.

“Cepat sebentar lagi Ayah pulang, pasti lapar.” Setelah mengatakan itu Ibu berlalu meninggalkan aku sendiri di dapur. Bukannya membantu batinku, aku melanjutkan pekerjaanku. Azan Azar sebentar lagi akan berkumandang, terahim sudah terdengar aku sudah menyelesaikan tugas terakhir yang ibu minta. Nasi, beserta lauk pauk dan kerupuk sudah tersedia tinggal menyantapnya saja.

Aku berjalan lesu ke arah kamarku, belum juga aku masuk ke dalam kamar

“Dinda mandi bersihkan badanmu, duduk di teras Ayah sebentar lagi pulang.” Ibu mengingatkan apa yang harus aku lakukan tentu saja memperingatiku untuk tidak bercerita macam – macan dengan Ayah. Apalagi sampai aku mengadu kepada Ayah apa yang dilakukan Ibu padaku pasti aku mati.(Bersambung)

***

Tinggalkan Balasan