“Ana uHibbuki”

Biarkan orang yang kita cintai bahagia dengan yang di cintainya, mencintai bukan berarti memiliki. Jika dia lebih bahagia bersama orang lain jangan paksakan dia bersama kita yang akan membuatnya tidak bahagia. Klise, tidak ada kata itu dalam hidupku, jika mencintai maka aku harus memilikinya.

Sedari tadi aku mengikutinya, langkah kecil dengan sepatu skate putihnya. Tidak seperti gadis – gadis seusainya yang suka mengenakan sepatu highheel untuk menambah tinggi dan katanya membuat mereka menjadi cantik. Cantik kok dari kaki, cantik itu tidak serendah kaki kali.

Jarak yang ditempuh lumayan jauh kira – kira 2 kilo meter, aku hanya mengira – ngira saja. maklum pemain sepak bola aku sudah terbiasa mengelilinginya. Tapi gadis satu ini memang luar biasa setiap hari kerjanya hanya berjalan kaki untuk sampai ke tempat kerjanya. Tidak seperti gadis – gadis lain yang mungkin akan menolak untuk berjalan kaki apalagi sampai ditempat kerja akan membuat keringat membasahi wajah yang sudah tebal dengan riasa tebal untuk mempercantik diri. Tapi bagiku malah seperti topeng yang menutup wajah mereka saja.

Sebenarnya gadis satu ini hampir luput dari pandanganku, jika saja tidak ada peristiwa yang membuatku menjadi tertarik kepadanya.

Hujan deras, aku memacu kencang motor king yang ku kendarai hanya untuk mencepat sampai dan tidak sampai basah kuyup tentunya. Padahal aku tahu berkendaraan jika musim hujan harus lebih hati – hati bukannya memacunya menjadi lebih kencang. Aku kehilangan kesimbangan, pejalan kaki sialan yang sama denganku ingin cepat sampai ketujuan tidak memperhatikan lajunya motor king yang ku kendarai. Mengelak tentu saja aku lakukan daripada aku menabrak pejalan kaki yang akibatnya tentu saja aku yang disalahkan. Walhasil motorku ku rem dan aku menabrak trotoar dan lumayan motor king rusak dan kakiku luka dan mengeluarkan darah.

Tangan mungil dengan cekatan membalut kakiku dan mencoba menghentikan darah yang terus keluar dari luka dikakiku. Entah darimana datangnya gadis ini, tubuhnya terbalu mantel jas hujan, tapi aku tidak melihat ada motor yang terpakir di dekatku sekarang ini. Dia terus saja membantuku setelah mencoba menghentikan darah dari luka kakiku, dia memapahku dan membawa aku berteduh di dekat halte bis yang tidak jauh dari tempat kecelakaan. Setelah aku duduk, dia kembali berlari dibawah hujan berusaha mendirikan motor kingku yang tidak seimbang dengan bentuk tubuhnya yang kecil tapi dia berusaha mendirikan dan menepikan motorku itu.

Dengan susah payah akhirnya motorku sudah berdiri dan aman dari arus lalu lintas, aku melihatnya berlari kembali kearahku. Dengan napas yang ongos – ongosan dia memandangku

“Ada yang bisa dihubungi? saya tidak punya handphone.” Suaranya membuatku terpana, merdu suaranya secantik orangnya.

Aku meraih saku tas selempang yang selalu menemaniku kemana – mana. Mengeluarkan handphone dan memberikan handphoneku kepadanya.

“Kenapa handphonenya diberikan kepadaku?” tanyanya kembali.

“Anda pasti punya nomor keluarga Andakan?” tatapan matanya membuatku tersadar

Kenapa juga aku memberikan handphoneku kepadanya, seharusnya aku menelepon Ayah dan Ibu. Mana dia tahu nomor Ayah dan Ibu, aku memukul jidatku

“:Kepala kamu sakit?” tanya laginya

Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya mencoba mengalihkan mataku pada layar handphoneku dan mencoba mendail seseorang dari handphoneku. Tidak mungkin Aku menelepon Ayah atau Ibu, bisa – bisa mereka akan terserang jantungnya, anak laki – laki satunya yang menjadi harapan keluarga. Pasti Ibu histeris, pikirku.

Beberapa kali aku mencoba mendail nomor adikku Wina, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya aku memandang gadis dihadapanku dengan mengangkat kedua bahunya. Entah dia mengerti dengan isyarat dariku, aku melihat dia duduk disamping.

“Ku temani sampai ada yang akan datang menjempunt anda.” Aku melihat kepadanya sambil tersenyum.

Aku menekan lagi handphoneku sekarang yang aku hubungi adalah bengkel langgananku, tidak butuh waktu lama nada sambung telephone diseberang sana sudah terangka.

“Bang, Aku kecelakan di depan lamu merah jalan Cempaka. Bisa tolong jemput aku dan motorku.

“Siap bos.” Suara dari seberang sana mengiyakan permintaanku dan sambungan handphone terputus.

Butuh waktu 1 jam, Bang Anton datang denga pickupnya, memberhentikan pickupnya tak jauh dari motorku, dengan gagah perkasa Bang Anton menaikan motorku keatas pickupnya bukan diangkat ya, di dorong dengan bantun papan agar motorku bisa naik di atas pickupnya. Setelah selesai dengan kerjanya, Bang Anton mendatangiku sekarang giliranku yang akan dipapah Bang Anton menuju pickupnya.

“Terima kasih sudah membantuku, hampir lupa namaku Akmal. Biar diantar Bang Anton sekalian.” Ucapku kepadanya.

‘Terima kasih, aku bisa jalan kaki. Rumahku sudah tidak jauh lagi.” Aku tetap memaksa

“Hujan biar dianta saja, lagian aku tidak enak membiarkan orang yang telah menolongku.” Ucapku cepat. Aku melihat ekspresi wajahnya mendengarkan ucapanku

“Hm, baiklah jika tidak merepotkan.”

“Bang kita antar dulu, maaf siapa namanya?”

“Balqis.” Jawabnya sambil tersenyum menampakkan lesung pipinya menambah manis wajahnya.

***

Sepekan sudah berlalu tapi bayangannya tidak pernah lepas dari ingatanku, rumah sederhana yang dihuni hanya dia dan Ibunya sangat asri tak kesan tidak bahagia dari sudut manapun. Jauh berbeda dengan rumahku yang mewah tapi tidak mencerminkan bahagia walau seujung kuku.

Akhirnya aku putuskan untuk mencari bayangan yang membuatku betah menatapnya lama, aku memakirkan motor kingku yang sudah siap diperbaiki Bang Aton

“Motornya jangan disakati lagi.” Ujar Bang Anton sewaktu aku mengambilnya tadi.

Tujuanku membawa motor kingku ke rumah yang membuat aku rindu, rindu suasananya dan juga rindu akan sosok gadis yang membuatku berlama – lama memikirkannya.

“Assalamualikum.” Suaraku membahana mengucapkan salam, langkah mendekati pintu terdengar dari dalam.

“Walaikumsalan.” Suara terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu didepanku.

Aku memasang senyum yang termanisku, wajah tua yang masih terlihat cantik. Sama cantik dengan putrinya, cantik putrinya lagi aku tertawa dalam hati bagaimana aku bisa membandingkan Anak dan Ibunya.

“Nak Akmal, ayo masuk. Bagaiman sudah baikan kakinya?” aku tersenyum dan masuk ke dalam rumah yang seakan membuat siapa saja yang berada didalamnya terasa nyaman.

“Akmal bawakan buah – buahan Bu.” Kataku sambil menyerahkan sekeranjang buah – buahan yang tadi sempatku beli.

“Kenapa harus susah – susah begini Nak Akma.” Aku melihat wajah tua di depanku sepertinya malu menerima pemberianku yang seharusnya lebih aku memberinya karena anak gadisnya sudah membantuku.

“Maaf bu, hanya ini yang bisa Akmal bawa. Tolong diterima.” Kataku untuk membuat Ibu lebih tenang menerimanya.

“Balqis masih kerja.” Ibu membaca pikiranku, karena dari masuk tadi aku mencari sosok gadis yang mengisi sepekan hariku ini.

“Maaf bu, Balqis bekerja dimana? Masih lama pulangnya?

“Semenjak Ayahnya meninggal, balqis menjadi tulang punggung keluarga. Dari pagi sampai jam 4 nanti dia bekerja di supermarket. Malam dia akan memberikan les matematika untuk beberapa anak SMP yang tinggal sekitar sini. Lumayan untuk menambah biaya dapur kami Nak Akmal.” Cerita ibu terhenti sejenak

“Balqis punya cita – cita mau jadi guru, tapi karena Ayahnya meninggal 2 tahun yang lalu tepat di hari kelulusan SMA-nya Balqis terpaksa mengubur cita – citanya. Karena itu Balqis sangat senang ketika ada anak – anak SMP sekitar sini yang mau les denganya.” Cerita Ibu membuatku terharu.

Balqis jauh berbeda denganku, aku menyia – yiakan kesempatan untuk kuliahku sehingga seharusnya aku sudah wisuda tapi statusku masih juga mahasiswa sekarang. Aku malu dengan Balqis betapa perjuangan hidupnya membuatku menyesal.

Aku melihat jam dipergelangan tanganku masih terlalu lama jika aku harus menunggu Balqis, akhirnya aku pamit dengan Ibu, lebih baik aku menyusul Balqis ditempat kerjanya pikirku.(bersambung)

***

Tinggalkan Balasan