Panen Sakit Hati (End)

Entah kapan yang aku tahu setelah menenguk segelas teh jahe aku terlelap menjelang magrib, mengucek mata yang masih merasa mengantuk aku memandang jam dinding di kamar, sudah isya. Ya allah aku terlalu lelap sehingga meninggalkan sholat magrib, tanpa pikir panjang aku menuju keluar kamar untuk mengambil wudhu dan melaksanakan kewajiban yang sudah terlambat.

Setelah menunaikan sholat isya aku tetap melaksanakan sholat magrib yang tertinggal, setelah berdoa baru aku perasaan kenapa Emak tidak membangunkanku, ada yang aneh rumah masih terlihat sepi kemana perginya orang rumah.

Setelah melipat mukena dan meletakkan pada tempatnya aku berjalan menuju kamar Ayah Emak, sepi, langkahku menuju kamar adikku, ternyata adikku juga tidak ada.

Keningku mengkerut kemana keluargaku, berjalan cepat menuju kamarku mengambil androidku untuk mencari keberadaan keluargaku.

Bunyi nada sambung sudah terdengar tapi mengapa tidak di angkat, sampai nada berhenti tidak diangkat panggilanku.

Ku coba sekali lagi, tapi masih sama Ayah tidak menjawab teleponku. Ku coba mengalihkan telepon ke android adikku, tapi masih sama tidak ada jawaban.

Ketukan di pintu depan membuatku terkejut, berlari mungkin saja Abah Emak yang lupa membawa kunci, batinku berharap.

Menekan panel pintu tamu, bukan Abah Emak yang pulang, tapi Pak RT yang berdiri tegap di depan pintu tamu rumahku.

“Sarah, kita akan ke rumah sakit sekarang, tetap tenang dan banyak – banyak berdoa.” Pak RT kami selalu to the point jika berbicara.

Secepat kilat aku kembali ke kamarku mengambil tas dan mengunci semua pintu rumah dan berjalan mengikuti Pak RT menaiki mobilnya untuk menuju rumah sakit.

***

Kakiku baru saja menginjak lobi rumah sakit, ada rasa takut yang menyergapku tiba – tiba siapa gerangan dari keluargaku yang sekarang di rawat di sini, semoga tidak ada hal yang membuat hatiku menjadi lebih sakit, batinku tidak tenang.

Akhirnya aku melihat Abah duduk di kursi depan ruang UGD, dengankan adikku mondar mandir bagaikan sterikaan saja. Abah berdiri melihat Aku datang, membentangkan tangannya untuk memberikanku pelukan menenangkan.

“Emak kenapa Bah?” tanyaku gugup

“Emak ditabrak orang ketika hendak memberikan kue kepada pembeli yang tidak turun dari mobilnya.” Ucap Ayah dengan sendu.

Ya Allah sakit hatiku mendengar ucapan Abah, apakah ini nasib jadi orang kecil selalu harus merasa sakit sementara kami tidak berbuat salah, semoga keadaan Emak baik – baik saja, batinku berdoa.

***

Sepekan telah berlalu, ternyata Emak harus berbaring di rumah karena tungkai kaki Emak cedera parah, sementara penabrak tidak tahu di mana rimbanya.

Kepalaku berdenyut keras, memikirkan bagaimana nasib kami. Honor guru di awal tahun selalu dirapel sampai dua bulan, dimana aku harus mengutang untuk kelangsungan hidup kami.

Dengan kondisi Emak sekarang, Abah hanya bisa berjualan sebentar saja, tidak mungkin meninggalkan Emak terlalu lama keseorangan di rumah.

Perlahan aku menyusut air bening yang turun, apakah nasib orang kecil harus selalu begini. Sakit hati karena sudah berusahan masih saja sempit rezekinya, rasanya cukup sebulan ini aku panen sakit hati, hanya mengeluh yang bisa aku lakukan tapi semangat membara karena panen sakit hati tidak membuatku menjadi lemah.***

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan