MAAFKAN (2)

Sudah tiga bulan berlalu, janji akan mengajak adikku pindah rumah setelah menikah tidak pernah terwujud. Aku masih saja memendam semua rasa yang sungguh tidak bisa aku ungkapkan, aku tidak mau menambah luka dihati Ayah dan Hani adikku.

Mataku menerawang, setiap malam aku harus berjaga – jaga walaupun dalam tidur. Pintu kamar sudah terkunci tapi rasa selamat belum juga aku punya. Tidurku tidak pernah lagi nyenyak, jagaku penuh dengan intimidasi pandangan mata tak bersahabat dari iparku sungguh bagai duri dalam daging selalu mencari kesempatan untuk membuatku merasa tidak betah di rumah. Inginku sampaikan kepada Ayah pasti mereka mengira aku mengada – ada, kepada Adikku jika aku sampaikan pernikahan yang baru seumur jagung pastikan patah di tengah jalan. Tapi aku sudah tidak tahan dengan semua perlakuan adik iparku.

“Ayah, lusa Hana akan dipindah kerja. Maafkan sebelumnya Hana tidak meminta izin Ayah.” Dengan suara mantap aku menyampaikan permintaan izin dari Ayah untuk keluar dari rumah, walaupun aku tahu Ayah tidak akan pernah mengizinkan aku untuk pergi.
“Kemana otakmu Hana, percuma Ayah menyekolahkanmu tinggi. Ayah tidak akan pernah mengizinkan anak gadis Ayah keluar dari rumah sebelum dirinya menikah. Nekat keluar dari rumah Ayah akan menganggap dirimu bukan lagi anak Ayah.” Suara melengking Ayah membahana di ruang tengah rumah kami. Aku memandang rasa tidak suka dari Hanan adik iparku serta mata tidak percaya dari adikku Hani, tapi aku sudah menguatkan tekat, biarlah dibuang dari keluarga yang penting aku terlepas dari segala sakit hati yang disebabkan oleh adik iparku.

“Maafkan Hana Ayah, berbahagialah Hani adikku. Untuk dirimu Hanan cobalah untuk menerima apa yang sudah menjadi takdirmu. Allah menjadikan Hani adikku menjadi istrimu, bukan diriku.” Batin mengucapkan kata yang tidak mungkin keluar dari bibirku sampai ajal menjemput.

“Tak payah tunggu besok, pergilah sekarang jika kau tidak mau merubah pikiran. Anggap Ayah dan Hani Adikmu sudah mati.” Muka Ayah sudah merah padam, akhir kalimat yang aku takutkan keluar dari mulut Ayah.

Aku berjalan menuju kamar mengambil koper yang sudah aku siapkan, langkah tidak akan bersurut lagi. biarkan aku pergi, maafkan Hana Ayah batinku sekali lagi.***

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar