Seindah Pelangi (5)

“ Assalamualaikum, kalau tidak mau bicara tidak usah menelepon.” Kalimat itu yang ku ucapkan pas mengangkat telephone dari Aditya.

“ Walaikumsalam, ku dengar suara Aditya dari seberang sana,”

“ Alhamdulillah ternyata ada orangnya,” aku memcoba untuk bercanda.

Tapi aku tidak mendengarkan respon yang menarik dari Aditya. Yang aku dengar hanya desahan napas berat.

“ Maaf, Aditya sakit,” kataku

“ iya, sakit hati.” Aku mendengar jawaban lirih dari seberang sana.

“ Lever maksudnya,” kata ku menegaskan pernyataan Aditya sebentar ini.

“ benar Aditya sakit Liver, sudah berapa lama tahu, pantas sebulan ini Aditya tidak menelepon Aisyah. Sudah parah sakitnya?” aku bertanya kepada Aditya.

“ Aisyah, jangan mengalihkan pembicaraan! Aisyah tahu apa yang Aditya maksudkan?” aku menjadi binggung, lama aku memikirkannya.

Ya Allah, sambil menepuk dahiku, aku teringat sebulan yang lalu pertanyaan yang ditanyakan Aditya kepadaku.

“ Maaf, bukan itu maksud Aisyah. Benar Aisyah lupa, Aditya juga tidak ada menelepon Aisyah lagi.” Aku menjelaskan kepada Aditya.

“ Aisyah lupa, Aisyah yang mengatakan akan menelepon Aditya. Aditya bukan tidak mau menelepon Aisyah. Aditya hanya takut Aisyah tidak bisa menerima Aditya.” Aku mendengar penjelasan Aditya dari seberang sana.

“ Besok pagi, Aditya mau ke Karimun. Maukah Aisyah menjemput Aditya di pelabuhan,” ku dengar suara permintaan dari seberang sana.

“ Besok, apa tidak salah.”  kataku lagi.

‘ Iya, Aditya mau ke Karimun, Aditya sudah membeli tiket kapalnya. Kata penjual kapal jam 09.30 Aditya sudah sampai di Karimun.” Maukan Aisyah menjemput?

“ ada keperluan apa Aditya ke Karimun Kataku lagi.

“ Aditya menjadi peserta seminar lingkungan hidup di hotel Aston Karimun, lusanya.” Aditya menjelaskan alasan kedatanganya ke Karimun.

Untung besok hari minggu, kalau tidak mana bisa aku menjemput Aditya di pelabuhan.

“ Masih ada yang lain,” kataku kepada Aditya.

“ besok saja,” kita bicara lagi terdengar suara Aditya dari seberang sana.

“ Assalamualaikum,” aku mendengar suara Aditya memutus pembicaraan telephon kami.

“ Walaikumsalam,” aku hanya memandang layar telepon ku sudah tidak ada tanda masih tersambung dengan handphonenya Aditya. Adakah Aditya mendengarkan jawaban salam dariku.

Ada apa dengan Aditya, sudah lama tidak mengirim pesan. Aku jadi mengingat percakapan kami sebulan yang lalu di telepon, mengingat – ingat apakah benar aku yang berjanji akan menelepon Aditya kembali.

Ah, Adityakan laki – laki seharusnya jika aku tidak menelepon. Aditya bisa meneleponku, seperti sebelumnya Aditya yang selalu punya insiatif dulu untuk menghubungi dan menulis pesan kepadaku.

Aku merebahkan diriku ke ranjang, berusaha menutup mata. Tapi aku teringat belum gosok gigi, akhirnya aku bangun menuju kamar mandi. Mungkin setelah gosok gigi aku bisa tidur, pikirku.

Tapi mata ini tidak mau terpejam, setelah aku merebahkan kembali diri ke ranjangku. Aku berpikir, kira – kira besok apa yang harus aku katakan jika Aditya menanyakan kesedianku menjadi kekasihnya. Mendengar kata  kekasih saja aku sudah merasa geli, aku tidak pernah memikirkan hal ini.

Aku bukan termasuk perempuan yang seperti drama Korea yang romantis, aku di didik untuk selalu mandiri. Aku tidak pernah merasa cantik. Karena dalam keluargaku selalu di ta’arufkan. Cocok, maka kami akan menikah. Seingatku, aku juga tidak pernah memberikan sinyal – sinyal bahwa aku menyukai Aditya. Aku hanya tidak mau dibilang sombong saja tidak membalas telepon maupun pesannya.(bersambung)

Tinggalkan Balasan