Aku menyegerakan doa, bang Ilham masih tetap pada tempatnya berdiri memperhatikan diriku.
“Ain baik – baik saja.” Ada gurat ke kwatiran dalam ucapannya.
Aku menelisik wajah Bang Ilham, menganggukkan kepala ragaku terlalu lemah untuk menjawab. Pandanganku mengabur, dan akhirnya hanya suara panggilan Bang Ilham yang terus bergema sebelum aku melihat gelap melanda.
Aroma khusus ditempat khusus, menusuk hidungku rasa mual langsung saja menyerang dan naasnya aku belum sempat bangun apalagi berlari ke kamar mandi semuanya aku muntahkan. Aku memandang lemah bajuku yang terkena cairan yang berisi beraneka ragam yang malah membuatku bertambah mual.
“Sudah bangun, biarkan Abang yang membersihkannya.” Ucapan yang tidak aku sangka keluar dari mulut Bang Ilham yang akhir – akhir ini selalu mengeluarkan kata yang pedas.
Aku memperhatikan dengan telaten semua yang dikerjakan oleh Bang Ilham setelah semuanya bersih dan aku juga sudah berganti baju dengan yang baru, Bang Ilham menyodorkan bubur kepadaku.
“Makan dulu, sejak semalam Ain belum makan. Abang sudah meminta izin ke sekolah.” Bang Ilham menghela napas berat dan memperhatikanku dengan intens
“Maafkan Abang yang akhir – akhir ini selalu kasar, sebenarnya Abang merasa bersalah tapi entah mengapa hanya amarah yang bisa Abang luahkan dan membuat luka Ain. Maafkan Abang, terima kasih sudah bersabar dengan Abang.” Aku menatap tak percaya dengan semua ucapan yang Bang Ilham luahkan.
“Sekali lagi terima kasih, sudah setia dan semuanya berbuah manis. Kita akan menjaganya dengan baik mulai hari ini. Tolong ingatkan Abang jika Abang salah, jangan hanya di pendam sendiri.” Ada perkataan Bang Ilham yang membuatku gagal focus apa maksud Bang Ilham mulai hari ini kami akan menjaganya.
“Ain hamil, terima kasih.” Seakan melihat kebingunganku, perkataan Bang Ilham sebentar ini membuat dadaku berbunga, tetes air benig mengalir bukan karena aku sedih tapi aku Bahagia, sangat bahagia.***