Air bening masih mengalir, susah payah aku menahanya tapi masih saja keluar. Nanar mataku melihat jasad Emak di masukkan ke dalam peristirahatannya terakhir. Setelah  jasad Emak tertutup tanah tangisku pecah lagi sembari menabur bunga dan air aku mengirimkan doa untuk Emak.

Hatiku hancur juru kunci kebahagianku satu persatu meninggalkan aku, rasanya duniaku runtuh walaupun kami dalam kesulitan hidup tidak membuatku sedih karena ada Emak yang selalu menjadi penyemangat, tapi sekarang  Emak pergi entah apa yang akan terjadi dengan diriku.

Rasa sesak akhirnya membuat pandanganku menjadi kabur, ketika terbangun aku sudah di dalam rumah.

Suara orang membaca ayat – ayat suci terdengar dari arah ruang tengah rumah, dengan kepala yang masih berat aku berusaha untuk bangun, berjalan tertatih menuju pintu kamar, menekan pelan panel pintu, menyengah keruaang tengah.

Setetes air bening mengalir, melihat begitu orang banyak datang untuk mengirim doa buat Emak. Kami memang bukan orang senang, tapi Emak sejak masih gadis sudah menjadi guru mengaji di kampung kami.

Pesan Emak selalu aku ingat biar miskin harta tapi kaya budi, mungkin inilah saatnya kami melihat bagaimana tetanga datang untuk mendoakan Emak, rumah kecil kami sesak dengan banyaknya tetangga datang untuk mendoakan Emak begitu juga siang tadi sewaktu pengkembumian bagaikan orang penting saja yang meninggal sehingga penuh sesak orang datang melayat.

Juru kunciku telah pergi tapi aku akan selalu mengingat akan semua yang petuahnya, hidup boleh susah tapi menabur budi tak mengenal harga tak bisa memberi harta berikan jasa biar di kenang selamanya, selamat jalan juru kunciku semoga ditempatkan ditempat yang selayaknya, amin.***

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan