Titik Balik: Mewujudkan Mimpi dengan Cukli

Cerpen78 Dilihat

“Bakat bukanlah segalanya, kemauan keras untuk maju yang utama”

Sore yang tak seperti biasanya. Hujan deras tak tertahankan lagi. Sesekali kilat menyambar. Warna terang memecah sore yang gelap. Di dalam sebuah kamar, Arion menatap lepas keluar. Air hujan masih menetes dari ujung genteng, membasahi bunga dandelion yang tumbuh di samping kamarnya. Dia tertegun melihat pemandangan yang tak biasa itu. Maklum, ini kali pertama hujan turun di bulan Desember. Setelah hampir beberapa bulan kemarau melanda. Perlahan air matanya mengalir. Dia teringat dengan janji kepada almarhum ayahnya untuk bisa membuat ibunya bangga.

Arion, pemuda kelahiran 25 tahun lalu itu masih termangu. Ada rasa bersalah dalam dirinya karena setelah hampir setahun kematian ayahnya, dia belum bisa menjadi siapa-siapa. Selama ini dia hanya mengandalkan kemampuannya menjadi tukang parkir di pasar Sayang-sayang Cakranegara. Penghasilannya memang lumayan, setidaknya mampu menghidupi dirinya sendiri dan ibunya yang mulai sakit-sakitan.

Setamat SMA, Arion memang tidak melanjutkan sekolahnya karena terbentur biaya. Dia memutuskan untuk bekerja. Tanpa bekal keterampilan, Arion terpaksa melakukan apa saja. Dari menjadi kuli pasar sampai tukang parkir. Semua dijalaninya dengan ikhlas demi ibunya, orang tua satu-satunya.

Hujan sore itu sedikit mereda. Arion masih terpaku menatap sisa air hujan yang menetes di jendela kamarnya yang berukuran kecil. Dia seperti menghitung harapan yang perlahan-lahan muncul dalam kepalanya. Pikirannya menerawang pada suatu masa.

“Arion… Kamu enggak pengin kayak temen-temenmu yang menjadi TKI?” tanya Ibu Arion suatu ketika.

“Enggak, Bu. Arion di sini saja. Meskipun hidup seadanya, Arion bahagia karena bisa menemani Ibu,” jawab Arion.

Ibu Arion hanya tersenyum mendengar jawaban anak satu-satunya itu. Dia paham, Arion tidak bisa dipaksa. Meskipun begitu, baginya Arion adalah segalanya.

“Kalau kamu mikirin Ibu terus, lalu kapan kamu mikirin dirimu sendiri?”

Arion terdiam. Dia tidak mau menyanggah ataupun menjawab pertanyaan ibunya. Baginya itu adalah pertanyaan retoris. Bahkan tanpa dijawab sekalipun, Arion yakin ibunya sudah tahu jawabannya. Sebab tidak ada orang yang lebih paham tentang Arion selain ibunya sendiri.

“Kamu sudah dewasa. Saatnya kamu juga mikirin dirimu sendiri.”

“Iya, Bu,” jawab Arion singkat.

“Ingat Arion. Kamu itu anak laki-laki. Suatu saat kamu harus bisa menjadi tulang punggung keluarga. Kamu harus kuat.”

Pertanyaan dan pernyataan ibunya mendadak terngiang kembali di pikiran Arion. Kata-kata seorang ibu yang akan membawanya pada sebuah perubahan pola pikir untuk lebih maju demi kebahagiaan ibunya dan dirinya sendiri.

Arion menghela napas panjang. Hujan masih rintik di luar. Perlahan dia berjingkat ke lemari di sudut kamarnya. Dibandingkan dengan perabot lainnya, lemari ini termasuk yang paling berharga. Lemari hasil karya ayahnya sendiri. Dibuatkan untuknya saat dia berusia 17 tahun. Itupun setelah dia merengek karena memang lemari di kamarnya sudah rusak.

Jari-jari Arion mengelus pinggir lemari yang bertekstur. Tatapan matanya lekat pada potongan kulit kerang mutiara mengilat yang tertempel di permukaan kayu mahoni dalam suatu pola. Bunga, bintang, bulan, dan bentuk abstrak lainnya. Masyarakat Lombok menyebutnya “cukli”.

Arion terus menjelajahi setiap bagian lemari itu dengan jari-jarinya. Dengan saksama, dia memperhatikan detail yang ada. Mata Arion mendadak sembab saat memperhatikan salah satu bagian hiasan yang belum selesai.

“Kamu harus bisa menyelesaikannya, Arion,” kata Ayahnya waktu itu.

Ingatan tentang ayahnya membuat Arion bertekad untuk bisa menyelesaikan pekerjaan itu. Dan, dia tahu ke mana harus pergi.

Selepas hujan reda, Arion pamit kepada ibunya untuk pergi ke rumah Pak Haji Sagir, ketua Koperasi Pade Angen di desanya. Ibunya melepas kepergian Arion dengan senyum dan doa. Dia sangat berharap Arion akan bisa mengikuti jejak ayahnya, menjadi perajin cukli. Memang, sejak ayah Arion meninggal, praktis produksi terhenti. Untuk mengisi art shop-nya ibu Arion memilih mengambil barang dari orang lain. Dan, itu artinya menambah biaya. Ibu Arion sendiri tidak pernah memaksa Arion untuk melanjutkan usaha ayahnya. Arion lebih memilih menjadi tukang parkir atau tukang angkat barang di pasar dekat rumah mereka. Sampai akhirnya, Arion menyadari sendiri bahwa dia yang harus meneruskan usaha ayahnya.

Sore ini, kehidupan baru berawal.

Arion sedang mendengarkan dengan khusyuk arahan dan bimbingan dari Pak Sagir. Motivasi yang tinggi membuat Arion cepat menyerap materi yang diajarkan Pak Sagir. Pak Sagir sendiri salut dengan kegigihan Arion.

Hari ke hari Arion mengalami kemajuan yang pesat. Dia lupa dengan pilihan awalnya menjadi tukang parkir dan buruh pasar. Dia fokus mengerjakan kesenangannya yang baru, membuat kerajinan cukli.

Mulanya dalam sehari, Arion hanya bisa memproduksi kerajinan sederhana berupa hiasan dinding dalam bentuk topeng dan tokek saja. Tetapi, akhirnya dia berhasil membuat kerajinan lainnya, kotak perhiasan dan meja kecil. Kegigihannya dalam berusaha membuat Arion semakin lama semakin ahli dalam membuat furnitur lainnya, seperti meja dan kursi serta lemari kayu.

Tak sampai sebulan, Arion sudah bisa memproduksi banyak sekali macam kerajinan. Etalase art shop yang dijaga oleh ibunya telah penuh kembali dengan berbagai macam kerajinan cukli. Dewi fortuna berpihak kepadanya. Perlahan tapi pasti art shop-nya kembali ramai oleh pembeli. Arion menjadi kewalahan dalam produksi. Dengan persetujuan ibunya, Arion merekrut beberapa temannya untuk membantu bagian produksi dan pemasaran.

Tanpa terasa setahun berlalu. Tidak ada gejolak yang berarti dalam bisnis yang dijalani Arion. Semua berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Sampai akhirnya, saat produksi, mutu, dan finishing berjalan semakin baik, pemasaran menurun.

“Sabar, Arion. Namanya usaha pasti ada pasang surutnya,” kata ibunya suatu hari.

Arion hanya terdiam, dia sama sekali belum memiliki solusi untuk mengatasi penurunan pembeli ke art shop-nya. Dia merasa sudah melakukan sebaik-baiknya. Promosi sudah gencar dilaksanakan dengan menggunakan brosur, bahkan mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh pemerintah. Tetapi, kenyataannya tidak semudah itu. Arion harus berjuang demi dirinya dan teman-temannya yang bekerja padanya, terlebih pada ibunya, satu-satunya alasan baginya untuk menjadi berhasil.

“Ayahmu dulu juga pernah mengalami hal seperti ini. Tapi lihat! Art shop kita masih bisa berdiri sampai sekarang,” lanjut ibunya lagi.

“Saya paham, Bu,” jawab Arion singkat.

Matanya menerawang keluar memandang langit yang sepertinya akan turun hujan. Di sampingnya, ibunya masih sibuk menempel cukli pada permukaan kotak perhiasan.

“Bu… Kalau seandainya art shop kita bangkrut dan harus tutup, apa yang bisa kita lakukan lagi?” tanya Arion masih menerawang.

Gugusan mendung sepertinya berlomba dengan kelopak matanya yang mulai sembab. Dia tidak habis pikir, dalam kondisi seperti ini, ibunya masih tampak tenang. Ketenangan yang tidak pernah dimiliki Arion.

“Arion….”

“Iya, Bu.”

“Kamu berpikiran seperti itu, artinya kamu sudah mundur satu langkah.”

Arion berusaha mencerna perkataan ibunya. Dia masih belum memahami arah jalan pikiran ibunya, perempuan yang masih perkasa di usianya yang mendekati 50 tahun. Arion menatap kagum ke arah ibunya. Dengan saksama diperhatikan rambutnya yang sudah tidak hitam lagi dan kulitnya yang sudah tidak muda lagi. Dia terpaku pada sorot matanya yang tegar. Ketegaran oleh ujian kehidupan. Kekuatan yang sepertinya tidak dimiliki Arion saat ini. Dia berusaha menenggelamkan diri dalam sorot mata ibunya. Dia ingin menemukan jawabannya sendiri.

“Saya mengerti, Bu.”

Arion memutuskan untuk berhenti memikirkan kemungkinan terburuk atas usahanya. Lewat sorot mata dan kekuatan hati ibunya yang penuh semangat, Arion berusaha mengubah mindset-nya. Dia sekarang bisa berpikir bahwa dia harus bisa bangkit. Tekad yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Perlahan dia menyeka air matanya yang jatuh bersamaan tetes hujan sore itu.

“Sudah menangisnya?”

Pertanyaan ibunya benar-benar membuatnya terkejut. Bagaimana ibunya tahu dia sedang menangis? Padahal ibunya sedang asyik menyelesaikan perkejaannya. Arion tersipu malu.

“Kamu masih ingat kan dengan permintaan terakhir ayahmu?”

Deg!

Mendadak jantung Arion seakan berhenti berdegup. Pertanyaan ibunya kali ini bukan lagi sebuah pertanyaan, tetapi tuduhan. Arion mendadak teringat pada lemari yang ada di kamarnya. Lemari yang harus diselesaikannya. Secepat kilat, Arion beranjak dari duduknya. Ibunya hanya tersenyum melepas kepergian anak satu-satunya. Dia yakin anaknya itu akan melakukan yang terbaik demi keluarganya.

Sore itu Arion berjanji untuk melunasi permintaan terakhir ayahnya. Dengan cekatan dia mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakannya. Potongan kerang mutiara, amplas, alat pemotong, dan perekat. Arion mulai memotong serpihan kerang mutiara yang merupakan sampah itu membentuk pola yang sudah dibuat di permukaan lemari. Dengan teliti dia mengukur agar sesuai. Selanjutnya dia mulai menempel potongan itu lalu menghaluskannya. Tak sampai satu jam, pola itu telah terisi dengan potongan kerang mutiara.

Arion memandang puas hasil pekerjaannya. Tanpa disadarinya, apa yang telah dilakukannya barusan telah menyulut kembali api semangatnya. Dia telah menemukan jalannya kembali untuk meraih kesuksesan. Dalam pkirannya tidak lagi memikirkan kata ‘seandainya bangkrut dan tutup’, tetapi mengubahnya menjadi ‘bagaimana agar tidak bangkrut dan tutup’.

Keesokan harinya, Arion kembali bekerja. Bukan memproduksi kerajinan, tetapi membuka art shop-nya. Dia membersihkan dan mnegatur ulang barang-barang yang ada. Tak lama ibunya menyusul. Dia bergeming di depan art shop. Memandang Arion yang sedang sibuk di dalam. Dia tahu, anaknya tidak akan mengizinkannya untuk membantu. Selalu seperti itu. Ada saat di mana Arion ingin menyelesaikan sendiri dan ada saat di mana Arion membutuhkan bantuan.

“Alhamdulillah… Akhirnya Arion mengerti,” batinnya.

“Ini diminum dulu kopinya,” kata ibunya sesaat setelah Arion menyelesaikan pekerjaannya.

“Terima kasih, Bu,” jawab Arion meraih cangkir berisi kopi hitam pahit kesukaannya.

“Kamu sudah menemukan jalan?”

“Sudah, Bu.”

“Apa itu?” tanya ibunya penasaran.

“Rahasia. Nanti juga Ibu tahu sendiri,” jawab Arion sekenanya, “saya pergi sebentar ya, Bu.”

Arion meninggalkan ibunya di art shop sendirian. Sepeda motor matic melaju membelah jalan lingkar utara itu. Tujuan Arion hanya satu, ke rumah Ryan. Dia yakin Ryan akan bisa membantunya.

Tak lama kemudian Arion sudah tiba kembali di art shop-nya bersama Ryan, sahabatnya sejak kecil. Dia tampak menenteng sebuah kardus. Dengan hati-hati dia mengeluarkannya setelah mengatur meja. Dengan bantuan Ryan, dia mulai mengoperasikan laptop yang baru saja dibelinya. Setelah beberapa jam, laptop itu sudah siap dioperasikan.

Jari-jari Ryan dengan lincah menari di atas deretan tombol huruf dan angka pada keyboard. Arion kagum dengan sahabatnya yang seorang sarjana komputer. Sangat jauh dibandingkan dirinya yang hanya lulusan SMA. Tetapi, persahabatan tetaplah persahabatan tanpa memandang tingkat pendidikan.

Ryan masih mengutak-atik laptop saat ibu Arion datang mengantarkan makan siang. Makan siang yang terlambat sebab hari sudah merambat sore. Ketiganya terlihat makan dengan lahap dan sesekali diiringi tawa kecil penuh kebahagiaan.

“Aku pamit dulu, Arion. Besok lagi kita lanjutkan ya,” kata Ryan berpamitan.

“Iya. Makasih atas bantuannya, Ryan,” jawab Arion berseri-seri.

Arion dan ibunya melepas kepergian Ryan di pintu art shop. Suasana sudah sepi. Sebagian besar deretan art shop itu sudah tutup. Hanya beberapa yang masih buka. Beberapa di antaranya sedang berkemas-kemas siap menutup. Tapi, tidak dengan art shop Arion. Atas kesepakatan dengan ibunya, art shop dibuka sampai pukul 21.00 WIB. Begitu salah satu cara Arion untuk membuat art shop-nya tampak beda dengan yang lainnya. Dan, beruntungnya ada saja pelanggan yang masih bersedia singgah, meskipun hanya untuk melihat-lihat saja.

Berkat bantuan Ryan, akhirnya, Arion mulai fokus juga untuk memasarkan produknya dalam skala lebih luas. Dia sudah berhasil bekerjasama dengan orang luar negeri lewat internet. Dia percaya, karena sebelumnya orang itu adalah pelanggan tetapnya.

Semakin hari order produk kerajinan semakin mengalami peningkatan baik di luar maupun di dalam negeri. Semua berkat Ryan yang telah mengajarinya sistem pemasaran secara online. Bahkan, Ryan yang belum memiliki pekerjaan tetap direkrut untuk menangani masalah pemasaran secara online, termasuk teman-temannya yang dulu pernah bekerja padanya juga direkrut kembali.

***

Lima tahun kemudian.

Sore yang cerah. Tak ada hujan maupun kilat menyambar. Arion berdiri di dekat jendela kamarnya. Senyum terkembang di sudut bibirnya. Tatapan matanya menembus kaca dan jatuh tepat pada sesosok perempuan tua berusia sekitar 55 tahun, ibunya. Hampir tak ada yang berubah pada dirinya, kecuali yang ada dalam genggaman tangannya. Bukan lagi kotak perhiasan yang harus diselesaikan pemasangan cuklinya, tetapi tangan mungil seorang anak laki-laki berusia 2 tahun yang mirip dirinya, anak pertamanya.

“Diminum dulu kopinya, Mas,” kata Rita mengejutkannya.

“Iya, Sayang,” jawab Arion merengkuh bahu Rita, adik sahabatnya, Ryan

Tinggalkan Balasan