Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam sudah sejam aku berkutat di dapur untuk membuatkan nasi lemak anakku.
Entah mengapa aku tidak membuat sambal udang, lebih memilih membuat sambal bilis dicampur kacang tanah yang menjadi kegemaranku, seakan melupakan jika pagi ini Bang Fajri berada di rumah.
Setelah semuanya terhidang di meja makan, aku berjalan menuju kamar kami mengambil baju gamis dan kerudungku.
Sengaja aku memelankan langkahku, tidak ingin membangunkan tidur lelap Bang Fajri. Melihat masih menggunakan pakaian pulangnya dini hari tadi, apa yang terjadi dengan Bang Fajri tapi aku tidak ingin mengetahuinya.
Setelah rapi dengan pakain gamis serta balutan jilbab panjang yang menutupi dadaku, aku memberikan senyum manis pada putriku yang sudah terlebih dulu aku dandani.
Kami melangkah menuju meja makan bersama, duduk menghadapi nasi lemak yang masih hangat dan menyantapnya dengan gembira walau ada rasa sakit yang mengigit hatiku.
“OK, sekarang kita pergi.” Ucapku setelah membersihakn semua perlengkapan yang aku gunakan pagi ini.
Melihat sepintas ke arah rumah, terlihat rapi. Aku meraih tangan kecil yang selalu memberikan aku kekuatan. Melangkah menuju pintu depan setelah meninggalkan secarik kertas di meja makan.
Berjalan menjauh dari rumah, menuju jalan besar tempat taxi yang sudah menunggu kami.
***
“Assalamualaikum Bang, izin untuk pulang ke rumah Abah Emak. Maaf tidak meminta izin langsung. Mungkin ini yang terbaik buat kita untuk waktu ini, aku tidak marah mungkin kita butuh waktu untuk saling mengerti apa yang terjadi dengan hubungan kita.
Mungkin Abang butuh waktu untuk beristirahat mencintaiku, jika terasa bosan maka tanyakan kepada hati Abang butuh berapa lama untuk menghilangkan rasa bosan mencintaiku kembali jika tidak datanglah kepada Abah untuk mengembalikan aku dengan baik – baik seperti Abang meminta aku dulu menjadi istri Abang. Wassalam” senyumku terasa pahit ketika mengingat isi surat yang aku tinggalkan di meja makan pagi tadi.
Suara azan asar berkumandang, sudah lebih setengah hari aku meninggalkan rumah ternyata rasa bosan Bang Fajri kepadaku sudah tinggi.
“Ana, masuk kita sholat dulu.” Aku berdiri menatap anakku yang lagi asyik bermain dengan sepupunya.
Tetes air bening untuk kesekian kalinya mengalir setelah aku mengadu pada – Nya walau masih terasa sesak tapi ada kelegaan di dadaku.
***
Ketukan pintu, membuat aku menghentikan cerita yang sedang aku baca untuk Ana putriku.
“Salwa, Abang masuk ya.” Aku menghela napas
“Papa.” Teriak putri kecilku mendengar suara Papanya.
Panel pintu kamar gadisku terbuka, Bang Fajri masuk dan langsung memeluk putri kami yang sudah menyosong dirinya di depan pintu.
Mengendong putri kami berjalan menuju tempat tidur, sebelum Bang Fajri sampai di tempat tidurku aku melangkah menuju pintu keluar kamar.
“Kita bicara di ruang tamu saja Bang.” Ucapku pelan.
“Kita bicara di kamar saja Wa, tidak enak sama Abah Emak jika berbicara di ruang tamu.” Ucap Bang Fajri.
Aku tetap melangkah menuju keluar kamar menuju ruang tamu rumah masa gadisku.
Melewati Abah Emak yang lagi duduk santai menonton TV yang menyiarkan siaran masjidil Haram yang menjadi kebiasan mereka setelah mendapatkan info akan naik haji pada tahun ini pada musim haji nanti.
“Ma, kata Papa, Papa mengantuk jadi mau tidur. Mama di suruh masuk kamar.” Aku mengambil sofa single untuk duduk, ucapan Anakku yang berlari mendapatkanku di ruang tamu membuat netraku membulat seketika.
Tidak ingin mengudang kecurigaan Abah Emak aku terpaksa kembali ke kamar apalagi aksi tarik tanganku oleh putriku yang memaksa aku untuk masuk ke kamar kembali.
Dengan langkah lemah terpaksa aku masuk kembali ke dalam kamar, dan melempar senyum tak enak ke arah Emak ketika mendengar ucanya.
“Sudah punya anak jangan suka merajuk tak baik.” Seandainya Mak tahu tentu lain ceritanya.
***
Bang Fajri duduk di permaidani yang terbentang di kamarku, putri kami langsung berhambur ke dalam pelukan Bang Fajri. Entah apa yang dibisikkan Bang Fajri kepadanya, netraku menelisik ke arah anakku yang berjalan keluar kamar sambil senyum yang membuatku curiga dengan dirinya serta Bang Fajri.
Bang Fajri menepuk tanganya ke sebelah tempat duduknya, meminta aku untuk duduk di tempat yang dia maksud, Aku lebih memilih duduk berhadapan dengannya dengan berjarak.
Hening, Bang Fajri menatapku dengan sendu aku memilih untuk menatapnya sejenak kemudian membuat pandanganku melihat ke arah lain.
“Wa, tak ada yang membuat Abang bosan dengan Salwa. Maaf jika Abang membuat Salwa berpikiran seperti itu. Abang hanya tidak mau membebani Salwa dengan masalah pekerjaan Abang.
Maaf jika tadi malam tadi Abang membuat salwa merasa kecewa dengan Abang. Dan Alhamdulillah sore tadi semuanya sudah selesasi, pekerja Abang yang sudah mengelapkan dana sudah di tahan, insyallah uang kita akan kembali.
Tidak ada wanita lain, hanya Salwa yang Abang inginkan sampai napas terakhir Abang. Jika izin Allah, Abang juga mau Salwa menjadi bidadari Abang di Surga nanti.
Netraku memanas mendengar ucapan Bang Fajri, lelaki kakuku tapi sangat mencintaiku dengan segala kekuranganku.
Aku lebih merasa insecure karena banyak kekuranganku, sedangkan Bang Fajri memiliki semua kelebihan sebagai lelaki idaman untuk semua wanita di luar sana.
Aku malu tapi aku lebih merasa takut jika dirinya merasa bosan kepadaku dan aku tetap memaksakan dirinya tetap mencintaiku itu rasanya tidak adil
Lamunanku terputus, ketika usapan di pucuk kepala oleh tangan kekar suamiku yang selalu memberikan aku ketenangan jika dia mengusap kepalaku sambil mengatakan bahwa dirinya mencintaiku apa adanya diriku, tetes air bening kini mengalir lagi tanda aku bersyukur kepada – Nya mungkin ini ijabah dari doaku yang selalu mengadu kepada – Nya daripada berkeluh kesah kepada Suamiku dan ikhlas atas semua yang menjadi ujian dalam rumah tangga kami***