Aku ingin jatuh cinta. Itu adalah keinginan terpendam yang belum bisa aku realisasikan. Sampai saat ini. Keinginan yang mungkin hanya sebatas keinginan. Dan, entah sampai kapan keinginan itu bisa terkubur. Menunggu waktu sampai akhirnya aku benar-benar musnah dan sirna.
Sekian lama aku dan dia telah bersama di tempat yang sama dalam perputaran waktu. Namun rasa itu belum tumbuh juga. Aku dan dia masih sama-sama terdiam, berdekatan tanpa perasaan apa-apa. Bahkan aku sendiri tidak tahu, perasaan macam apa yang kumiliki saat aku menatap matanya yang sayu. Mata penuh kedamaian yang menenangkan. Sorot mata yang tidak kenal lelah dan menyerah.
Kadang aku ingin menenggelamkan diri dalam tatap matanya untuk meyakinkan diri bahwa aku memiliki rasa cinta. Tapi apa? Aku selalu saja gagal. Tak pernah bisa kutemukan rasa cinta itu di kedalaman pelupuk matanya.
Bahkan suatu waktu saat aku dan dia sengaja dipisahkan oleh majikannya, aku sama sekali tidak merasakan keinginan untuk menemuinya. Sekali lagi aku memilih diam. Entah apa yang salah pada diriku, aku sendiri juga tidak tahu.
Majikan, aku menyebutnya, orang yang memisahkan aku dan dia itu majikannya, majikanku juga. Memang dia hampir tidak pernah menyuruhku untuk melakukan ini-itu, hanya menerima tamu kedai kopi miliknya. Itu saja. Tetapi si majikan merawat kami berdua seperti anaknya sendiri, meskipun sebenarnya kami adalah sosok yang sudah dewasa.
Sekali lagi, perhatian si majikan belum juga bisa mengenalkan aku pada cinta.
Sungguh, aku ingin jatuh cinta.
Pada sosok yang kembali setia hadir di sampingku saat ini. Seorang perempuan cantik terbalut pakaian adat. Rambut hitamnya disanggul tinggi dengan hiasan serupa tiara keemasan. Senyum tak pernah lepas dari bibir merahnya. Tubuhnya yang proporsional dengan dibalut baju adat khas Sasak dipadu bawahan kain songket hitam dan merah. Kombinasi yang indah. Terlebih sikapnya yang anggun mempersilakan setiap tamu yang hadir membuat pengunjung tidak bosan dan jatuh cinta sehingga kembali datang ke kedai kopi yang memiliki arsitektur tradisional ini. Bahkan menjadi pelanggan tetap.
Sementara aku tak jauh beda. Secara fisik, aku tidak mengecewakan. Banyak orang bilang aku berwajah eksotik dengan penampilan yang selalu artistik. Dengan menggunakan baju adat khas Sasak berwarna hitam dan kepala dihiasi dengan “sapuq”, aku berdiri di seberang pintu masuk kedai kopi milik majikanku. Senyum juga tak pernah lepas dari bibirku. Dengan sikap mempersilakan, pengunjung paham dan langsung masuk tanpa basa-basi.
Seharusnya dengan penampilanku yang luar biasa malam ini, akan mudah membuat orang jatuh cinta. Tapi, kenyataannya tak pernah ada satu orang pun yang mencintaiku selain majikanku, seorang janda yang mengelola kedai kopi sendirian. Sementara aku tetap tak bisa jatuh cinta. Bahkan pada gadis tercantik pelanggan setia kedai kopi yang selalu berkunjung setiap malam Minggu, sendiri.
Malam ini, aku melihat gadis berkerudung merah itu datang lagi. Perhatianku tidak lagi fokus pada pasangan yang menemaniku menerima tamu. Mataku menatap tajam ke arahnya saat dia berjalan perlahan menuju pintu masuk kedai kopi. Seorang gadis tinggi semampai dengan gaya berhijab modern dipadu dengan sepatu high heels lewat tepat di depanku. Tersenyum dan berlalu masuk, duduk di posisi favoritnya, di belakangku. Aku masih bergeming. Seperti halnya dengan perasaanku yang sama sekali tidak bergetar. Seharusnya aku jatuh cinta padanya, seperti orang-orang lain yang tampak kagum memandangnya.
Aku ingin jatuh cinta. Pada gadis berkerudung merah yang memancarkan pesona luar biasa. Tapi, sayangnya tidak bisa. Aku hanya bisa mengaguminya dalam diam.
Tak lama setelah gadis itu duduk datanglah seorang pemuda dengan tergesa. Dari segi fisik pemuda itu adalah sosok yang sempurna. Setidaknya menurutku. Aku menatapnya saat sepatunya menjejak tepat di depanku. Di bawah temaram lampu di atas pintu masuk, aku melihat dia sama sekali tidak membalas senyumku yang menyambut kedatangannya.
Dia langsung saja masuk. Suara kursi terdengar bergeser tepat di belakangku. Tanpa melihat pun, aku yakin pemuda itu sudah berjanji dengan gadis berkerudung merah. Cemburukah aku? Tentu tidak. Aku sama sekali tidak tahu apa itu cemburu. Mengenal rasa cinta saja tidak, apalagi cemburu.
Aku dan partner-ku masih menjalankan tugasku saat kedai kopi itu mulai riuh oleh pengunjung malam Minggu itu. Banyak tawa tercipta, banyak bahagia saling berlomba. Termasuk dua insan berlainan jenis yang duduk di belakangku.
“Sori. Aku telat,” kata pemuda itu.
“Enggak apa-apa, Arion. Aku juga baru nyampe, kok.” Gadis berkerudung merah itu menjawab dengan nada bicara yang lembut. Nada bicara yang bisa membuat setiap pris jatuh cinta. Tapi, tidak denganku. Aku sama sekali tidak tergoda untuk memulai pembicaraan dengannya.
Percakapan ringan semakin terdengar riuh. Ada tawa kecil terselip di antaranya. Mereka berdua tampak bahagia. Gadis berkerudung merah itu lebih bahagia daripada malam Minggu sebelumnya. Mungkin malam ini dia sedang merayakan cinta dengan pasangan barunya.
Tidak timbul rasa iri di hatiku dengan kebahagiaan mereka. Aku menganggapnya biasa saja. Bukan hakku mencampuri urusan hati mereka berdua. Tugasku hanyalah menerima kedatangannya dengan sebaik-baiknya. Itu saja. Selebihnya masalah hati biar menjadi urusan masing-masing.
Aku kembali fokus dengan tugasku. Pun dengan gadis yang menemaniku malam ini. Senyum tanpa pernah putus, ada atau tidak ada pelanggan yang datang. Sampai waktunya kedai kopi itu tutup. Itu artinya masa tugasku mala mini masih tiga puluh menit lagi.
Tiga puluh menit bukanlah waktu yang lama. Aku tetap berdiri di posisi seharusnya. Pasanganku juga demikian adanya. Senyumnya masih tetap manis. Tapi sekali lagi, aku tidak pernah memiliki cinta untuknya. Dia bukanlah adik kandungku, dia juga bukan saudaraku. Seharusnya aku bisa jatuh cinta padanya. Kapan saja.
Bukan karena trauma juga aku tidak bisa mencintainya. Bagaimana mungkin aku bisa merasakan trauma karena cinta di masa lalu, kalau jatuh cinta saja aku tidak pernah bisa. Meskipun sebenarnya, secara tidak langsung majikanku sudah mengajari tentang arti cinta lewat perhatiannya padaku dan pasanganku. Tapi itu tidak cukup mampu membuatku bisa merasakan cinta.
Aku ingin jatuh cinta, perasaan yang ingin aku punya untuk pasangan di belakangku, seperti
dua orang anak manusia yang sedang berbahagia. Tapi apa daya aku dan pasanganku hanyalah patung dari kayu jati yang sama, diam di depan pintu masuk kedai kopi itu sebagai hiasan saja.