Mau tersenyum tidak bisa, tidak tersenyum ada yang miris di sudut hatiku. Mungkin ini bukan pengalaman luar biasa buat seorang yang bergelar guru. Setiap hari pasti ada hal yang membuat bibir ini tertarik ke atas walaupun hati ini sebenarnya tidak ingin tertawa.
Hari ini seperti biasa mengajar tatap muka terbatas, setelah wilayah kami level 1. Hari ke dua setelah hari pertama kemaren tidak ada yang luar biasa, yang namanya siswa pasti ada yang rajin mengerjakan tugas dan ada yang ya begitulah, maka sebagai guru pasti harus tahu trik untuk mereka membuat tugas.
Berkeliling tidak terlalu dekat dengan mereka, masker terpasang manis sebagai ganti lipstick yang biasanya menghiasi bibir biar tidak terlihat pucat. Mata tajam meneliti satu persatu mereka bekerja membuat pembukuan berganda dari soal yang diberikan.
Setelah waktu yang disepaki bersama, satu persatu peserta didik menunjukkan hasil akhir dari pembukuan yang mereka kerjakan.
Hasil akhir antara debit dan kredit tidak sama, sekali lagi sebagai guru meneliti hasil kerja mereka, sambil tersenyum saya bertanya angka berapa yang ditulis untuk transaksi no lima. Dengan santai peserta didik yang saya tanya berkata dua juta enam ratus lima puluh ribu rupiah, tapi yang saya lihat dari catatanya dua ratus enam puluh lima ribu rupiah. Sampai tiga kali saya bertanya, beda atau tidak yang di tulisnya untuk nominal di dua sisi pembukuan. Setelah saya mengatakan tidak sama, yang membuat saya tertawa miris, jawabaan dari peserta didik saya. Nominalnya beda tipis bu. Beda tipis dari hongkong, batinku. Siapa yang salah? Apakah karena terlalu lama belajar di rumah karena covid atau karena mereka lupa beda ratusan dengan jutaan. Hanya mereka yang bisa menjawabnya, tapi sebagai guru tentu ini menjadi pemikiran yang harus di cari solusi pemecahaannya.(AZ)