“Kamu siap, kan?”
Angelica menganggukkan kepala. Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut sebahu itu tidak mempunyai pilihan lain. Ini adalah keputusannya bersama Marco, kekasihnya, setelah sekian lama menjalin hubungan. Bukan hubungan dalam artian sebenarnya, tetapi yang jelas saling menguntungkan atas dasar kesepakatan. Angelica bisa menuntaskan segala keinginan sekaligus melepaskan beban, sementara Marco selalu saja mendapat bagian. Saling menguntungkan, bukan?
“Ayo berangkat! Tunggu apa lagi?”
Suara Marco terdengar dari balik kaca mobil Jazz merah miliknya. Dia tampak tidak sabar merayakan pertemuan kembali setelah mereka memutuskan berpisah sementara waktu untuk ujian akhir semester ganjil.
Angelica mengangguk saat Marco membukakan pintu dengan tangan kirinya.
“Silakan, Tuan Putri.”
Terdengar pintu ditutup saat Angelica duduk di samping Marco. Keduanya berbalas senyuman.
“Hampir sebulan berpisah, kamu enggak berubah, Sayang.” Seperti biasa setelah berpisah sementara waktu dengan alasan tertentu, Marco melancarkan serangan untuk mengambil hati Angelica.
“Dih! Lebay, deh! Biasa aja kali. Emang mau berubah jadi apa? Wonder Woman? Atau Hulk? Hahaha…” Angelica menoyor kening Marco. Sementara Marco berusaha berkelit.
“Ya minimal berubah jadi Doraemonlah. Hahaha… “
Mendengar ejekan Marco, Angelica memukul-mukul bahu lelaki berkumis tipis itu.
“Enggak mungkinlah! Lihat, nih! Lihat!” kata Angelica sambil melebarkan kedua bola matanya yang sipit dengan jarinya sebelum akhirnya berkata, “repot tauk! Harus diganjel pakai korek api kayu dulu baru bisa jadi Doraemon. Hahaha…”
Keduanya tergelak sementara waktu sampai mobil itu keluar komplek perumahan elit di Jalan Bung Karno dekat dengan Polsek Mataram.
Lama keduanya terdiam.
“Oya, kamu udah pamit sama Papi kamu?”
Marco melempar sebuah pertanyaan ketika mobil perlahan menjauh dari rumah bertingkat di ujung gang. Mendapat pertanyaan seperti itu, wajah Angelica berubah dingin. Gurat-gurat senyuman mendadak hilang. Pun binar mata sipit seolah semakin lenyap dari wajahnya yang oval.
“Pamitan?”
Angelica menjawab sambil mengedikkan bahunya. Sementara Marco tidak perlu lagi menunggu jawaban Angelica. Setahun bersamanya, dia telah memahami diri Angelica, hampir seutuhnya. Bukan saja tentang dirinya saja, tetapi juga keluarganya. Marco tahu, Angelica berasal dari keluarga yang semata-mata meletakkan harta di atas segalanya. Praktis tidak ada kekurangan materi sedikit pun bagi Angelica. Tetapi, tidak dengan hati. Dari cerita Angelica tentang keluarganya, Marco tahu kalau hati Angelica sebenarnya kosong. Meskipun saat ini sudah ada dirinya yang setia menemani.
“Kamu, kan, tahu, Marc. Enggak ada gunanya juga pamit sama Papi? Kayak biasa, keberadaannya aja aku enggak tahu,” kata Angelica mengangkat bahu.
Setelahnya, keduanya terdiam. Hanya deru halus mesin mobil terdengar. Bergerak perlahan melintas sebuah jembatan besar memasuki kawasan kota Ampenan.
Bingar tahun baru di kawasan kota ini sudah terlihat. Beberapa orang berjejer menjajakan kembang api dan petasan di emper bangunan ruko berlantai dua dengan arsitektur lama. Pilar-pilar besar berbentuk kotak dengan tempelan batu kali di setengah bawah bagiannya, pintu tinggi berwarna biru kelabu, jendela kaca setinggi pintu dengan terali besi, dan atap genting dengan tulisan tahun pembangunan di tembok bagian depannya. Sedangkan dindingnya rata-rata bercat putih. Hampir semuanya.
“Stop dulu, Marc!”
Angelica meminta Marco untuk menepi dan menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan yang tampak berbeda dengan lainnya. Sebuah bangunan lama yang telah direnovasi menjadi lebih modern. Hal ini terlihat dari bentuknya yang lebih menjulang dan bentuk tampilan depan yang elegan kekinian.
Tanpa membuka kaca pintu, dia menatap lekat ke arah bangunan bercat biru muda. Tidak ada aktivitas di sekitarnya, sebab tidak ada satu pun penjual kembang api dan petasan di sana. Bukan tanpa alasan. Di bagian terasnya dipasangi pagar besi dorong yang tidak memungkinkan pedagang untuk masuk. Terlebih di samping kanan ada pos satpam berukuran kecil menempel pada bagian depan bangunan. Di bagian dinding yang tersisa, terdapat tempelan poster bergambar berbagai macam bentuk dan jenis mobil.
Dada Angelica tampak mengembang. Sejenak kemudian mengempis. Keduanya hening dalam pikiran masing-masing. Angelica mengalihkan perhatian pada arus lalu lintas di depannya melalui kaca. Berbagai jenis kendaraan bermotor memadati jalan satu arah berlapis aspal lebar itu. Beberapa di antaranya membunyikan klakson. Bukan itu saja. Beberapa di antaranya, seorang laki-laki muda usia sekolah tampak memainkan gas sepeda motornya. Perayaan tahun baru memang selalu seperti itu. Ketidaksabaran menuju perayaan membuat beberapa orang tidak mengindahkan keselamatan.
Tubuh Angelica dan Marco sedikit terlonjak ketika mereka melihat seorang lelaki seusianya membawa sebuah kardus hampir saja tertabrak sepeda motor, tepat di depannya. Teriakan kecil terdengar dari mulut mungil Angelica. Tidak terkecuali Marco yang berlaku sama. Angelica bergegas membuka kaca jendela mobil untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja. Dia sejenak tertegun ketika keduanya beradu pandang. Ada getaran halus saat kedua mata bersitatap. Angelica mengatupkan bibirnya yang dilapis lipstick tipis warna merah muda saat dia menyadari kalau dia mengenali lelaki itu.
Lelaki kurus dan tinggi yang mengenakan peci itu bergegas membuang muka dari Angelica. Dia pun menjauh dan bergabung dengan kerumunan orang. Sementara Marco masih terbengong-bengong memerhatikan sikap Angelica.
“Tungguuu!”
Angelica berteriak ke arah lelaki bercelana panjang hijau lumut dengan motif tentara, kaos lengan panjang, dan peci itu sambil membuka pintu. Marco berusaha mencegah dengan menarik tangan kanan Angelica setelah tahu lelaki yang baru saja dipanggil oleh Angelica itu sudah hilang ditelan keriuhan.
Angelica kembali menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil berwarna coklat berlapis beludru setelah menutup pintu. Pandangannya kosong ke arah perginya lelaki itu. Ingatan-ingatan tentang lelaki itu kembali menyeruak dalam rongga pikirannya. Angelica bergeming saat Marco meraih pundak dan berusaha menenangkannya. Akhirnya, Angelica menggenggam erat tangan kiri Marco, sementara tangan kirinya diletakkan di dahinya. Marco pun akhirnya berusaha saling menguatkan dan menenangkannya dengan mengelus kepala Angelica.
“Kamu mengenalnya, Sayang?” Marco menatap ke arah Angelica yang tampak pucat.
Angelica tidak menjawab.
“Kamu sakit?” Marco mengelus dahi dan pipi Angelica.
Angelica menggelengkan kepala. Dia tidak ingin Marco mengetahui kebenaran isi hatinya. Marco pun tidak memaksa. Lelaki berpostur tegap dengan sorot mata tajam itu hanya bisa berusaha menenangkan Angelica.
“Apa kita cancel aja rencana malam ini?”
Marco berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia sengaja memancing Angelica untuk membuka suara.
Dan benar saja. Angelica akhirnya buka suara, “Gila kamu, Marc! Jangan! Sayang banget kalau sampai gagal malam ini. Bisa-bisa gagal total rencana holiday kita.”
Marco tersenyum berusaha menyenangkan Angelica yang mendadak berubah sikap. Dia tidak lagi dingin. Angelica sudah kembali seperti semula, seperti yang seharusnya. Selalu ceria untuk menutupi hatinya yang penuh luka.
“Iya. Sayang banget. Lumayanlah. Bisa jalan-jalan ke Singapura selama seminggu. Berdua lagi. Hahaha…”
Marco terbahak mengingat rencana gila mereka untuk kabur ke Singapura. Ada keyakinan dari mereka, pendapatan akan membengkak di sana. Tawa Marco ditimpali Angelica yang tidak kalah kerasnya. Terbayang olehnya, mereka akan sukses besar di sana.
“Eh… Sayang. Kalau dipikir-pikir konyol juga, ya, kamu.”
Marco kembali menyandarkan kepala di sandaran jok mobil. Kedua tangannya memegang kemudi. Pandangannya terpaku pada keriuhan malam di depannya dalam remang lampu jalanan.
“Aku? Konyol? Hellooo…” Sudut mata Angelica jatuh tepat di wajah Marco.
“Iya. Kamu. Lucu. Enggak kekurangan materi, tapi masih aja nyari. Padahal, kan tinggal minta, tuh, sama Papi kamu.”
Angelica menghembuskan napas panjang mendengar kata-kata Marco, lalu menerawang. Dia tahu kalau sebenarnya Marco sudah mengetahui jawaban atas kata-katanya. Selama ini, dia yang mula pertama memengaruhinya. Dia juga yang pertama kali menyeretnya hingga sejauh ini semata-mata demi pelarian dari seorang lelaki yang pernah menolak cintanya. Lelaki teman kuliah yang benar-benar membuatnya jatuh cinta. Sosok sederhana yang taat pada agamanya. Angelica tahu karena lelaki itu tidak pernah terlambat beribadah, meskipun sedang kuliah. Dia sangat mengaguminya. Lelaki itu bernama Arion Anubhawa. Hingga akhirnya, Angelica mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya pada Arion. Tentu saja setelah dia siap dengan risiko yang akan ditanggungnya. Benar adanya. Cinta Angelica bertepuk sebelah tangan karena alasan yang klise, perbedaan keyakinan. Balasan atas cinta yang telah diucapkan pun tidak kunjung datang. Bukannya terpuruk, Angelica justru bertekad untuk menunjukkan, bahwa dia layak dicintai oleh seseorang.
Bukan itu saja. Kebersamaan dengan Marco telah membuat kehidupan Angelica berubah. Terlebih saat Marco sengaja mengenalkannya pada seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya. Seorang duda yang ditinggal mati istrinya dalam kecelakaan saat merayakan pergantian tahun di pantai Ampenan. Lelaki itu nyaman karena Angelica menjelma malaikat penyelamat kehidupannya. Sedangkan Angelica merasa nyaman karena bisa menemukan sosok seorang ayah di dalam diri lelaki tua itu. Dia bisa membuat Angelica merasakan kasih sayang seorang ayah. Tidak seperti papinya yang lebih memilih menghabiskan waktu mengembangkan bisnis otomotif atas kebaikan istri mudanya tanpa pernah menghiraukannya. Sungguh hubungan yang buruk. Lebih buruk lagi saat Angelica menjadi gadis pembangkang. Dia memilih untuk meneruskan hidupnya sendiri bersama Marco. Apa pun risikonya.
Tekadnya sudah bulat untuk meneruskan suatu hal yang sudah telanjur diawalinya. Dia menyerahkan penuh hidupnya pada Marco saat merasa tidak ada satu orang pun yang mencintainya. Dari Marco dia menyadari, bahwa hidup bukan saja tentang cinta, tetapi juga kenyamanan saat bersama. Dia merasakan betul itu meskipun dia hanya sekadar dijadikan boneka. Angelica tahu, tetapi dia juga menikmati perannya. Sebab dari peran itu, dia bisa menemukan hal lain yang hilang dari sebagian kehidupannya, kasih sayang dari papinya. Di sisi lain dia juga yakin, lambat laun cinta untuk Marco akan tumbuh di hatinya tepat pada waktunya. Bisa jadi setahun lagi, seminggu lagi atau bisa jadi malam ini.
Dari lelaki tua yang dikenalkan Marco padanya, Angelica menemukan semua itu. Bukan nyaman dan kepuasan batin saja yang didapatnya, tetapi juga kemudahan-kemudahan untuk melakukan perjalanan keliling menikmati keindahan di hampir seluruh penjuru Lombok dan berbagai kota di belahan dunia. Dan, malam ini akan menjadi awal baginya untuk mempermudah jalan menuju sebuah kebahagiaan yang telah lama diidamkannya bersama Marco.
“Heh! Kok, malah ngelamun, sih? Kita jalan sekarang?”
Marco menunggu persetujuan dari Angelica. Dia tahu mood Angelica belum benar-benar pulih setelah kejadian yang baru saja mereka lihat. Sementara Angelica belum juga menyatakan persetujuannya. Dia justru memalingkan wajah dan kembali menjelajah sisi depan sebuah bangunan yang penuh ditempeli poster mobil berbagai jenis. Sorot mata dari dua kelopak yang hampir tanpa jarak, tertuju kembali pada setiap bagiannya.
Hingga akhirnya…
“Lihatlah, Marc!” kata Angelica menunjuk sebuah tulisan pada papan nama sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya, “kamu tahu showroom mobil itu punya siapa?”
Marc mengangguk dan terus mendengarkan Angelica yang mengeluarkan kata-kata dengan nada tinggi.
“Bangunan sialan! Gara-gara mengembangkan bangunan itu atas bantuan seorang perempuan, Papi tega menelantarkan Mami hingga meninggal. Dan, kau tahu perempuan macam apa yang tega merebut istri orang? Perempuan setan!”
Angelica menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya pelan-pelan sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya, “Sesetan-setannya aku, enggak pernah gangguin suami orang.”
Marco hanya terdiam. Dia meraih dan memeluk tubuh Angelica yang terguncang. Dengan sabar dia menghapus air mata yang mengalir melunturkan riasan.
“Udahlah, Sayang. Seenggaknya kamu sekarang udah bisa nemuin kebahagiaanmu sendiri, bukan?” Marco akhirnya angkat bicara tanpa kesan menggurui. Dia bisa memahami perasaan Angelica. Bagaimanapun juga bukan kali ini saja Angelica menceritakan tentang kehancuran rumah tangga orang tuanya. Sudah seringkali, bahkan ratusan kali, terutama saat Angelica sedang dalam keadaan setengah sadar.
Tak lama kemudian, Angelica telah kembali menjadi dirinya seperti sebelumnya. Seperti biasa, mood-nya turun-naik hanya dalam hitungan detik. Marco menggelengkan kepala saat melihat Angelica mengeringkan sisa air mata, lalu membuka tas kecil yang selalu dibawanya. Sekotak perlengkapan make up dikeluarkannya dari tas merk Zara, pemberian salah seorang pelanggannya, pejabat dengan status duda di kota Mataram.
“Ayok! Cuss kita!”
Marco tersenyum ke arah Angelica, lalu menghidupkan mesin mobilnya. Baru beberapa bangunan lama dilewatinya, Marco kembali melambatkan laju mobilnya saat melewati komplek pasar Ampenan Cerah Ceria. Di depan pasar yang biasa disebut dengan pasar ACC itu memang rawan kemacetan. Terlebih malam tahun baru seperti sekarang ini.
Di depan pasar ACC, arus lalu lintas padat merayap. Di dalam mobil, sesekali Angelica memukul-mukul dashboard. Tak jarang dia mengentak-entakkan kedua kakinya bergantian. Marco punya cara sendiri menenangkan Angelica. Tangan kirinya meraba bagian dashboard. Sesaat kemudian suara gesekan biola Vanessa Mae mengalun memenuhi ruang kecil beraroma lemon itu. Seperti biasa, tanpa menunggu waktu lama, Angelica pun mampu menguasai kembali dirinya. Tidak terdengar lagi suara entakan kaki atau pukulan di dashboard. Marco hanya bisa tersenyum saat melihat Angelica menyandarkan kepala di jok mobil.
Marco memajukan sedikit mobilnya hingga di depan sebuah toko grosir barang kelontong. Di toko itu, dia sering belanja untuk ibunya di Lombok Tengah karena harganya lebih murah dibanding yang lain. Setiap bulan Marco memang rutin mengunjungi ibunya.
Antrian kendaraan bermotor perlahan bergerak. Mobil Marco melaju pelan dari depan toko Surya Jaya menuju sebuah pertigaan dengan SMP Negeri 3 Mataram sebagai salah satu pembatasnya. Di sana, dulu dia dan Angelica pernah menjadi teman sekelas. Hanya sampai kelas dua saja karena setelahnya Marco ikut orang tuanya pindah kembali ke Lombok Tengah, tanah kelahiran ibunya setelah ayahnya memutuskan kembali ke negara asalnya, Filipina. Marco dan Angelica dulunya memang tidak sedekat seperti sekarang ini. Hanya saja mereka sering mengerjakan tugas bersama. Dan mereka dipertemukan kembali saat memasuki semester awal kuliah, setahun lalu, dalam jurusan yang sama. Kebersamaan itu lalu terjalin kembali hingga saat ini, ketika keduanya menyusuri jalan yang sama.
“Eh… Marc.”
“Iya, Sayang.”
“Besok pagi kamu nunggu di mana?”
Marco mengangguk sebelum akhirnya berkata, “Nunggu? Jemput ke rumahnya bisa kali. Emang kamu enggak mau aku jemput?”
Angelica ikut tersenyum.
“Terus urusan setelahnya gimana, Marc?”
“Beres, Sayang. Entar aku yang ngurusin, deh. Kalau sampai dia, si tua bangka itu, ingkar, liat aja nanti!”
Angelica mengelus pundak Marco pelan. Dia berusaha menenangkan kekasihnya.
“Tenang, Marc. Aku yakin dia bukan tipe laki-laki kayak gitu, kok,” kata Angelica melepaskan tangannya dari pundak Marco.
“Serius?” Kali ini Marco melirik ke arah Angelica.
“Iyalah. Lagian ini bukan pertama kalinya dia ngajakin aku, kan? Inget liburan kita ke Derawan enam bulan yang lalu? Lupa, ya? Dih! Segitunya. Masa’ tiket sama uang sakunya aja yang diinget.”
Keduanya larut dalam tawa. Mereka ingat saat pertama kalinya Marco mengenalkan Angelica yang masih belum tahu apa-apa. Waktu itu Angelica menurut saja saat Marco memberi tahu, lelaki tua pemilik agen perjalanan itu adalah pelanggan pertamanya. Dan, sejak saat itu, Angelica menjadi semakin dekat dan nyaman dengan lelaki tua itu.
“Eh… Kamu inget enggak, Yang? Waktu dia menawarkan kita uang?”
“Hahaha… Iya. Aku inget, Marc. Kita sepakat menolaknya dan minta menggantinya dengan tiket pp dan akomodasi selama seminggu di Derawan.”
“Hahaha… Dan, bodohnya dia mau aja, ya. Hahaha…”
“Kamu tahu, Marc? Dan saat bersamanya, aku tidak pernah melakukan apa-apa. Hanya menjadi pendengar setia atas cerita-ceritanya. Enak, kan? Hahaha…”
Gelak tawa tidak terhindarkan. Pertemuan atas perpisahan selama sebulan malam itu, terasa seperti setelah pisah bertahun-tahun. Tawa keduanya baru berhenti ketika mobil Marco tiba di perlimaan kota Ampenan. Di tikungan ke kiri dekat penjual sate Madura, Marco membelokkan mobilnya. Lampu jalan berwarna kuning keemasan berpijar di langit kota tua Ampenan. Hal itu membuat jalanan menjadi terang dan tampak hidup. Berbeda jauh dengan malam-malam sebelumnya yang hanya diramaikan beberapa orang saja. Mereka pun bisa menemukan keriuhan yang sama. Orang-orang, kendaraan bermotor berbaur dengan kendaraan tradisional Lombok dengan kuda sebagai penariknya yang disebut cidomo tampak lalu lalang di sepanjang jalan. Tidak terkecuali penjual kembang api, petasan, dan terompet yang berderet di depan toko bergaya lama, tapi terjaga kebersihannya itu. Kebanyakan dari mereka menjajakan dagangannya di bawah pohon kenari yang tumbuh sepanjang jalan hingga bekas pelabuhan Ampenan. Tujuannya jelas, selain berteduh saat siang sebelumnya, juga untuk memudahkan mereka meletakkan barang dagangan.
“Coba ke arah sana aja, Marc,” kata Angelica menunjuk sebuah bangunan yang didominasi warna merah dan kuning keemasan, lalu melanjutkan kata-katanya, “kayaknya di sana kosong, tuh.”
“Bener juga.”
Marco segera menuju ke arah bangunan yang tampak berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Sama sekali tidak ada kemiripan dengan deretan pertokoan di sebelahnya. Dinding bangunan itu penuh dengan tulisan huruf China. Masyarakat Lombok mengenalinya sebagai konco, tempat beribadah umat Budha dan Konghucu di kota Mataram, termasuk Angelica. Seharusnya.
Di depan konco, Marco memarkirkan mobilnya. Setelah satu jam melakukan perjalanan dari rumahnya di kota Mataram — hari-hari biasa ditempuh selama lima belas menit — mereka tiba juga di tempat tujuan.
Mereka berdua segera turun dan bersandar terlebih dulu di badan mobil. Bersisian. Marco dan Angelica kompak menggerakkan tangan dan kepala ketika dua pasang telinga itu menangkap bingar musik reggae dari kejauhan. Tepatnya di kawasan pelabuhan lama di sebelah kanan mereka sedang digelar pertunjukan hiburan. Tidak sampai lima menit kemudian, suara musik diganti dengan suara MC yang berusaha interaktif dengan pengunjung melalui pembagian door prize. Kesempatan itu dipakai Marco untuk mendekatkan bibir tipisnya ke telinga Angelica yang menjawabnya dengan anggukan tanpa memedulikan riuh gelombang manusia yang semakin banyak berdatangan. Kebanyakan adalah pejalan kaki. Beberapa di antaranya ada juga yang sedang sibuk memarkirkan sepeda motor atau mobilnya. Terlihat juga beberapa anak kecil merengek di depan penjual kembang api. Bukan di satu tempat saja. Di beberapa ruas jalan lainnya, transaksi terjadi antara pembeli dengan penjual kembang api atau terompet. Beruntung malam ini langit Ampenan bersahabat, sehingga penjual kembang api dan terompet bisa mengeruk keuntungan yang banyak.
“Jalan, gih!” Marco menyenggol bahu Angelica dengan bahunya.
Angelica melihat jam tangan berlapis emasnya, lalu berkata, “Sebentar lagi… Marco Moralles! Masih lima menit lagi juga.”
“Udahlah… Angelica Aurora. Enggak papa. Kamu jalan aja sekarang. Kasian kalau dia kelamaan nunggu.”
“Kalau aku yang kelamaan nunggu gimana? Ogah!” Angelica memalingkan wajahnya.
“Tapi kamu, kan, butuh dia, Sayang.”
“Enak aja! Dia yang lebih butuh aku kali.”
Marco menggelengkan kepala dan tidak lagi berusaha menimpali kata-kata Angelica. Dia tahu pada waktunya Angelica akan memutuskannya sendiri.
“Oke! Sudah tepat pukul sebelas. Aku jalan sekarang, ya,” kata Angelica mendaratkan ciuman sekilas di pipi kanan Marco.
“Ingat! Ingat! Liburan ke Singapura. Hahaha…”
Angelica tersenyum dan memperlihatkan lingkaran yang terbentuk dari ibu jari dengan telunjuk ke arah Marco. Marco membalasnya dengan cara yang sama, lalu kembali masuk mobil, mengganti playlist dan mengamati Angelica yang perlahan mulai menjauh dan bergabung dengan manusia yang berjejal-jejal. Setelahnya Angelica tidak terlihat lagi. Menurut perkiraan Marco, Angelica telah sampai di tempat yang telah ditentukan olehnya atas permintaan Angelica.
Benar saja, Angelica sudah bersandar di dinding penjaga sebelah kiri pintu gerbang bertuliskan Pantai Ampenan. Dia membetulkan posisi berdirinya saat seorang lelaki tua dengan wajah segar mengenakan pakaian rapi mendekatinya.
“Sudah lama?” Sapanya ramah mencium pipi kiri dan kanan Angelica.
“Belum, kok, Om. Baru aja nyampai ini.” Angelica berusaha melepaskan pelukan lelaki itu.
“Jadi gimana? Kita ke rumah saya sekarang?”
“Ayo dah, Om. Saya udah siap dari tadi, kok.”
Seulas senyuman hadir di wajah oriental Angelica. Tak beda jauh dengan yang tercetak di wajah tirus lelaki yang berjalan di sampingnya. Mereka berdua berjalan kaki melawan arus. Sama halnya dengan yang dijumpai Angelica sebelumnya, mereka menjumpai berbagai transaksi yang ramai terdengar. Lebih riuh lagi saat sudah ada beberapa orang meluncurkan kembang api yang meledak dan menjadikan langit Ampenan warna-warni. Seperti itu yang dirasakan oleh hati Angelica.
Belum lima menit berjalan menuju tempat mobil lelaki tua itu diparkir, mereka dikejutkan oleh sebuah panggilan.
“Oommm…! Om Daniii!”
Lelaki tua yang berjalan di samping Angelica menoleh ke arah sumber suara tidak jauh darinya, diikuti Angelica. Lelaki tua itu menarik dadanya membuat lehernya sedikit tertarik ke belakang. Dia tidak menyangka ada penjual kembang api yang mengenalinya.
Dia lalu membalikkan badan dan bergerak perlahan mendekati orang yang memanggil-manggilnya.
“Arion? Kamu jualan di sini?”
Angelica yang mendengar nama Arion disebut berusaha menutupi wajahnya dengan tas tangannya. Dia merasa malu karena selama ini yang dikencani adalah paman Arion. Perlahan dia berusaha menyusup di antara kerumunan yang mulai berkurang dan menjauh meninggalkan Om Dani bersama Arion yang entah sedang membicarakan apa. Seketika itu juga, dia mengubur keinginannya untuk berlibur ke Singapura bersama Marco.
Langkah kaki jenjang itu mendadak terhenti ketika ada yang menarik tangan kanannya. Tanpa menoleh, dia berusaha melepaskan diri.
“Lepaskan saya! Lepaskan!”
Dia terus meronta, tetapi cengkeraman itu justru semakin kuat. Angelica kembali berusaha melepaskan diri dan terus mengiba. Menyadari hal itu, cengkeraman itu mendadak mengendur dan akhirnya terlepas. Angelica segera melepas high heels-nya, lalu berlari sekuat tenaga menuju mobil Marco yang terparkir tidak jauh darinya.
Brak!
Pintu mobil ditutup dengan keras.
“Jalan, Marc! Buruan!”
“Ada apa, Sayang? Ada apa?!”
Marco masih belum paham dengan yang baru saja terjadi pada Angelica.
“Enggak usah banyak tanya! Buruan!”
Sepasang mata Angelica mengarah ke luar kaca. Menatap lekat lelaki yang berusaha mengejarnya menenteng sebuah tas.
Menyadari hal itu, Marco segera menyalakan mesin mobilnya. Terlambat. Mobil sama sekali tidak bisa bergerak. Marco kesulitan mengeluarkan mobil dari tempat parkirnya. Justru lelaki itu yang lebih dulu mengetuk-ngetuk kaca jendela. Tepat di samping Angelica.
Dengan menggunakan kode tangan dan mulut lelaki itu meminta Angelica untuk membuka kaca jendela. Angelica bergeming. Dia justru memalingkan muka ke arah Marco yang memandangnya dan mengangkat bahunya.
“Bukalah, Sayang. Enggak papa, kok. Siapa tahu dia butuh sesuatu. Ayolah.”
Angelica tidak berkata apa-apa. Dia masih diam saja. Sementara di luar, lelaki itu terus mengetuk-ngetuk kaca jendela sambil menunjukkan sebuah tas berwarna merah.
Mengingat nilai historis tas merah itu, Angelica memutuskan untuk membuka sedikit kaca jendela. Sesegera mungkin dia meraih tas itu lalu menutup jendela itu kembali tanpa mengucap sepatah kata. Angelica lalu menelungkupkan wajahnya di dashboard tanpa memedulikan keberadaan lelaki berpeci yang masih berdiri di samping mobil.
Marco berusaha menenangkan Angelica, “Sayang… Kamu, kok, enggak ngucapin terima kasih sama dia, sih?”
“Diaammm!” Angelica berteriak bersamaan dengan suara gebrakan di dashboard mobil.
Dia bangkit dan menunjuk ke arah Marco sambil berkata, “Kamu diam atau kita putus hubungan?!”
“Oke! Oke!”
Marco yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya hanya bisa mengangkat kedua tangannya sejenak, lalu meletakkannya pada kemudi mobil. Dia menurut. Selalu seperti itu. Bagaimanapun juga dia tidak akan berani membantah Angelica. Dia khawatir akan kehilangan aset berharga dalam hidupnya, bukan cinta. Sebab sebenarnya dia memang tidak mencintai Angelica sepenuhnya. Dia melakukan ini semua semata-mata karena dia butuh Angelica untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. Dan, liburan gratis ke berbagai daerah di Indonesia serta negara lain tentunya. Tetapi tidak dipungkiri kalau ada sedikit rasa cinta di hatinya. Entah kapan berubah menjadi sepenuhnya. Bisa saja malam ini.
Tanpa terasa detik-detik menuju pergantian tahun semakin dekat. Bunyi kembang api semakin riuh disertai pijar warna-warni yang semakin penuh di sekitar wilayah pelabuhan Ampenan. Melihat lelaki berkaos lengan panjang itu masih berdiri di samping mobil, Angelica menyerah dan membuka kaca jendela.
“Terima kasih… A…”
Lidah Angelica mendadak kelu. Dia menatap lemah ke arah lelaki tinggi dan kurus itu. Kedua ujung bibir lelaki tertarik membentuk lengkungan. Angelica terpaksa membalasnya dengan senyuman. Setelahnya, Angelica mampu menguasai dirinya sendiri.
“Sekali lagi, terima kasih, Arion.”
“Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ca.” Arion menyandarkan tubuhnya di badan mobil, membelakangi Angelica.
Sementara Marco yang tidak mengetahui perihal kejadian antara keduanya, hanya bisa meletakkan dagu di jendela mobil yang terbuka dan memandang langit kota Ampenan yang penuh warna-warni. Termangu sendiri. Membiarkan sebuah pertemuan menjadi kata-kata dari hati ke hati.
“Kenapa kamu ngomong gitu, Ar?” Angelica mengeluarkan sebagian kepalanya melalui kaca jendela.
“Iya. Aku yang harusnya berterima kasih padamu. Selama ini kamu telah berhasil membuat hidup Om Dani lebih hidup lagi.”
Arion menghentikan kata-katanya untuk mengambil napas, lalu melanjutkan kata-katanya, “Om Dani banyak cerita tentang kamu. Mungkin kamu tidak tahu, kalau dia melakukan semua untukmu, sebenernya karena dia sangat mencintaimu. Aku merasa kasihan dengan kesendirian dan kesepiannya. Karena itu, aku menolak cintamu dulu. Maafin aku, ya, Ca.”
Angelica hanya diam mencoba memahami maksud kata-kata Arion. Kini dia paham, ternyata keyakinan bukanlah alasan Arion menolaknya dulu. Tetapi semua sudah terlambat. Arion membalikkan badannya. Kali ini tangan kanannya lembut menyentuh pipi Angelica dan berkata, “Untung ada kamu menjadi teman berbagi. Seandainya tidak, mungkin saat ini Om Dani udah nyusul Tante Rina ke alam sana dengan cara bunuh diri karena depresi. Sekali lagi terima kasih, Ca.”
Dengan air mata mengembang, Arion berlalu setelah memberikan sebuah amplop bertuliskan ‘Dani Tours & Travel’ di bagian depannya pada Angelica yang masih ternganga. Melihat hal itu, Marco mengepalkan tinju di jendela mobilnya yang terbuka. Gejolak yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya tiba-tiba hadir begitu saja. Sesekali dia menahan geraman menyembunyikan ketakutan untuk kehilangan. Dia begitu benci mendengar kenyataan, bahwa kelayannya jatuh cinta pada Angelica. Ini tidak baik untuk bisnisnya, juga hatinya. Marco segera memeluk Angelica.
“Jangan tinggalin aku, ya, Sayang? Jujur… Aku enggak mau kehilangan kamu. Aku cinta kamu, Sayang,” bisik Marco di telinga Angelica yang mengiyakannya lewat sebuah anggukan.
Angelica merasakan getar yang berbeda. Ini bukan rayuan Marco seperti biasa, tetapi kata-kata yang lahir dari hati terdalamnya.
“Jangan khawatir, Marc. Om Dani udah aku anggep kayak papiku sendiri. Meskipun Om Dani mencintaiku, aku enggak akan bohong sama hati dan perasaanku. Aku juga cinta kamu.”
Angelica melingkarkan kedua tangannya di leher Marco. Keduanya bersitatap lama. Untuk pertama kalinya. Dua orang berbeda karakter itu pun akhirnya larut dalam sebuah rasa yang sama, bahagia.
Kota tua Ampenan pun hening untuk sementara, hingga akhirnya suara terompet berbaur dengan bunyi kembang api ditambah klakson berlomba-lomba memamerkan pesonanya. Tepat pukul 00:00 Waktu Indonesia Bagian Tengah, langit kota tua Ampenan yang berpijar penuh warna, serupa hati mereka berdua yang baru saja menyadari, bahwa ternyata kejujuran cinta bisa lahir ketika bisa membuat orang lain bahagia.