Nada notifikasi gawaiku berbunyi berarti ada chat yang masuk.
“Faiz ada di depan pintu rumah Ais.” Chat dari Faiz
Tok … tok …tok pintu kamarku diketok
“Ais ada Faiz tu di depan.” Suara Ibu terdengar dari luar pintu kamarku
Mau tidak mau aku harus menjumpai Faiz, aku tidak mau ibu berfikiran yang macam – macam, jika aku tidak menemui Faiz. Ini saya Ibu sudah selalu bertanya kenapa sudah lama kami tidak belajar bersama.
Dengan malas aku meninggal ranjangku, mematuk wajahku dicermin dan berjalan menuju ruang tamu. Pandangan Faiz yang menyambut kedatanganku diruang tamu dengan sudut pandang yang tidak bisa aku artinya. Ada apa dengan Faiz, batinku.
Aku duduk di depan Faiz, tapi aku tidak berniat untuk bicara duluan. Suasana hening menghantui kami, akhirnya aku memilih untuk bangun dari tempat dudukku, memilih masuk ke dalam daripada duduk tapi Faiz tidak membuka bicara hanya memandangku membuat aku kesal setengah mati.
“Ais.” Aku mendengar suara Faiz memanggilku
“Kalau hanya mau diam lebih baik Faiz pulang, Ais mau belajar dulu.” Ucapku tanpa memandang Faiz dan berniat melanjutkan langkahku menuju kamar.
“Kita harus bicara, tapi kalau Ais masuk ke kamar Faiz bicara dengan siapa. Bicara dengan kursi. “ katanya coba melucu
Aku membalikkan badan menuju ruang tamu dan duduk di kursi yang tadi aku tempati dan memandang tepat di manik mata Faiz, menunggu apa yang akan dikatakan Faiz padaku.
“Sewaktu kita ke sekolah bersama – sama waktu itu, Ais mengatakan Ais menyukai Dion teman satu kelas dengan Faiz. Faiz tidak suka itu.” Ucapan yang keluar dari mulut Faiz tentu membuatku spontan tertawa lebar. Faiz memandangku dengan kesal karena aku mentertawakannya. Faiz berdiri dari tempat duduknya membuat aku harus menghentikan tawaku
“Maaf, Faiz lucu. Ais tidak bermaksud apa – apa sewaktu mengatakan itu.” Ucapku sungguh – sungguh.
“Mungkin Faiz tidak mendengar sewaktu Ais mengatakan akan lebih memilih Faiz daripada Dion. Malah Ais berpikir Faiz marah karena ucapan Ais waktu itu.” Ucapku malu.
Wajahku tertunduk tapi aku masih bisa melirik ada senyum yang terkembang di bibir Faiz ketika aku mengatakan aku lebih memilih dirinya daripada Dion teman satu kelasnya.
“Kalian lagi membicarakan apa?” Suara ibu mengejutkan kami berdua, Faiznya tidak diambilkan minum Ais.
Kami memandang Ibu, dan kemudian pandangan kami saling beradu. Ada sesuatu yang lain di hati kami, dan rasa itu hanya kami yang tahu. Bahkan Ibu juga tidak tahu, akhirnya kami saling melempar senyum yang membuat hati kami bahagia.***