Titik Balik: Mata Tanpa Tanda Baca

Cerpen46 Dilihat

“Seribu anak lulusan SD terancam tidak dapat mengenyam pendidikan dasar 9 tahun”

Aku termangu membaca judul berita sebuah koran lokal di kotaku, pagi menjelang siang itu di ruang kerjaku. Mataku lekat-lekat menatap deretan kalimat pada isi berita tersebut. Aku tersenyum getir saat pandangan visualku terpaku pada isi berita yang mengatakan bahwa rata-rata anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan adalah anak-anak yang berada di daerah pelosok yang jauh dari lokasi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Anak-anak lulusan Sekolah Dasar (SD) itu memiliki akses yang terbatas untuk mengenyam pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka Wajjib Belajar 9 Tahun hanya sekedar slogan saja.

Aku masih termangu dalam diam mencerna setiap kalimat yang ada. Tiba-tiba pikiranku terjebak pada sebuah kondisi yang terjadi di sebuah kampung kaki bukit yang sering aku kunjungi setiap hari Minggu untuk melabuhkan separuh hatiku. Kondisi geografis tersebut membuat anak-anak lulusan SD banyak yang membantu orang tuanya bekerja. Beberapa jawaban anak dari pertanyaanku menunjukkan bahwa mereka tidak dapat melanjutkan sekolah dengan alasan tidak ada biaya, terutama untuk transpor ke sekolah. Bayangan demi bayangan kesedihan di raut muka polos mereka membuat rasa kepedulianku terketuk.

Aku menghela napas panjang dan tanpa kusadari lembaran koran itu telah berubah menjadi kusut dalam remasan tanganku. Aku tidak habis pikir, kalau ternyata di negeri yang kekayaannya melimpah ini, masih banyak anak yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Rasa trenyuh tiba-tiba hinggap dalam sisi kemanusiaanku. Rasa kemanusiaan yang membuat indera penglihatanku tergenang cairan kesedihan. Genangan yang membuat mataku sembab dan dadaku terasa sesak. Seakan udara di sekitar ruang kerjaku tak lagi bersahabat dengan paru-paruku. Bahkan angin segar pagi menjelang siang itu sepertinya enggan untuk menyapa pagiku.

Teman kerjaku yang duduk di sampingku melihat perubahan air mukaku menggeser duduknya tepat di sampingku. Tak ada suara keluar dari mulutnya. Matanya tertuju pada sikap anehku pagi itu.

“Kenapa pak Doni?” tanya Alex, teman kerjaku.

“Ah tidak apa-apa kok pak. Saya baik-baik saja,” jawabku tanpa ekspresi.

“Tidak mungkin ah. Pasti ada apa-apa. Kalau tidak ada apa-apa masak baca koran sambil nangis,” kata Alex sambil meledekku.

“Ini lho pak. Saya sedih baca berita koran pagi ini,” jawabku sambil menyodorkan lembaran kertas buram berukuran besar itu kepada Alex.

“Oh, berita tentang anak yang tidak dapat melanjutkan ke SMP itu ya?” tanya Alex sambil ikut membaca deretan kalimat yang tertulis rapi di kertas itu.

Aku mencoba menutupi kesedihanku dengan senyuman saat aku mendengar bunyi bel tanda masuk kelas berdentang tiga kali. Aku melihat jam tangan digitalku menunjukkan pukul 10.20, itu artinya waktu istirahat selama 20 menit telah habis. Akupun bergegas mengemasi perlengkapan mengajarku mulai dari buku paket, buku Lembar Kerja Siswa (LKS) dan alat tulis juga tentunya.

“Saya masuk kelas dulu ya pak. Pak Alex tidak ada jam mengajar sekarang ya?” kataku pada Alex yang masih serius menyimak kata demi kata yang tertera pada berita koran itu.

“Oh iya. Saya masih nanti jam terakhir. Nanti deh pulangnya kita bahas lagi ya,” kata Alex yang terlihat sangat antusias dalam mendiskusikan setiap topik baru setiap harinya denganku.

Ruang guru terlihat sepi saat aku melangkah keluar. Hanya ada beberapa orang guru yang masih berdiam disana, karena sebagian sudah masuk ke kelas masing-masing. Akupun demikian, melangkah keluar kelas setelah menghapus kesedihan dengan siraman air di kamar mandi ruang guru itu.

Lingkungan sekolah tampak sepi. Tak ada aktivitas apapun yang terlihat. Hanya beberapa pegawai bagian kebersihan yang tengah sibuk mempercantik taman sekolah. Sesekali terdengar suara deru mesin pemotong rumput yang memecah kesunyian. Tak ada lagi siswa-siswi yang tampak berkeliaran di halaman sekolah maupun di bagian lingkungan lainnya. Aku segera masuk kelas dan kudengar salam dari bagian terbaikku, siswa-siswiku. Aku membalas salam mereka dan akupun mengawali rutinitasku dengan membagikan LKS untuk dikerjakan.

“Nah, anak-anak sekarang kita akan melaksanakan kegiatan di luar kelas. Silahkan anak-anak bekerja sesuai dengan petunjuk yang ada di LKS,” kataku pada anak-anak sambil menjelaskan petunjuk kerja yang ada.

Aku menyusul langkah siswa-siswiku yang menuju ke halaman sekolah dengan riang. Akupun tersenyum menyaksikan tingkah mereka. Tingkah anak-anak kelas 10 yang selalu saja mampu membunuh kesedihanku atas masalah-masalahku di luar lingkungan sekolah.

Aku mengajak anak-anak itu berkumpul di bawah pohon nangka yang sepertinya belum bosan menjadi saksi kemajuan sekolah ini. Sekolah tempat aku mendarmabaktikan seluruh ilmu yang kumiliki yang aku peroleh selama di bangku kuliah.

Tak lama kemudian, anak-anakpun terlibat aktif dalam proses pembelajaran hari itu. Ada yang sibuk mengidentifikasi daun pada berbagai jenis tanaman yang tumbuh di halaman belakang sekolah, ada pula yang tengah asyik berdiskusi tentang susunan akar yang dimiliki oleh beberapa tanaman yang mereka jumpai. Sementara itu aku duduk di kursi semen yang dibuat di bawah pohon rindang itu. Senyuman tersungging di bibirku melihat anak-anak itu begitu antusias mengikuti pembelajaran outing class.

Angin sepoi-sepoi yang datang mengisi paru-paruku mengantarkan aku pada sebuah lamunan. Lamunan yang datang dari berita koran, koran yang mungkin saat ini entah sudah berapa ratus pasang mata membacanya. Tapi pastinya tidak semua terlarut oleh berita-berita yang ada. Beberapa diantaranya pasti hanya sekedar membaca tanpa pernah berusaha memahami makna dibalik setiap berita. Beberapa diantaranya pasti saat ini tengah berdiskusi dengan yang lain tentang isu hangat yang ada dalam berita. Kekuatan media, appaun itu memang tidak terkira. Termasuk aku yang saat ini tengah larut dalam sebuah berita. Berbagai pertanyaan lalu lalang dalam benakku. Pertanyaan yang muncul dari rasa peduli terhadap kelangsungan bangsa ini di masa depan.

Beberapa anak terlihat berlarian di sela-sela tugasnya. Mereka tampak bahagia merasakan kebahagiaan karena terbebas dari ruang kelas yang membatasi mereka dengan dunia luar. Setidaknya setelah belajar selama empat jam pelajaran di dalam kelas, saat ini adalah saat yang tepat bagi mereka untuk belajar dari lingkungan. Ekspresi-ekspresi bahagia mereka membenamkan aku dalam sebuah pertanyaan.

“Bagaimana ya dengan anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan seperti mereka?” tanyaku dalam hati.

Aku menghela napas panjang, tidak bisa membayangkan mereka yang terpasung keadaan sehingga mereka tidak bisa memperoleh pendidikan semestinya. Mungkin tidak semua orang peduli dengan hal itu, tetapi beruntung aku bukanlah salah satunya, karena aku peduli. Peduli dengan pendidikannya dan tumbuh kembangnya.

“Ah mudahan saja suatu saat mereka mendapatkan pendidikan yang layak,” harapku dalam hati.

Aku masih terdiam di bawah pohon nangka saat kepedulianku terhadap nasib anak-anak yang berada dalam kondisi kurang beruntung mengantarkan aku pada sebuah ide. Ide yang dihasilkan dari tawa-tawa bahagia anak didikku yang tengah asyik melaksanakan tugas kelompoknya. Akhirnya, satu demi satu dari kelompok-kelompok itu telah selesai melaksanakan tugasnya. Teriakan yel-yel sebuah kelompok itu menyadarkan aku untuk kembali fokus pada tugasku saat ini.

Akupun kembali fokus untuk menyelesaikan tugasku hari ini dan mengajak anak-anak untuk masuk kembali ke kelas. Di dalam kelas aku membimbing mereka untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok masing-masing. Bel pergantian jam menjerit pilu dalam hatiku, saat kelompok terakhir menyelesaikan presentasinya. Tatapan mereka berbinar dalam seuntai senyum. Senyum yang tak pernah dimiliki oleh anak-anak lain yang mungkin saat ini tengah membantu orang tua mereka bekerja di sawah atau kebun.

Ragaku masih terpaku di ruang kerjaku, sementara pikiranku masih juga tertuju pada sosok-sosok mungil dengan tatapan mata yang mengharap iba. Beruntung aku bisa merasakan harapan mereka. Harapan yang membawaku pada keinginan untuk bisa menjadi bagian terbaik dalam membentuk generasi terbaik negeri ini. Keinginan itu mengantarkan pikiranku pada sebuah diskusi panjang dengan teman sejawat untuk mencari upaya mewujudkan keinginan itu. Dari hasil tukar pikiran itu aku banyak mendapat masukan tentang apa yang bisa aku lakukan. Masukan-masukan yang membuatku harus mempelajari lebih dalam lagi tentang keyakinan hati akan keinginan itu sendiri.

Diskusi pun usai saat bel tanda pulang nyaring terdengar di sekuruh bagian sekolah. Suasana sekolah yang hening berubah menjadi riuh rendah dengan suara ocehan bercampur tawa raga-raga mungil yang baru saja selesai meretas masa depan mereka. Aku beranjak pulang dalam sebuah tekad kuat untuk menjadikan ideku menjadi sebuah kenyataan.

Perlahan namun pasti, tinggal jejakku saja yang tertinggal di sekolah hari ini. Sesampai di rumah, aku memulai niatku dengan membaca dari sumber informasi yang mendukung niatku. Informasi yang terkumpul segera aku rekam di otakku. informasi demi informasi selanjutnya aku rangkai menjadi sebuah agenda yang akan aku lakukan. Kututup buku agendaku yang bersampul biru itu, kemudian aku melangkah menemui separuh hatiku yang tengah bertahta di kaki bukit, meskipun hari ini bukan hari Minggu.

Riana, seorang gadis berwajah manis menyambutku di depan gerbang rumahnya yang berpagar bambu. Terbersit rasa heran di binar matanya melihat kehadiranku yang tak biasa. Aku mengutarakan maksud kedatanganku dan sepertinya gayung pun bersambut. Riana tampak antusias dengan ide yang lontarkan. Dengan bantuan Riana, aku menyusun agenda pertemuan dengan orang tua anak-anak di kampung itu. Beruntung ayah Riana, pak Rusman,  adalah seorang kepala kampung, sehingga memudahkan aku untuk mewujudkan langkahku.

Keesokan harinya, seperti janji Riana sebelum aku pamit untuk pulang kemarin, pak Riana telah mengumpulkan warga kampung yang anaknya tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di tengah gerimis yang sepertinya enggan untuk berhenti, aku menyampaikan rencanaku untuk membangun sebuah Tempat Kegiatan Belajar (TKB) di kampung itu. Bermacam-macam respon warga mencuat dalam diskusi sore itu. pak Rusman banyak membantuku sebagai penengah diskusi sekaligus pencerah bagi warga kampung itu. Warga kampung yang memang kebanyakan tidak berpendidikan dan tidak peduli terhadap kelanjutan pendidikan anak-anaknya. Latar belakang itu memunculkan pro dan kontra. Salah satunya adalah pak Rahman, seorang pedagang di pasar, yang kontra dengan rencana yang sedang didiskusikan,

“Pokoknya saya tidak setuju dengan pembangunan TKB di kampung ini. Saya khawatir nanti setelah ada TKB anak-anak menjadi malas untuk bekerja,” kata pak Rahman lantang menyampaikan ketidaksetujuannnya.

“Pak Rahman, menurut saya itu adalah kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Saya yakin waktu belajar tidak akan mengganggu aktivitas mereka dalam membantu orang tuanya bekerja,” kata pak Rusman dengan bijak.

“Tergantung dari bapak dan ibu saja bagaimana mengajak anak-anak berdiskusi untuk menentukan kapan waktu belajar dan kapan waktu bekerja,” kataku menambahkan.

Pak Rusman kembali melanjutkan pembicaraannya. Beliau berusaha bijak tanpa terkesan menggurui. Sikap itulah yang akhirnya membawa pertemuan ke dalam sebuah diskusi kesepakatan. Ruang pertemuan mendadak tidak seriuh sebelumnya. Yang terdengar hanya suara berbisik bercampur deru angin malam yang menerobos dinding papan ruang pertemuan itu. Sementara aku dan pak kepala kampung yang didampingi Riana terdiam dan tenggelam dalam harap-harap cemas. Harap-harap cemas akan munculnya kemungkinan kesepakatan yang pasti salah satunya adalah kesepakatan yang tidak aku inginkan.

Selang lima menit kemudian, kata sepakat pun tercapai. Dan pak Rahman sebagai juru bicara warga. Deg! Jantungku seakan meloncat dari tempat semestinya. Debarannya hampir saja terseret dalam tatapan mata pak Rahman. Aku teringat penolakan pak Rahman terhadap rencana ini pada saat dia mengawali pembicaraannya. Beruntung aku bisa mengendalikan hati agar lebih siap menerima keputusan bersama. Keputusan yang mungkin tidak sesuai dengan hati nuraniku.

Perasaanku tadi ternyata hanyalah sisi ketakutanku saja. Terbukti pak Rahman menghargai keputusan bersama, yaitu warga setuju didirikan TKB di kampung itu. Aku tahu pak Rahman menerima keputusan bersama yang disampaikannya itu dengan jujur dari senyum tulusnya.

Senyum anak-anak yang tengah belajar kontan terbayang di penghujung salam pak Rahman. Aku merasa lega seakan tali kekang yang mengekang senyumku rapat-rapat telah terputuskan. Senyum kelegaan terpancar di raut muka pak Rusman dan Riana, tak terkecuali aku.

Anak-anak yang sedari tadi mengikuti jalannya pertemuan dari luar tampak ikut larut dalam kebahagiaan. Jelas terbayang di tatap mata mereka harapan akan dapat menemukan sebuah tanda baca. Tanda baca yang selama ini tersimpan di tatap matanya dalam bentuk alat kerja. Kebahagiaan mereka sepertinya terbawa angin malam menuju lubuk hati orang tua mereka yang tengah mengakhiri pertemuan. Senyuman demi senyuman terpancar pada eratnya jabat tangan.

Keesokan harinya, aku mengajak Riana untuk melanjutkan rencana dalam kata. Kata yang berisi tentang informasi bagi warga yang ingin mendaftarkan anaknya. Hitunganku sampai pada angka empat belas, saat aku dan Riana menyusuri pematang sawah menghijau di kaki bukit. Menghijau bukan oleh hamparan padi, tetapi oleh hamparan rumput liar yang tumbuh tidak rapi. Kuhenyakkan tubuh penatku di atas dangau beratap ilalang. Di ujung senja yang mulai membayang, aku dan Riana berbagi cerita tentang rencana-rencana bersama untuk mencerdaskan anak bangsa.

Pandanganku tertuju pada sosok yang memanggul karung berisi rumpt dengan sabit di tangan kiri. Di sampingnya berjalan seekor kerbau yang dibebani oleh sosok lainnya. Sosok itu tengah asyik membaca sebuah buku. Buku cerita nampaknya.

“Mas, ironis sekali ya,” kata Riana mengaburkan pandanganku dan mengubahnya menjadi sosok dewasa dan cantik.

“Iya. Coba kamu lihat. Seorang anak baru pulang mencari rumput dengan sabit di tangan dan satu orang lagi pulang menggembala dengan buku di tangan. Ah, seandainya semua anak di kampung ini bisa seperti penggembala itu,” kataku dalam senyum getir.

“Oya Mas, aku punya ide. Bagaimana kalau selain mendirikan TKB kita juga mendirikan Taman Bacaan?” kata Riana tiba-tiba.

“Usul yang bagus itu. Besok saja kita diskusikan dengan ayahmu,” kataku sambil menggandeng tangan Riana dan membawanya melangkah kembali menyusuri pematang yang baru saja dilewati.

Meskipun seorang gadis kampung tetapi Riana berpikiran maju. Tak salah aku memilihnya untuk menjadi kekasihku. Dalam hati aku berharap semoga besok anak penyabit rumput itu bisa tertera dalam daftar nomor urut lima belas.

Saat senja tak lagi nyata dan semburatnya bersembunyi dalam petang, aku bergegas pamit dan meninggalkan kaki bukit itu menuju tumpukan draf usulan program pendirian TKB yang masih berserakan di kamarku. Aku pun merapikannya dan menyusunnya menjadi sebuah usulan yang akan aku ajukan kepada Kepala Sekolah induk dari TKB yang sebentar lagi akan aku wujudkan.  Aku sangat menantikan saat-saat ide yang sekian lama mengendap dalam pikiranku menjadi sebuah kenyataan.

Rasa nikmat menjalani hari membuat perputaran bumi tak lagi seperti tersendat. Putaran bumi membawaku pada suatu senja saat hari pertama aku memberikan ilmu di TKB yang sudah berdiri. Meskipun sederhana hanya berupa berugaq tanpa dinding dan meja untuk menulis, tetapi nikmat yang kurasakan lebih nikmat dari mengeja setiap aksara di sebuah kamar sejuta rupa. Hitunganku berhenti pada angka tiga puluh, saat Riana yang tengah membereskan ruang untuk Taman Bacaan mengeluh padaku.

“Mas, sepertinya aku harus istirahat dulu sebentar, karena tiba-tiba kepalaku pusing,” kata Riana sambil meletakkan buku bacaan yang sudah terkumpul dari teman-temanku.

“Iya tidak apa-apa, nanti selesai mengajar biar aku yang membereskannya,” kataku sambil menatap tumpukan buku di sudut Taman Bacaan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Gubuk Bacaan. Hal ini karena kondisinya yang cukup memprihatinkan. Sebuah ruangan kecil berdinding bambu, yang kelak akan berjasa besar bagi generasi terbaik bangsa.

Riana berlalu meninggalkan aku dalam kerumunan mata yang mengharap tanda baca. Kusematkkan satu per satu tanda baca di mata mereka sehingga mereka memahami cara penggunaannya. Sampai waktunya tiba, aku pun mengajak serta mereka mengatur buku bacaan yang masih menumpuk. Setidaknya itulah caraku memperkenalkan anak-anak itu untuk mencintai  buku. Senja usai saat aku telah selesai merangkai kalimat terakhirku untuk pertemuan esok hari.

Mereka riang dalam tarian aksara yang berderet rapi menjadi kalimat. Seperti yang telah mereka pelajari. Mereka adalah deretan aksara itu sendiri. Dengan tanda baca yang aku titipkan di mata mereka, mereka akan menjadi kalimat yang sempurna dan lebih bermakna. Pembelajaran senja itu membuatku  memahami bahwa pada dasarnya anak-anak itu telah memilih kalimat-kalimatnya sendiri. Aku sebenarnya tinggal menambahkan tanda baca saja. Tanda baca yang aku tambahkan perlahan-lahan setiap dua senja sekali dalam satu minggu.

Sebelum beranjak meninggalkan tempatku membubuhkan tanda baca itu, aku menjenguk kondisi Riana yang tengah tiduran di dipan kamarnya. Dalam keyakinan kalimat Riana aku melangkah dan pamit kepada pak Rusman dengan sebuah janji untuk datang kembali esok hari.

Senja kembali menghampiriku dalam sebuah harapan. Namun tidak bagi Riana. Senja itu sepertinya kondisi Riana sangat tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Tubuhnya kian melemah dan aku putuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Sekembali dari rumah sakit aku melihat berugaq itu gaduh dengan berbagai macam kalimat. Kalimat kesedihan atas penderitaan Riana dan kalimat kekecewaan karena  hilangnya sedikit waktu bagi mereka untuk menemukan tanda baca.

Aku kembali menggiring mereka dalam kalimat kesabaran lengkap dengan tanda bacanya, berharap mereka mengerti dengan itu semua. Mereka tertunduk dalam kalimat harapan semoga semuanya baik-baik saja. Bersyukur kondisi itu tidak mempengaruhi hatiku dan mereka untuk terus bersama-sama merangkai kalimat. Namun sepertinya harapan bukan lagi sebuah asa, saat kehendak sang penguasa tak lagi bisa dibantah. Riana meninggal setelah tiga puluh senja berjuang menemukan harapannya untuk bisa berguna bagi anak-anak di desanya.

Seluruh isi desa pun berduka. Tak terkecuali Gubuk Bacaan yang masih membutuhkan sentuhan tangan lembutnya. Setidaknya harapan Riana menjadi berguna di akhir usianya telah dicapainya. Gubuk Bacaan adalah saksi bisunya. Itu semua bukanlah hambatan, justru menjadi pelecut semangatku untuk bisa terus berkarya. Meneruskan ide Riana untuk menggalakkan niat membaca bagi warga desanya.

Beberapa bulan berlalu sejak kepergian Riana. Tak ada lagi kesedihan di mata deretan aksara yang tengah duduk menerima pelajaran tentang hakikat hidup yang disampaikan oleh pak H. Abidin, salah satu guru pamong di TKB itu. Sedikit demi sedikit aksara-aksara  itu mulai bermakna. Makna tentang hidup yang sudah, sedang, dan akan mereka jalani. Dari balik Gubuk Bacaan, aku tersenyum melihat binar mata di pelupuk mereka.

Ternyata pelajaran hakikat hidup yang mereka peroleh hari itu menjadi awal yang bagus bagi mereka untuk menemukan kata “Semangat” dalam diri mereka. Dan aku pun menambahnya dengan tanda seru, agar mereka bisa lebih bersemangat lagi. Semangat mereka adalah semangat aku saat aku terjebak dalam sebuha kendala. Kendala biaya pengadaan sarana prasarana adalah salah satunya. Semangat mereka telah menanamkan kegigihan untuk aku tetap berusaha. Sampai akhirnya, anak-anak di TKB itu bisa menorehkan prestasi sebagai Juara Nasional dalam perlombaan antar SMP Terbuka se-Indonesia.

Prestasi demi prestasi mereka memudahkan aku untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada. Akhirnya, TKB itu bisa memiliki ruang kelas permanen dari hasil sumbangan dermawan yang peduli dengan pendidikan bangsa. Hal itu membuat deretan aksara yang telah menjadi kata akhirnya bisa tersusun menjadi sebuah kalimat “Semangat menuntut ilmu untuk hari depan”. Tetapi tidak dengan Gubuk Bacaan yang dirintis Riana. Aku masih belum bisa berbuat banyak untuk memajukannya. Perasaan bersalah mengantarkan aku pada keheningan senja. Anak-anak yang belajar di TKB itu jumlahnya menyusut dan tinggal lima belas orang saja. Beberapa diantaranya ternyata telah salah menafsirkan hari depan dengan bekerja. Bahkan ada yang bekerja sampai ke luar negeri menjadi TKI melalui prosedur yang tidak semestinya. Orang tua memegang peranan penting atas salah tafsir mereka. Tidak ada tanda baca bagi mereka untuk terus menuntut ilmu.

Tantangan baru datang lagi. Aku segera bangkit dengan langkah-langkah strategis untuk memajukan TKB kembali. Perlahan namun pasti kondisi seperti semula bisa aku raih kembali. Aku bisa menemukan kembali aksara-aksara yang terserak untuk mengajarinya berubah menjadi kata dan kalimat, sehingga akan memudahkan aku untuk membubuhkan tanda baca. Kemajuan itu membangkitkan semangatku lagi untuk memajukan Gubuk Bacaan yang sempat terbengkalai sepeninggal Riana. Beruntung pemikiran pak Rusman, ayah Riana, sejalan dengan pemikiranku. Berkat bantuan pak Rusman yang bergerilya meningkatkan kesadaran warga, Gubuk Bacaan itu bisa berubah menjadi Taman Bacaan. Aku bersyukur akhirnya aku bisa melanjutkan niat Riana untuk mengubah Gubuk Bacaan menjadi Taman Bacaan.

Sampai akhirnya, tiga tahun berselang dan angkatan pertama telah berhasil menuntaskan kalimat yang selama ini mereka coba susun. Dan dengan tanda baca yang aku ajarkan, kalimat itu menjadi lebih bermakna. Terbukti keberhasilan itu mendorong warga untuk ikut serta bersama anak-anaknya untuk merangkai kata. Senyumku pun akhirnya bisa mengembang lebih lebar diantara senyum lukisan wajah Riana yang terpasang di dinding Taman Bacaan itu.

Tinggalkan Balasan