Menatap titik air yang mencari celah untuk menumpang di dalam rumah, hatiku merasa teriris melihat kondisi rumah yang jauh dari layak untuk dihuni. Tapi kenyataan ini tidak bisa aku pungkiri seberapa keras aku dan Bang Dahlan mencoba untuk membanting tulang untuk mencukupi semua kebutuhan rumah ini setelah Abah meninggalkan kami tiga tahun yang lalu.
Emak sudah sepekan ini sakit, untuk mengirimnya ke rumah sakit saja kami harus memikirkan darimana datangnya uang sehingga sepekan ini hanya obat penurun panas yang dapat kami berikan untuk meringankan sakit yang Emak rasakan.
Suara guruh sudah mengelegar sebentar lagi hujan pasti turun, tapi aku masih berharap guruh di langit tidak mendatangkan hujan sehingga rumah masih tetap aman, apalagi kondisi Emak yang tidak sehat membuatku merasa lebih khawatir lagi.
Terus merapal doa dalam hati berharap dengan sangat semoga doaku diijabah, apakah doaku kurang khusyuk suara air turun dari langit memenuhi kupingku.
Secepat kilat aku mengambil ember – embar kecil yang menjadi teman jika hujan turun meletakkan pada titik yang sudah aku hapal benar, bukan hanya air yang turun dari langit tapi air dari mataku juga ikut turun ketika meletakkan ember kecil di tengah – tengah dipan Emak.
“Mak geser sedikit badannya biar tidak kena hujan.” Ucapku pelan takut menganggu istirahat Emak setelah setengah jam lalu Emak memakan obat yang membuat dirinya menjadi mengantuk.
***
Hujan sudah lebih dari dua jam turun, aku sudah dua kali membuang air – air yang memenuhi ember yang aku gunakan untuk menampung mereka.
Melirik ke arah Emak yang terpaksa berpindah tidur di tengah rumah karena ruangan ini yang tidak bocor, beralaskan kasur tipis yang aku angkut dari kamar Emak tentunya.
Menambahkan selimut untuk mengusir rasa dingin akibat hujan yang bertambah lebat untuk menghangatkan Emak.
Aku sendiri terpaksa menahan kantuk yang sudah dari tapi mengodaku tapi untuk tetap menjaga Emak tenang istirahatnya aku terpaksa menunda tidurku.(Bersambung)