#5 – De Zeven Provincien & HMI

Sosbud55 Dilihat

 

oleh

Sucipto Ardi

 

Barangkali tidak banyak yang mengetahui bahwa nenek moyang kita sang pelaut memiliki kisah heroik di abad 20. Dalam buku dan penjelasan sejarah di sekolah, citra heroik selalu disematkan bagi mereka yang menunggang kuda dan berperang di darat melawan penjajah, semisal Belanda. Ini mungkin bisa dibilang miris. Bagaimana tidak ?, Indonesia sebagai negara maritim namun kisah kehebatan kaum maritim tidak muncul ke dalam kelas pebelajaran.

Itu memang tidak menyenangkan, begitu pula latar dimana kaum maritim bumi putera Indonesia di atas gladak. Selain di darat, kehidupan dunia penjajahan juga berlaku di atas air. Sejak diputuskannya pengurangan gaji sebesar 17% untuk bumi putra dan 14 % bagi pegawai Belanda pada tanggal 1 Januari 1933 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda De Jong, keadaan segera memanas. Mereka yang bekerja dijawatan kepemerintahan mengalami kegelisahan. Sontak mulai terjadi penolakan disana-sini. Salah satu puncak terbesarnya ialah ketika ada aksi pemogokan pada tanggal 3 Februari 1933 di Surabaya. Pemogokan yang dilakukan oleh banyak kelasi bumi putera bukan berarti tanpa dukungan orang Belanda. Nyatanya, banyak pula orang Belanda yang ikut serta.

Pemogokan yang terbilang besar ini terkonemksi denagn kelasi yang sedang berlayar hingga ke lautan Aceh. Kapal yang mereka tumpangi merupakan kapal perang terbesar yang dimiliki Hindia Belanda ketika itu. Berdasarkan titah, kapal yang baru berlabuh di pantai Aceh diperintahkan ke Surabaya untuk memadamkan pemogokan pasalnya bisa jadi karena sama-sama dibidang kemaritiman dan reputasi kapal perang terbesar, keesokan harinya akan berlayar. Baru sehari berlayar, kapal kapal perang bernama “De Zeven Provincien” kemudian berlabuh dipantai Barat Sumatra utara. Tak diduga, ternyata wong londo malahan pesta-pesta dipinggir pantai dan mangajak kelasi bumi putera untuk bergabung.

Di darat, tepatnya di dalam bioskop, kelasi bumi putera merencanakan pengambilalihan kapal perang terbesar Belanda lalu membawanya ke Surabaya. Ini dilakukan untuk memperkuat semaagat perjuangan protes terkait soal penurunan gaji, juga ingin menarik perhatian pemerintah Hinda Belanda. Dengan persiapan kilat, rencana mereka berhasil dijalankan. Ada 500-an kelasi bumi putera yang turut dalam “pemberontakan” itu, dan lebih daru 500 kelasi berbangsa Belanda larut dalam tindakan heroik di tanggal 5 Februari1933 ini. pemebritahuan bahwa kapal kebanggan Hindi Belanda diambil alaih disiarkan oleh kelasi bumi putera dalam 3 bahasa, yaitu bahasa Belanda, Inggri, dan Indonesia.

Negosiasi yang dilakukan pemerintah Hindi Belanda ditolak. Para pemberontak “keukeh” ingin bergabung dengan aksi pemogokan di Surabaya. Akhirnya dikirimlah pesawat terbang, dan bom dijatuhkan tepat diatas Kapal Tujuh Provinsi. Pemberontakan usai, kaum maritim Indonesia menyerahkan diri. Ada yang dipenjara, dan dibuang ke Kepulauan Seribu lepas pantai Batavia.

Aksi yang membuat Hindia Belanda kalang kabut yang dilakukan dan dipimpin oleh kelasi/ABK (Anak Buah Kapal) bumi putera merupakan peristiwa yang besar. Ini satu-satunya kemunculan kaum maritim Indonesia yang heroik di abad 20 sebelum kemerdekaan, bahkan belum ada sebelumnya. Oleh karenanya moment yang berlangsung sebelum Indonesia merdeka itu, belakangan kembali diperbincangankan. Salah satu isi utamanya bahwa kejadian di 5 Februari diharapkan jadi hari istimewa bagi dunia maritime Indonesia.

Pada tanggal 5 Februari pula setelah Indonesia merdeka lahir organisasi kemahasiswaan di Jogjakarta, yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Organisasi mahasiswa ini pernah jadi bulan-bulanan diawal tahun 1960-an ketika PKI mendominasi. Label Islam yang melekat ini, mengharuskan mereka harus berhadap-hadapan organ komunis dimanapun berada. Di mimbar kampus, di saat pelantikan di alam bebas, bahkan di jalan ketika berdemonstrasi.

Tak selesai sampai di sini, HMI terus menapaki perjalanannya dengan berliku. Keteguhan dalam mengamanatkan AD/ART organisasi mengalami benturan besar di pertengahn tahun 1980-an. Asas Tunggal Pancasila sebagai aturan masa Ode Baru membuat HMI seakan terpecah dua. Apa mau dikata, Asas Tunggal Pancasila bersemayam di HMI. Sejak saat itu pameo terjadi. HMI bukan Islam, tapi HMI Pancasila.

Kisah sindiran itu, kemudian sekan berulang paska reformasi. Keinginan untuk memakai kembali ruh Islam kemudian menyebabkan HMI terbekah 2, ada HMI DIPO dan HMI MPO. Terlepas dari itu, harus diakui bahwa HMI sebagai sebuah agen pembentukan kader dapat dibilang berhasil. Banyak jebolan HMI kemudian menjadi tokoh nasional, sebut saja Jusuf Kalla, Nurcholis Madjid, dan Hidayat Nur Wahid.

Demikianlah adanya.

 

Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Kapal_Tujuh_Provinsi#:~:text=Peristiwa%20Kapal%20Tujuh%20Provinsi%20(Zeven,adalah%20keputusan%20untuk%20menurunkan%20gaji

https://id.wikipedia.org/wiki/Himpunan_Mahasiswa_Islam

https://tirto.id/sejarah-lahirnya-himpunan-mahasiswa-islam-hmi-5-februari-f9Eu

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan