Suara kompang sayup sudah terdengar, aku yang menjadi pendamping mempelai wanita sangat dengan mempelai lelaki yang katanya teman kami sewaktu kecil.
Sudah lebih dari seperempat abad kami berteman, tapi hanya melalui dunia maya karena kesibukan kerja serta tempat kerja yang tidak sama., hanya Hana temanku yang menjadi mempelai wanita ini saja yang sama mengabdi sebagai pendidik di sekolah.
Aku sering mengolok Hana dengan mengatakan ilmu matemika yang di ambilnya terlalu dekat hitungannya karena menikah dengan teman waktu kecil sementara kami sudah melalang buana.
Senyumku terbit, hari ini kami sekalian reuni hampir separuh teman masa kecilku akan menghadiri pernikahan Hana.
Mencari buah kemunting menjadi kegiatan yang membuat kami gembira, buah dengan warna coklat rasanya manis banyak tersebar pokoknya dibelakang sekolah dasar kami.
Bang Ridwan menjadi salah satu temanku yang selalu menjagaku, kami memanggilnya Abang bukan tanpa sebab.
Bang Ridwan tiga tahun di atas kami umurnya tapi karena berpindah – pindah sekolah mengikuti orangtuanya pindah tugas akhirnya kami satu kelas.
Mengingat Bang Ridwan tentu mengingat bagaimana dirinya yang selalu mengayomi diriku bagaikan adiknya saja, apalagi Bang Ridwan hanya berdua saudara dengan adikknya yang lelaki juga.
Mengikuti jejak Ayahnya, Bang Ridwan sekarang bertugas di angkatan darat dengan pangkat kapten sudah tiga tahun ini kabar Bang Ridwan menjadi kabur sejak di tugaskan di daerah perbatasan yang berkonflik.
Seandainya Bang Ridwan bisa bersama kami hari ini tentu reuni kami akan terasa lebih bahagia, ih aku jadi malu sebenarnya hanya diriku yang merasa senang entah dengan Bang Ridwan.
Tepukan di bahuku menyadarkan aku bahwa rombongan pengantin lelaki sudah di halangi Mak Andam untuk bersanding jika tidak menyiapkan amplok pemulus kata adat orang melayu kami.
Aku selalu merasa terhibur dengan segala tata cara adat pernikahan entah kapan giliranku tiba.
***
Akhirnya aku bisa bergabung bersama mereka teman – temanku, setelah ikrar sah diucapkan untuk Hana tugas sebagai pendamping selesai.
Hayunan langkahku mendekati mereka yang tampak asyik bercerita, ada Iwan, Indra, Samsul, Mila, Saniah, Mira dan banyak lagi tapi yang menjadi burunonku Bang Ridwan ternyata tidak ada diantara mereka. Hayunan langkah yang tadi tergesa sekarang melemah.
“Assalamualaikum Semau.” Suara yang aku cari sejak tadi memecah suasana hangat yang terjadi jika kami sudah berkumpul.
Semua mata tertuju kepada datangnya suara, satu persatu temanku menyambut tangan Bang Ridwan untuk menyalami kami.
Tepat pada giliranku, aku menangkupkan tangan pada dada untuk menyambut salam tangan Bang Ridwan.
Senyum itu, senyum yang selalu aku Rindu sudah tiga tahu tidak melihat senyum yang membuat hatiku seperti genderang perang jika melihatnya.
Ke hilir ke mudik cerita kami, mengingat masa – masa kecil yang tak sudah jika diceritakan kembali.
Ada saja bumbu – bumbu penyedap yang membuat kami terpingkal – pingkal ketawa sehingga air matapun terkeluar karenanya.
Gema suara azan, membuatku meminta izin kepada teman – teman untuk melaksanakan kewajiban kepada Sang Khalid.
“Kita sholat berjamaah, biar Bang Ridwan yang menjadi iman.” Koor terdengar menyetujui usul salah satu teman kami.
***
(Bersambung)