#3 – Jasser Arafat dan Pelaut Indonesia

Sosbud27 Dilihat

oleh

Sucipto Ardi

 

Tahun 2018 merupakan tahun terindah bagi Palestina terkait keberadaannnya di mata dunia internasional. Sebanyak 193 negara mengakui Palestina sebagai negara merdeka berdaulat. Dari mulai negara dengan lekatnya nuansa Islam hingga negara yang minim jumlah muslimnya, sepakat untuk menyebut Palestina sebagai sebuah negara layaknya negara lain di dunia ini.

Perwakilan negara Palestina yang sah berdiri dengan pondasi de jure dan de facto yang kokoh. Kenyataan yang membanggakan ini, bukanlah tanpa usaha. Berbagai bidang digerakkan untuk terselenggaranya negara Palestina yang berdaulat. Terkait dengan ini, bidang diplomasi harus diakui mengambil peranan yang begitu dominan, ditambah manuver militer yang konsisten memukul posisi militer Israel di tanah Kan’an ini.

Bidang diplomas dipilih oleh bangsa Palestina ini sebagai jembatan yang mampu dipahami dunia dalam menempuh cita-citanya. Langkah awal yang terbilang sukses adalah ketika perwakilan dari Israel, yakni Yitzak berjabat erat dengan wakil Palestina, Yasser Arafat. Tahun 1993-1994 adalah tahun dimana perdamaian bersemi di tanah Palestina. Dengan ditantatanganinya perjanjian damai di Oslo, Norwegia dunia berharap perang yang berkecamuk puluhan tahun dapat mereda, dan masalah kemanusiaan berhenti di sana.

“Anda tidak perlu menjadi muslim untuk memahami apa yang terjadi di Palestina, anda cukup menjadi manusia saja. Karena ini adalah masalah kemanusiaan”. Kalimat inilah yang gemar mencuat ketika perang “datang-pergi” di tanah Palestina. Perluasan pemukiman warga Yahudi yang mencaplok tanah-tanah warga Palestina dengan bulldozer yang didukung militer Israel, terus menerus menjadi pemandangan sejak 1948.

Sedikit demi sedikit secara terstruktur dan massif rakyat Palestina terusir dari tanah kelahirannya. Dari luas wilayah yang isinya warga Arab Palestina kemudian hanya “menyelip” di 2 daerah, yaitu Tepi Barat dan Gaza. Sisanya dikuasai dan diisi oleh bangsa Yahudi. Kekuatan militer memiliki kekuatan pemaksa yang ampuh dalam menunaikannya. Israel sebagai negara baru didukung oleh kekuatan besar lainnya, seperti Inggris, Perancis, lalu Amerika Serikat. Perang-perang besar yang terjadi ditahun 1948 dan 1967, menegaskan bahwa Israel bukan “negara sembarangan”. Bantuan negara-negara Arab sekita Palestina tidak mampu berkutik malahan bertekuk lutut. Perang seminggu di tahun 1967, menyadarkan rakyat Palestina untuk tidak menggantungkan harapannya lagi kepada negara-negara lain. Palestina berjuang berdikari, berdiri di kaki sendiri.

Sebelum pengakuan tahun 2018, rakyat Palestina memiliki perwakilan resmi namun bukan perwakilan negara yang dikenal dengans sebutan PLO (Palestine Liberation Organization). Selama puluhan tahun, organisasi ini mengkampanyekan teror kepada militer pendudukan Israel. Belakangan, sepertinya setelah memahami bahwa aksi militer tidak terlalu efektif mewujudkan cita-cita PLO “merdeka”, diplomasi mulai digulirkan. Keduanya jalan beriringan, perang-perang dilakukan, perlawanan “intifadah” yang muncul beberapa kali menjadi penyemangat dan harapan mereka yang dilapangan bahwa perjuangan belum usai.

PLO yang memiliki sayap militer Fattah, menjadi kekuatan utama di Palestina. PLO juga amat popular di mata rakyat, terlebih program-programnya mengadaptasi gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir yang bergerak dipendidikan, kesehatan, dan sosial. Pengaruh dari Mesir ini memang bukan tanpa alasan. Pendiri dasarnya ialah seorang yang besar dan berpendidikan Mesir, yaitu Yasser Arafat. Setelah melalui proses yang berdarah-darah bersama berbagai elemen gerakan perlawanan, akhirnya pada tangga 3 Februari 1969 dipilih sebagai ketua PLO. Sejak saat itulah, Yasse Arafat membawa PLO bergerak melobi dunia Internasional tekait masalah Palestina. Mendirikan pemerintahan dipengasingan dan mampu berbicara di Sidang Umum PBB tahun 1974 sebagai wakil resmi rakyat Palestina non pemerintahan.

Perlawanan menjadi nafas setiap saat bagi rakyat Palestina. Perlawanan terhadap Israel menjadi isu yang pokoknya, begitupula serupa apa yang terjadi di Indonesia di tanggal yang sama: 3 Februari. Di pelabuhan kota Surabaya para pegawai perkapalan Belanda berkulit sawo matang, melakukan unjuk rasa besar-besaran. Peristiwa ini terjadi pada 3 Febuari 1933, yang menjadi bukti bahwa pelaut pribumi masa kolonial memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan harkat dan martabat. Kesenjangan dan pengurangan gaji sebesar 17 % karena krisis ekonomi dunia berdampak meluas hingga gelora nasionalisme muncul kepermukaan. Sejarah mencatat peristiwa tersebut sebagai momentum kebangkitan pejuang kemaritiman, dan kali pertama pejuang pelaut Indonesia tampil kedalam goresan tinta emas sejarah bangsa ini.

Dengan demikian, kedua bahasan tersebut bersemayam sebuah kata yang serupa, yaitu perlawanan. Banyak orang Indonesia, jangan-jangan peserta didik tidak mengetahui bahwa nenek moyang (pelaut) kita di awal abad 20, melakukan perlawanan terhadap Belanda selayaknya pendahulu mereka. Kalau anda ?.

 

 

Daftar Sumber:
https://daerah.sindonews.com/berita/1279029/29/peristiwa-kapal-tujuh-pemberontakan-pelaut-indonesia-di-atas-kapal-perang-belanda#:~:text=Terjadi%20aksi%20mogok%20besar%20yang,Aceh%2C%20pada%2030%20Januari%201933.
http://maritimnews.com/2016/02/3-febuari-1933-momentum-kebangkitan-pejuang-maritim-bangsa-indonesia/
https://www.merdeka.com/jatim/3-februari-dilantiknya-yasser-arafat-sebagai-ketua-organisasi-pembebasan-palestina-kln.html?page=1
https://galajabar.pikiran-rakyat.com/ragam/pr-1081370973/flashback-3-februari-yasser-arafat-dilantik-jadi-pemimpin-plo

 

Tinggalkan Balasan