Senja hari yang temaram membiaskan seraut wajah sendu pada sebuah kubangan air yang keruh berlumpur di pinggir taman itu. Seraut wajah yang terlihat pucat dengan bibir yang membiru. Sesekali wajah diatas kubangan yang polos tanpa make up mencoba tersenyum, namun sepertinya bayangan wajah itu tetap saja sendu. Rambutnya yang hitam lurus mengkilat sesaat menjadi coklat bergelombang kelabu, ketika sekumpulan tetesan air menusuk permukaannya. Riak-riak kecil menari mempermainkan wajah sendu itu.
Wajah sendu itu semakin tidak berbentuk, ketika ada lima buah jari bekerjasama meraba-raba kubangan itu. Wajah itu meronta tanpa pernah bisa berteriak. Kelima jari itu masih saja terus meraba-raba seakan mencari sesuatu. Sesekali tangan kirinya membetulkan rok merahnya yang sedikit terangkat. Sesekali pula, dia tampak membetulkan letak rambutnya yang terjuntai. Sambil tetap berjongkok, dia terus meraba kubangan itu sampai ke dasarnya.
Tetesan air yang menyejukkan tak juga dihiraukannya. Bukan saja rambutnya yang telah basah, tetapi juga pakaiannya yang berwarna merah. Matanya jalang menatap kubangan dalam kekesalan. Senja berlalu diganti dengan lukisan malam yang temaram disinari lampu jalanan. Kepasrahan mengantarkannya ke tepi batas kesabaran. Sampai akhirnya, dia dikagetkan oleh tepukan ringan di pundaknya. Tepukan seorang lelaki yang sepertinya kebetulan lewat disana.
“Eh maaf, ada yang bisa saya bantu?” kata orang itu dengan sopan.
Perempuan muda itu menoleh sambil berusaha bangkit. Sesosok lelaki muda berpakaian rapi tengah berdiri di belakangnya dengan sebuah payung perak.
“Oh ini, Pak, saya sedang mencari cincin saya yang terjatuh ke dalam kubangan,” jawabnya dengan mulut bergetar.
“Eh kamu Rona bukan?” tanya lelaki muda itu.
Rona terdiam beberapa saat, sampai akhirnya dia merasa mengenali suara itu. Suara yang dulu pernah mengirimkan sebuah rangsang yang menggetarkan hatinya.
“Iya, kok Anda tahu?” tanya Rona dalam nada penasaran. Wajah cantiknya merona menari dibawah siraman sejuta cahaya terang malam itu.
“Mana mungkin aku bisa lupa sama kamu. Aku takkan pernah bisa melupakan suara indahmu saat kaunyanyikan sebuah lagu untukku di atas bukit kampung kita,” kata lelaki itu sambil mendekatkan payungnya, berusaha memberikan perlindungan pada tubuh perempuan muda itu dari terjangan air hujan yang telah menghapus bayangan wajah sendu dalam kubangan. Payung menghadang laju kecepatan cahaya lampu untuk menembusnya. Cahaya memantul dari permukaan payung, membuat payung warna perak itu berpendar.
“Kamu Rino ya?’ tanya Rona lirih.
“Iya Rona, kamu masih ingat aku kan?” kata Rino sambil mengulurkan tangannya.
“Tentu dong Rino,” kata Rona yang merasakan hangatnya aliran darah dari tangan Rino.
“Oya maaf Rona, cincin kamu sudah ketemu belum?” tanya Rino memegang erat payung takut terlepas.
“Ah, biarlah Rino, toh cincin itu sudah tidak berarti lagi,” jawab Rona datar.
“Kalau boleh tahu, tadi kamu bilang cincin itu sudah tidak berarti lagi, maksudnya apa ya?” tanya Rino dalam penasaran.
“Maaf Rino, ceritanya panjang, kalau saya ceritakan disini nanti bisa-bisa kita membeku kedinginan,” jawab Rona dengan sedikit senyum mengembang di bibir tipisnya.
“Kalau kamu tidak keberatan, kita mengobrol di tempatku saja,” kata Rona lagi.
“Memangnya kamu tinggal dimana?” tanya Rino dengan penasaran.
“Ah, tidak jauh dari sini, paling lima belas menit jalan kaki juga sampai,” kata Rona sambil melangkah meninggalkan kubangan itu.
Rino segera meraih tangan Rona dengan lembut dan mulai melangkah bergandengan. Mereka menapak pasti di tengah pergumulan rasa yang tak pasti. Mereka berjalan bergandengan menantang hawa dingin dan lebatnya guyuran hujan. Sepanjang perjalanan, mereka banyak berbincang tentang kehidupan masing-masing.
“Hebat kamu Rino, kamu sudah bisa sukses seperti sekarang ini. Pasti berkat kegigihanmu dalam bermusik,” kata Rona memuji.
“Ah kamu bisa saja. Kamu juga hebat lho, kamu sudah memiliki banyak relasi. Ada pengusaha, politisi, bahkan pejabat tinggi. Wah pasti kamu sangat menikmati pekerjaanmu ini ya,” kata Rino mempererat pegangan tangan Rona yang berjalan anggun di sampingnya.
Percakapan hangat sepanjang jalan itu mampu mengusir dinginnya hawa hujan yang turun dengan lebatnya. Terkadang terdengar tawa nakal mereka di tengah guyuran air hujan malam itu. Senyuman bahagia tampak menghiasi raut wajah mereka berdua, saat sekelebat cahaya menari di angkasa.
Dalam keadaan gelap sekalipun, Rona tetap bisa melukiskan tapak sepatunya di jalan itu. Hampir sepuluh kali sehari, jalan itu selalu dilaluinya saat dia harus belanja ke toko dekat taman kota. Dua puluh menit berselang, sampailah mereka berdua di depan gerbang rumah bercat biru dengan kamar yang berderet menyerupai kos-kosan. Di depan rumah itu terdapat semacam papan nama berhias lampu neon. Rona menggandeng Rino dan masuk ke halaman. Tampak beberapa perempuan muda tengah duduk-duduk di sebuah teras kamar. Mereka tertawa riang dan tampak menikmati setiap tetesan hujan yang turun ke bumi. Seakan tetesan yang kadang-kadang disertai cahaya terang menghias angkasa itu mampu melarutkan kegelapan dalam hidup mereka.
Setelah dengan agak susah payah Rona akhirnya berhasil membuka pintu rumah induk itu. Rino pun mengikuti Rona masuk ke ruang tamu rumah induk dan mengambil duduk di sofa paling ujung. Rona tampak meraba-raba dinding ruangan itu. Tak sulit bagi Rona untuk menemukan saklar dan menyalakan lampu ruangan itu. Ruangan kecil itu menjadi lebih terang.
“Ini Rino, silakan diminum kopinya,” kata Rona yang sudah selesai mengganti bajunya yang basah. Cahaya lampu ruang tamu menciptakan sebuah bayangan patah di dinding.
“Terima kasih,” jawab Rino singkat sambil mulai mencecap kopi panas itu sedikit demi sedikit.
Rona menutup pintu dan perlahan duduk di samping Rino. Sementara itu, di luar hujan mengguyur bumi dengan semakin ganas. Kilat masih juga menyambar, cahayanya menembus tirai jendela. Bunyi genteng ruang tamu itu seakan menjadi instrumen pengiring pergolakan hati keduanya. Pergolakan hati karena rindu yang tertahan hampir sepuluh tahun lamanya.
Dengan hati-hati Rino mencecap sedikit demi sedikit rasa manis yang ada dalam kopi panas itu. Kopi panas yang membuat tubuhnya menjadi hangat. Sampai akhirnya, kopi panas itu tinggal ampasnya saja. Rino menghela napas dalam kenikmatan.
“Oya Rona, gimana kelanjutan ceritamu tentang cincinmu yang jatuh tadi?” tanya Rino sambil bersandar lelah di ujung sofa.
“Oh itu, cincin itu adalah cincin pernikahanku dengan suamiku. Aku telah bercerai dua tahun lalu. Yah, akhirnya aku harus berjuang sendirian untuk menghidupi aku dan anakku yang masih kecil. Kerasnya dunia membuat otakku berputar untuk mengubah nasibku dan teman-temanku dengan bekal keterampilan yang aku miliki,” kata Rona dengan nada datar. Sedatar hidupnya dulu sebelum mengenal mantan suaminya.
Rino sepertinya memahami suasana hati Rona. Rino segera mengalihkan pembicaraan. Pembicaraan ringan dari pekerjaan sampai tentang masa lalu mereka yang indah.
“Dengan dukungan seorang pengusaha, akhirnya aku pindah ke sini dan diberi modal untuk mengajari teman-teman yang senasib denganku membuat kain sulam. Akhirnya aku bisa mandiri dan bahkan bisa mempekerjakan beberapa orang,” kata Rona. Tak heran di ruangan itu terdapat banyak hasil karya mereka. Beberapa dipajang dan beberapa sudah berada dalam kardus siap untuk didistribusikan.
“Hebat kamu Rona. Oya, kamu masih ingat tidak cerita tentang cahaya terang yang sering aku ceritakan dulu waktu kita sering berteduh di rumah penduduk tepi bukit, karena kita kehujanan?” tanya Rino dalam senyuman. Senyuman yang penuh arti dalam kasih.
Rona tampak tersenyum juga, mengingat masa lalu indah yang dilaluinya dulu bersama Rino. Dia masih ingat betul tentang cahaya putih terang yang menghiasi punggung bukit saat hujan. Cahaya yang selalu diceritakan Rino dengan kata-kata yang indah. Kata-kata yang senantiasa membuat hatinya bersinar.
“Oya Rino, gimana kabar cahaya terang itu sekarang? Apakah masih seindah seperti yang pernah kamu ceritakan dulu?” tanya Rona dengan nada penasaran.
Rino terdiam dalam keremangan. Semburat cahaya lampu ruangan tak mampu menyembunyikan raut sendu wajahnya.
“Maafkan aku Rona, sepertinya saat terakhir kita bertemu dulu adalah saat terakhir bagiku untuk menceritakan keindahan cahaya itu,” kata Rino datar.
“Kok bisa begitu? Memang apa yang terjadi pada cahaya itu?” tanya Rona lagi.
“Cahaya itu tetap seperti dulu dan tidak ada yang berubah. Yang berubah adalah aku. Aku sudah tidak bisa melihat cahaya itu sejak aku divonis buta oleh dokter karena kecelakaan kerja yang aku alami. Sekarang kondisiku sama denganmu Rona,” kata Rino sambil berusaha meraba dan memeluk pundak Rona.
Jiwa mereka tumbang saat kilatan cahaya menerjang masuk melalui kaca jendela. Isak tangis keduanya pun pecah tak tertahankan, mengalir deras, sederas hujan malam itu. Keduanya larut dalam sebuah kesedihan. Kesedihan karena tak ada lagi hadirnya sebuah cahaya. Yang mereka miliki saat ini hanyalah harapan. Harapan akan tetap bersinarnya cahaya kehidupan yang terang benderang bagi mereka berdua.