Bonus Terindah (Part 2)

Azan subuh berkumandang dengan kepala berat aku memaksakan diri untuk bangun. Sambil mengambil wudhu aku berdoa semoga semalam hanya mimpi semata tapi bukan kenyataan. Setelah siap aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah kontrakkan yang sudah menjadi huniaku. Pisah dari keluarga juga pemicunya karena aku belum mendapatkan pasang hidup sehingga aku menjadi jengah jika ditanya soal jodoh oleh Ayah dan Ibuku.

Langkahku terhenti, di depan gerbang sekolah, aku melihat Pak Ilham berdiri disitu, tapi aku tidak melihat keberadaa Lia anaknya, akhirnya dengan napas berat aku melangkah menuju gerbang. Memjawab salam ketika Pak Ilham terlebih dahulu memberikan salam.

“Boleh kita bicara sebentar Bu Cahaya.” Ucap Pak Ilham sopan

“Boleh, kita bicara di ruang BP saja Pak, saya Absen dulu. Saya rasa Bapak sudah tahu dimana ruangan BP kan PaK.” Ucapku dengan berat.

Senyum Pak Ilham mengiringi kami, aku menuju ruang kantor TU untuk print finger, untung hari ini aku tidak ada jam mengajar pagi, ku ayun langkahku ke ruang BP. Aku melihat Pak Ilham berdiri di depan pintu ruang BP.

“Pagi bu Ana.” Ucapku kepada pemiliki ruang BP yang tidak seiman denganku.

“Pagi juga Bu Cahaya, eh ada tamu. Ada yang perlu di konseling Ya bu Cahaya. Tapi saya tidak bisa lama, karena sudah janji dengan Bu Rita untuk home visit.” Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Ana.

“Boleh saya pinjam ruangnya Bu, perkenalkan ini Pak Ilham salah satu orang tua siswa.” Ucapku meminta izin kepada Bu Ana.

“Silakan Bu Cahaya, mari masuk Pak. Anggap seperti rumah sendiri.” Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Ana, Bu Ana memang terkenal dengan keramah tamahannya, biasalah guru PB. Setelah membiarkan kami duduk di sofa yang sudah tersedia, aku sungguh mati tidak bisa melihat wajah Pak Ilham, hening tidak ada percakapan di antara kami, sampai kami mendengar suara Bu Ana

“Saya pamit, mau home visit ya Bu Cahaya, mari Pak.” Ucap Bu Ana membuat kami langung memandang ke arah suara, tersenyum sekilas mengantar kepergian Bu Ana.

“Maaf Bu Cahaya, mungkin permintaan Lia membuat Bu Cahaya merasa tidak nyaman. Sebenarnya sudah dua bulan ini Lia meminta saya untuk memberikannya Ibu. Saya tidak menganggapnya serius, hanya menganggap ini sebagai kenakalan remaja, Saya tidak terpikir kalau Lia sampai berani menyampaikan permintaannya kepada Ibu.” Aku hanya mendengarkan perkataan Pak Ilham tanpa berani memandang wajahnya.

“Sekali lagi maaf Bu Cahaya.” Ada ketulusan dalam kata Pak Ilham yang membuatku mengangkat kepala dan memadang Pak Ilham.

Pandangan kami bertemu, aku memberikan senyumku. Menarik napas dalam sebelum mengeluarkan suaraku.

“Memang susah mengurus anak yang baru gede Pak, saya maklum. Mungkin ini hanya keinginan sesaatnya Lia saja.” Ucapku sedatar mungkin, padahal aku menahan kegugupanku saat ini.

“Secepatnya saya akan mencari sekolah baru untuk Lia.” Ucapan Pak Ilham membuatku terkejut.

“Apakah harus sampai pindah sekolah Pak, apalagi sebentar lagi ujian kenaikan kelas. Hanya tinggal setahun saja lagi, sungguh saya tidak apa – apa.” Ucapku panik.

“Apakah ibu tidak terganggu dengan permintaan Lia, sebenarnya saya sudah membawa beberapa teman wanita bahkan saya sempat untuk menikahi adik ipar saya, entah apa istilahanya saya lupa,  dan dipertemukan  kepada Lia, tapi Lia tidak pernah merasa cocok dengan mereka. Setahun yang lalu ketika masuk ke SMA ini, Lia selalu bercerita kepada Saya tentang Bu Cahaya. Mulanya saya menganggap ini hanya sementara karena berada di lingkungan baru tapi akhir – akhir ini Lia mendesak saya untuk menikah lagi, dan yang anehnya harus menikah dengan Bu Cahaya.” Jantungku berdegup kencang aku bagaikan duduk di atas bara membuatku kepanasan yang berkeringat.

“Saya berusaha menjadi Ayah yang bagi anak – anak saya, jika Bu Cahaya mengizinkan biarkan saya mengenal Bu Cahaya.” Deg jantungku bagaikan berhenti mendengarnya.

“Maaf Bu Cahaya hari ini, mohon izin untuk ketidak hadiran Lia. Saya permisi.” Aku memandang kepergian Pak Ilham dengan perasaan tidak menentu.

***

Aku membaringkan tubuhku, ada beban yang berat di pundakku. Selama mengajar tidak pernah aku dibebankan dengan beban seberat ini. Untung saja hari ini aku hanya mengajar dua kelas, dengan susah payah aku berkosentrasi mengajar, aku tidak mau masalah kedatangan Pak Ilham Ayahnya Lia membuatku terganggu.

Aku jadi rindu rumah, seandainya aku dengan dengan Ibu pasti aku bisa mengadukan semuanya. Aku tersenyum sendiri mengingat bagaimana Ibu selalu menanyakan kapan aku akan menikah. Pasti Ibu akan senang jika mendengar ada yang ingin mengenalku.

Lelah pikiran dan badan membuatku memejamkan mata setelah menyeselaikan kewajiban sholat isya.

Entah karena terlalu cepat tidur, atau apa akhirnya aku terbangun di sepertiga malam. Kesempatan ini tidak aku lepaskan, bergegas aku mengambil wudhu dan meminta petunjuk kepadanya.

***

Pagi ini dengan semangat aku mengendari motor maticku menuju sekolah, memakirkannya di parkir guru berjalan menuju gedung, berpas – pasan dengan beberapa siswa menjawab salam mereka.

“Bu Cahaya.” Tanpa melihat orangnya aku sudah bisa menebak siapa yang memanggilku.

Dengan napas yang ngos – ngosan Lia mengamit tanganku

“Assaslamualaikum Bunda sayang.” Suara renyahnya terdengar seiring tangannya melingkari tanganku.

“Walaikumsallam anak cantik.” Ucapku sambil tersenyum melihat tingkah Lia yang manja

“Terima kasih Bunda, semoga Bunda berjodoh dengan Ayah.” Ucapan Lia spontan membuka wajahku bersemu, ada rasa panas dikedua pipiku.

“Lia jangan macam – macam ini sekolah, yang sopan sedikit.” Aku mengingatkan Lia

“Maaf Bunda, Lia akan menjaga rahasia kita.” Setelah mengatakan itu Lia berlari menuju kelasnya sementara aku menuju majelis guru.

***

Dret dret dret panggilan masuk dari Bang Ilham

“Assalamualaikum, sebentar lagi sampai Abang .” Senyum terkulumku mendengar suara Bang Ilham di seberang sana.

“Iya.” Jawabku sambil menganggukkan kepala walaupun aku tahu Bang Ilham tidak melihat aku menganggukkan kepalaku.

“Ayah yang menelephone Bunda.” Suara cempreng Lia di sampingku.

“Itu mobil Ayah Bun,” kali lagi suara cempreng Nia yang terdengar, Kami, aku Lia dan Nia akan kedua Bang Ilham mengarahkan pandangan mata kami ke arah yang ditunjukkan Nia.

Setelah memakirkan mobil, Bang Ilham menuju tempat aku dan Lia duduk, saat ini kami sedang duduk di tempat bersantai yang berada di kotaku.

“Maaf Ayah telat sedikit, ini titipan dari putri – putri kecil Ayah, ini buat Bunda tersayang.” Kami mengambil kantong yang di sodorkan Bang Ilham kepada Kami.

“Untung ada Bunda, Bun jika Ayah lebih mementingkan kerja sebaiknya kita tinggalkan saja Ayah.” Aku tersenyum kecut mendengar penuturan Lia

“Jangan Kak, kasihan Ayah jika kita tinggalkan. Nanti Ayah sama siapa?” ucap si Nia kecil

Aku memandang wajah Bang Ilham yang terlihat kesal dengan kedua putrid kami.

“Mentang – mentang sudah punya Bunda, Ayah tidak di sayang lagi.” ucap Bang Ilham merajuk.

Kami serempak tertawa, aku memandang wajah Bang Ilham, Lia dan Nia bergantian. Ada rasa syukur yang tak terhingga, sambil mengusap perutku yang sudah membuncit. Tak pernah aku bayangkan jika bonus hari guru tahun ini, adalah keluarga kecil hangat dari Illahi. Sudah hampir setahun sejak Bang Ilham mengucapkan ijal qabul atas namaku.***

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan