Celoteh Nyakbaye, Cerpen “Jika Saja (1)”

Cerpen, Fiksiana, KMAB22 Dilihat

Akhirnya hari ini datang juga, remasan dijantungku sudah tidak terasa sakit lagi. Tidak mudah, tapi aku berusaha untuk menjalaninya. Sudah berlalu lama, tapi kehadiranku sama sekali tidak pernah ada, setetes air bening terasa asin ketika tanpa sengaja masuk ke mulut ketika tangisku tak bisa lagi kusembunyikan.

Mengenang masa itu bagaimana aku, tidak punya piliha. Walaupun aku sudah bermunajab dengan sholat malam dalam memilih lebih baik atau tidak jika menolak pinangannya. Umur menjadi factor pertama aku memilihnya walaupun aku sudah memberikan syarat akan menerimanya jika anak semata wayang dari mantan istrinya yang sudah dipanggil yang maha menguasai apapun kejadian di dunia ini.

Sering aku bertanya jika dirinya menerimaku bukan hanya sebatas kebutuhan akan sosok ibu untuk anaknya yang kala itu berusia lima tahun sering menangis karena sering dibuli temannya karena tidak memiliki ibu, jawabanya selalu menyakinkan tapi hanya sebataas ketika aku bertanya, setelah itu aku merasakan hadirku hanya sebatas kebutuhan anaknya yang entah karena apa begitu menyayangiku.

Waktu berlalu, kebutuhan seorang ibu bukan lagi menjadi prioritas anak semata wayangnya, kehadiranku bak pengatur jalan salah yang ditempuh oleh putrinya, selalu saja aku beradu kata ketika aku memarahinya anaknya aku tidak bisa lagi mengatakan anak kita setelah hari itu kami bertengkar besar, ketika aku memarahi anak semata wayangnya karena pergi dari pagi sampai ketengah malam.

Apakah sebagai ibu yang sudah selama dua belas tahun menjaganya menjadi kalut ketika anak gadisnya tidak memberi kabar setelah pergi pamit untuk keluar rumah yang katanya hanya berjalan ke Mall untuk cuci mata.

Apakah ke Mall butuh waktu seharian, tentu tidak jawabnya, batinku berkata. Tapi seakan aku yang terlalu jahat saat itu, maka terucaplah kata bahawa aku hanya ibu sambung yang hanya bisa mendikte bukan mendidik, sakit ada yang perih di daging terletak tepat di bawah diafragma di sisi kanan-atas tubuhku dan mempunyai sejumlah peran penting tapi hari ini tidak dianggap penting oleh lelaki yang sudah selama dua belas tahun mendampingiku.

Kadang aku berfikir mungkin karena ketidak inginnya aku menyakiti hati anak semata wayangnya sudah tiga kali aku keguguran.

Bukannya aku menentang takdir tapi kadang aku berfikir dirinya tidak pernah mengharapkan keturunan dariku. Masih segar dalam ingatan ketika pertama aku mengatakan diriku sudah telat datang bulan, tapi reaksi yang biasa saja membuatku sedih.

Untung saja aku masih kuat menghadapinya, ketika mulut kecil anak semata wayangnya mengatakan ingin punya adik seperti teman – temannya, akhirnya dengan paksa anak semata wayangnya kami pergi memeriksakan kehamilanku.

“Sudah masuk dua belas minggu, apakah ibu tidak merasakan tanda – tanda ibu hamil. Maaf sepertinya ada masalah dengan kehamilan ibu, tapi saya akan memberikan obat kita lihat seminggu lagi. Jika tidak ada perubahan terpaksa kami melakukan kuret untuk kesehatan ibu” Dokter yang memeriksaku memberikan satu kejutan yang membuatku merasa tidak berguna sebagai seorang perempuan.

Tiga bulan aku menahan diri untuk periksa hanya karena katanya masih terlalu awal untuk memeriksakan kandunganku belum lagi dalih sibuk yang menjadi factor lain untuk tidak menemaniku cek – up.

***

Bersambung

Tinggalkan Balasan

2 komentar