Gelap bukan berarti malam, langit mendung menyelimuti siang yang baru saja tertimpa teriknya sinar matahari. Tanpa diundang medung berarak, gelam menerpa mayapada. Nanar mataku melihat semua menjadi gelap serta merta aku berdiri menghidupkan lampu untuk menerangi ruangan tempat aku sekarang berada.

“Hana, kita berpisah saja.” bagaikan berhenti degup jantungku saat itu

“Bang, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tak tentu arah.” Lirih suaraku takut dengan ucapan suamiku barusan

“Abang sudah pikirkan, tak ada yang mengikat kita.” Begitu santai ucapan Bang Rian.

Ada yang menusuk hatiku, walaupun aku tidak bisa memberikan keturunan kepadanya bukankah aku sudah mengizinkan untuk menikah dan mempunyai anak dari perempuan lain yang bertitel madu buatku.

Semua rasa sudah aku jadikan keikhlasan tapi jika aku harus berpisah dengannya, kenapa aku mengizinkannya untuk menikah lagi.

“Janji untuk selalu bersamaku sudah tidak berlaku lagi bagi Abang?” ucapku lirih

“Abang penat harus bolak balik dari rumah Riana dan rumahmu.”

Dug hatiku membeku, dulu sebelum menikahi Riana, Bang Raihan yang berjanji untuk kuat membagi adil waktunya buar Aku dan maduku, tapi sekarang ini kenyataannya.

Satu sisi hatiku berkata, ingin mengatakan aku mengizinkan Riana dan anak – anakya tinggal di sini bersamaku dan Bang Rian. Tapi sisi lain berkata akankah aku menambah luka dengan membiarkan mereka tinggal bersamaku, hanya untuk mempertahankan Bang Rian tetap bersamaku.

Lama kami terdiam dalam pikiran masing – masing. Helaan napas terdengar berat dari mulut Bang Rian, aku hanya memandang wajah yang selalu membuatku terluka lima tahun kebelakangan ini.

“Atau.” Suara Bang Rian mengantung

“Atau Apa Bang?” tanyaku dengan rasa penasaran yang dalam, semoga Bang Rian tidak membuat luka dengan ucapannya lagi.

“Izinkan Riana dan anak – anak tinggal di sini, rumah ini terlalu besar untuk kita berdua Hana.” Aku melihat Bang Rian tanpa beban mengatakannya.

“Biarkan Hana berfikir, apakah kita akan berpisah atau ?” aku tidak melanjutkan kataku, langkahku laju meninggalkan Bang Rian, satu – satu tempat yang membuatku tenang adalah pantai. Ku lajukan mobil Jazzku membelah sunyinya senja dengan warna jingganya sebelum malam menjemput,

***

Ku gelar sejadah di pantai lepas, azan magrib menjemput kala mobilku sampai di bibir pantai. Untung saja tadi aku masih dalam wudhuku, perlengkapan sholat selalu ada di mobil. Dalam luasnya pandangan aku berdoa semoga aku diberikan jalan untuk sekelumit masalah yang selalu datang dalam rumah tanggaku.

Tapi aku tidak pernah marah kepada sang pencipta, sedari kecil semua kemauanku selalu dituruti. Anak semata wayang dengan limpahan harta, tapi semenjak berkenalan dan jatuh cinta pada pemuda sederhana yang mengajarkan aku arti hidup sederhana dan berbagi aku menikmati hidup, ya dia suamiku Rian.

Dari awal pernikahan kami sudah di tentang orang tuaku, Papa dan Mama tidak berkenan dengan Bang Rian yang menurut mereka hanya memanfaatkan kepolosanku. Tapi aku mantap dengan pilihanku, berjalannya waktu masalah baru datang. Setelah lima tahun menikah aku belum juga hamil, sementara orangtua Bang Rian meminta cucu karena Bang Rian satu – satunya anak lelaki mereka.

Dengan berat hati, aku memilih surga yang konon katanya jika istri mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Semua aku lakukan atas nama cinta, cinta yang menurut Papa Mama membuatku seperti orang gila, apalagi hasil dari pemeriksaan dokter tidak ada yang salah dengan diriku. Sehingga aku merasa ini juga satu tanda yang maha kuasa dengan menguji keikhlasanku, aku tidak mau berpisah dengan Bang Rian.

Tahun ke sepuluh pernikahan kami mestikah aku mengalah dengan membawa maduku ke dalam rumahku, bukankah aku sudah membagi suami, membagi waktu dan membagi rumah untuk mereka tempati, pikiranku sudah melayang – layang  dengan bermacam argumentasi.

***

Akhirnya aku sampai di rumah maduku, mobil senjaga aku parkir lebih jauh dari rumah kedua suamiku. aku ingin menenangkan hati sebelum memberitahukan maksud kedatangan kerumah ke dua suamiku belum pernah aku injak.

“Mas, terus saja desak Mbak Hana. Aku, mau tinggal di rumah besar, di sini terlalu sempit buat kita. Atau Mbak Hana saja yang kita minta pindah ke sini.” Tak jadi tanganku mengetuk pintu.

“Toh selama ini kita sudah bisa mengibuli Mbak Hana, pasti Mbak Hana tidak sanggup berpisah dengan Mas, Mas kan cinta matinya Mbak Hana.” Suara Riana terdengar lagi

“Sudah Riana, terlalu banyak kita menfaatkan kebaikan hati Hana. Mas tidak bisa membayangkan jika Hana sampai tahu selama ini Mas menukar vitamin kehamilannya dengan obat pencegah kehamilan.” Deg jantungku benar – benar terkeluar dari tempatnya bergantung, hatiku langsung mengeluarkan darah segar, ku kuatkan hati untuk terus mendengar percakapan Bang Rian dengan Riana.

“Mas jangan bilang, Mas sudah mulai mencintai Mbak Hana.” Suara keras Riana terdengar

“Hana bak malaikat Riana, kita sudah terlalu memanfaatkannya, syukur dia mengizinkan kita menikah, Mas sudah berjanji untuk adil tapi dalam hal waktunya mas tidak adil dengan Hana. Mas lebih banyak di sini bersamamu dan anak – anak daripada disana.” Suara Bang Rian tidak membuat hatiku menjadi senang mendengarnya selama ini aku selalu berdamai dengan waktu hanya berharap aku ikhlas hanya untuk tetap bersama Bang Rian tapi waktu juga menjawab doaku. Ternyata waktu sepuluh tahunku hanya berpegang  pada dahan yang rapuh, hanya menunggu waktu untuk patah.

Aku membalikkan langkahku menjauhi rumah maduku, masuk ke dalam mobil. Mengambil gawaiku mengetik di kolom chat.

“Bang kita pisah saja.” Hanya itu yang mampu aku tulis, menstater mobil menjalankan pelan. Tak lama aku mendengar suara panggilan masuk, terjelas terpampang dari Bang Rian. Tidak ada kata yang dapat diucapkan lagi diantara kami, biarlah waktu yang menghapus semua rasa ini. ***

 

 

Tinggalkan Balasan