Kepulan asap lolos dari bibir mungilku. Pasti tidak ada satu orangpun yang menduga dari bibir manis ini akan ada kepulan asap rokok yang keluar. Senyum miris mengingatkanku bagaimana semua orang menganggapku gadis lugu yang selalu manut kehendak orangtua. Abi Umiku saja terkecoh dengan penampilanku. Ini mungkin zina terbesar yang aku buat selama hidupku, dua puluh empat tahun.
Aku menghisapnya lebih dalam, sedalam luka yang menganga di lubuk hatiku yang mengeluarkan darah duka sejak saat itu.
“Maaf aku hanya menganggapmu sebatas sahabat.” Tersayat kata – katanya membuat aku hanya bisa menatap netranya yang hari itu tidak seperti hari biasanya.
Netra itu tidak lagi memberikan keteduhan ketika aku menatapnya, apakah aku salah mengartikannya. Tidak, bukan hanya netra itu yang berbohong kepadaku. Sentuhan serta ucapan yang selalu menguatkan hatiku bahwa kami bukan hanya sebatas teman tapi lebih.
“Selamat ulang tahun.” Kecupan di keningku membuatku membeku, sungguh aku tak percaya
“Terima kasih.” Terbata suaraku mengucapkannya
“Maaf tidak sengaja.” Ucapnya ketika melihat kegugupanku karena ciuman yang diberikannya.
Di lain waktu dengan santainya dia menggandeng tanganku kemudian menyatukan jari kami memberikan aliran hangat yang membuatku melayang. Aku berusaha melepaskan genggamannya tapi bukan melepaskannya malah mengeratkan genggamannya. Begitu banyak pasang mata yang melihat kebersamaan kami pasti akan menyangka kami adalah pasangan ke kasih.
Memang mulutnya tidak mengucapkan kata cinta tapi sungguh, perbuatanya kepadaku membuatku melayang. Dia sahabatku sejak aku menginjakkan kaki di Batam sebagai pelabuhan dari lulusnya S1 gelar Sarjana Ekonomi tidak mau aku sia – siakan dengan hanya menganggur di kampungku saja. kota dengan peluang kerja terbesar setelah Jakarta dan Surabaya. Mengapa tidak aku mengingjakkan kakiku di sana.
***
Jam sudah menunjukkan angka 1 dini hari. Perlahan aku menutup jendela kamar. Rasa kantuk sudah menggelayut di netraku. Aku memungut puntung rokok. Ada empat batang hari ini. Volume merokokku meningkat, cepat aku memasukkannya ke dalam kantong kresek yang sudah aku siapkan aku tidak mau ada yang tahu aku merokok.
Tok tok tok
Ketukan di pintu membangunkan tidurku yang tidak nyenyak sama sekali. Dengan malas aku melangkahkan kakiku menuju pintu kamar.
“Umi.” Seperti tersadar dari mimpi, Ya Allah, aku sekarang lagi di rumah.
“Sudah subuh.” Suara yang biasanya menjadi penyejuk kalbuku, tapi untuk masalah ini aku belum berani bercerita kepada Umi.
“Berapa lama cutimu Ais.” Ucap umi sambil melangkahkan kakinya masuk ke kamarku, untung saja sebelum tidur tadi malam aku sudah menyemprotkan pewangi ruangan jika tidak aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku saat ini.(bersambung)