“Kadang perbedaan bukanlah alasan perpisahan”
Pelabuhan Ampenan saat pagi yang temaram. Hingar-bingar tak terelakkan. Sudah hampir sebulan ini selalu begini. Perayaan kecil dinikmati oleh kebanyakan warga masyarakat. Bukan hanya warga sekitar saja, tetapi juga warga yang rumahnya jauh. Terbukti dari beberapa sepeda motor yang terparkir rapi di tempat parkir. Bukan pemandangan yang aneh lagi saat berpasang-pasang muda-mudi tertawa senang atas pesta yang sedang berlangsung saat pagi. Tak terkecuali hari ini.
Orang-orang tampak hilir-mudik melewati gerbang pintu masuk bercat krem yang baru saja selesai dibangun. Terlihat dari catnya yang masih baru dan beberapa material bangunan masih menumpuk di bagian belakangnya. Tak heran masih terlihat megah terutama bagian atas yang melengkung. Di bagian kanan gerbang, seorang laki-laki berdiri bersandar. Laki-laki itu tampak beda dengan yang lainnya. Dia tampak bahagia dalam balutan celana panjang berbahan jeans dan sandal gunung warna coklat, sedangkan kebanyakan laki-laki yang datang di tempat itu memakai celana pendek berkalung sarung.
Sesekali matanya melihat perayaan di tepi pantai yang berlapis jalan aspal, sejenak kemudian dia mengamati smartphone-nya. Selalu saja seperti yang dilakukannya selama hampir lima belas menit. Rasa tidak sabar mendadak terlihat jelas di raut wajahnya yang bersih. Entah sudah berapa kali dia mengubah posisi kakinya. Dia terkejut dan hampir saja terjatuh saat tiba-tiba sebuah sepeda motor matic kombinasi warna hitam dan putih lewat di depannya. Dengan sigap dia berusaha menyelamatkan smartphone-nya yang hampir terjatuh.
“Ups!” Dia berteriak lirih.
“Hampir aja. Dasar cewek sialan!” Dia merutuk dalam hati.
Sejenak dia menenangkan dirinya. Sesaat kemudian dia telah sibuk kembali dengan gadget-nya. Kali ini dia berusaha membersihkan minyak dan kotoran yang menempel pada screen dengan menggosoknya pada kaos putihnya. Dia tiba-tiba tersenyum saat smartphone-nya berbunyi tanda ada pesan yang masuk.
“Pasti dia dah ini,” batinnya penuh keyakinan.
Dengan terampil, tangannya mulai bergerak hendak membuka pesan masuk itu. Tapi, kadang saat keinginan sudah menggebu, saat itu halangan datang menghadang. Smartphone-nya mendadak hang. Dia tampak kesal saat berusaha mengutak-atik smartphone-nya. Gagal.
“Sial!” katanya sambil membuka casing dan baterai smartphone-nya itu.
Berkali-kali dia mengeluarkan sumpah serapah dengan nada rendah. Dia tidak mau merendahkan dirinya sendiri di hadapan orang lain lewat omongan kotor yang keluar dari bibirnya. Dia semakin tidak sabar saat smartphone-nya lambat karena di-restart. Saking kesalnya, hampir saja dia menggigitnya.
Sekitar lima menit kemudian, smartphone-nya berhasil menyala. Dia senyum-senyum sendiri karena kegirangan. Dengan semangat dia langsung membuka fitur pesan sesama pengguna itu. Sederet kalimat dari kontak bernama Nabilla Raya dengan display picture Hello Kitty masuk. Dibacanya dengan hati-hati.
“Aku udah di Pantai Ampenan nih. Kamu di sebelah mana, Yan?”
Dia segera mengabari di mana keberadaannya agar lebih mudah bertemu. Tanda kotak kecil merah penunjuk waktu terus berputar. Dia sangat yakin ini akibat sinyal provider yang tidak bersahabat. Dia menekan tombol Home dan betapa terkejutnya dia saat mendapati sinyal SOS. Ternyata baterainya habis.
Dia sudah pasrah dengan yang dihadapinya dan mendengus kesal. Penantian hampir satu jam itu tidak membuahkan hasil. Dia bergeming di posisi semula. Semangat yang berkobar-kobar sejak pagi itu kini sudah menguap oleh cahaya matahari.
Perayaan di Pantai Ampenan saat hari terakhir puasa itu telah usai. Hampir semua orang telah meninggalkan pantai itu. Tak tersisa apa pun selain bekas petasan yang berserakan di sekitar lokasi pantai. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Dengan gontai dia meninggalkan gerbang pintu masuk itu. Mengutuk dirinya sendiri yang dari tadi tidak memberitahukan posisi pada Nabilla. Dia terlalu gengsi untuk melakukan hal itu. Kini dia merasa bodoh disebabkan karena gengsinya sendiri.
Dia terus melangkah ke arah pantai. Pandangannya lurus ke arah permukaan laut yang berkilauan dengan senyum kecut. Setiba di pantai, dia memilih duduk di pembatas pantai dengan kaki menggantung. Pikirannya menerawang mengingat kebodohan yang telah dilakukannya. Dari avatar Twitter Nabilla, seharusnya dia bisa mengenali gadis itu. Tapi, kenyataannya dari sekian banyak orang yang diperhatikannya dari tadi, tidak ada satu pun yang sama atau mirip dengan Nabilla.
Matahari sudah tinggi saat dia melangkahkan kaki menuju areal parkir. Dia langsung tancap gas mengendarai Katana putihnya pulang meninggalkan kekecewaan dan rasa bersalah di pintu gerbang.
***
Seminggu kemudian di tempat yang sama. Tak ada lagi hingar-bingar dan keramaian. Dia sendiri bersandar pada pintu gerbang. Kali ini dia yakin, bahwa baterai smartphone-nya masih kuat untuk menemukan sinyal. Dan, itu artinya dia yakin tweet up kali ini akan membuahkan hasil.
Dengan mata berbinar dia membuka smartphone-nya saat terdengar bunyi notifikasi. Pesan berasal dari Nabilla Raya.
“Hei… Bli. Sori aku enggak bisa ke Pantai Ampenan. Soalnya adikku ngajakin ke Car Free Day.”
Dengan cepat dia membalas.
“Terus gimana dong? Jadi tweet up enggak nih?”
“Ya udah. Kamu ke sini aja. Aku tunggu di depan monumen batu ya.”
“Oke sip!”
Ardika memacu mobilnya keluar area pelabuhan menuju kawasan jalan Udayana. Setelah melewati ruas-ruas jalan yang mulus, Ardika sampai di bekas Bandara Selaparang. Dia segera memarkirkan mobilnya. Begitu turun, dia setengah berlari menuju monumen batu yang letaknya tak jauh. Dilihatnya banyak orang berjalan kaki dalam gerombolan-gerombolan dengan menggunakan pakaian olahraga.
Dari kejauhan dia melihat monumen batu yang dibangun di tengah taman yang rindang oleh pepohonan. Di hutan kota itu, dia berharap akan bertemu dengan Nabilla. Setidaknya itu dulu langkah awal yang akan dilakukannya untuk menjawab pertanyaan dari teman-temannya yang sudah lebih dulu menikah.
Lima langkah dari tempatnya menapakkan kaki, dia melihat seorang gadis berambut panjang memakai kaos warna pink berpotongan lengan pendek sedang duduk sendiri di depan monumen batu. Dia mengenalinya. Tak salah lagi. Dia adalah Nabilla Raya.
“Hei… Nabilla ya?” Ardika mengulurkan tangan, “Ardika. Wayan Ardika.”
“Eh… Iya.”
“Akhirnya ketemu juga ya. Sudah lama nunggunya?”
“Belum kok. Belum seharian maksudnya, Bli1).”
Tawa keduanya mendadak pecah. Tidak ada kecanggungan sama sekali. Ardika mengajak Nabilla ke salah satu pedagang minuman. Mereka kemudian terlibat obrolan seru tentang diri mereka masing-masing. Ardika menjelaskan tentang insiden seminggu sebelumnya di Pantai Ampenan dan meminta maaf pada Nabilla.
“Enggak papa, Bli. Padahal waktu itu aku sampai ngebut dan hampir menabrak seseorang di pintu gerbang pelabuhan. Hee….” Nabilla terkikik geli.
“Hah?”
“Kenapa kaget gitu, Bli?”
Nabilla menatap wajah Ardika yang penuh ekspresi kaget dengan saksama. Wajah bersih dan lembut yang tampak lebih muda dari usia sebenarnya. Berhubung Nabilla lebih muda, dia memilih memanggil Ardika dengan panggilan “Bli” yang artinya kakak laki-laki. Ardika sendiri merasa nyaman dipanggil seperti itu. Di tanah moyangnya, Bali, memang seperti itu panggilan untuk menghormati laki-laki yang lebih tua. Jadi, di Lombok pun orang-orang memanggil dia seperti itu karena memang usianya yang sudah matang. Sungguh, cara sederhana untuk saling menghormati sesama umat manusia yang berbeda keyakinan.
“Ah… Enggak papa, Bil. Dong berarti kamu yang waktu itu hampir nabrak aku?”
“Jadi… Jadi… yang waktu itu Bli Ardika? Hahaha….”
Keduanya tertawa lepas mengingat insiden pagi buta di Pantai Ampenan. Sepertinya kebahagiaan larut dalam pertemuan pertama mereka saat ini. Dan, sejak pertemuan itu, Ardika yakin bahwa Nabilla adalah orang yang tepat. Tetapi, Ardika tidak menyadari bahwa keinginannya akan mengantarkannya pada harapan sia-sia. Harapan yang harus dikuburnya sampai saatnya tiba.
***
Hujan bulan Desember belum berhenti. Menyisakan genangan di beberapa bagian ruas jalan yang berlubang. Sepasang langkah kaki membuat sebagian genangan air itu berpindah ke badan jalan. Air keruh masih bercampur dengan rinai hujan yang terus turun. Sebagian dari langit, sebagian lagi dari ujung-ujung payung yang dibawanya. Kaki beralas sandal gunung berwarna coklat itu terus melangkah menyibak hujan. Tangannya menggenggam erat gagang payung agar tidak terlepas karena hembusan angin yang kencang. Dia mulai menepi dan melangkah hati-hati di pinggir jalan yang berderet pertokoan.
Dia menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah toko bercat kuning cerah. Kanopi dengan sentuhan tradisional berupa ukiran berdiri tegak di depan. Perlahan dia membuka rolling door toko itu. Salah satu toko di deretan kampung yang merupakan pusat kerajinan mutiara. Toko itu adalah warisan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Kini dia sendiri yang mengelolanya.
Jam dinding menunjuk tepat di angka 9, saat dia membuka tokonya pagi itu. Di kanan-kirinya beberapa toko juga telah buka. Sesekali dia membersihkan etalase yang berisi perhiasan emas dengan berbagai bentuk dan model. Gelang, kalung, liontin, dan cincin. Semuanya berhiaskan mutiara. Setelah selesai, dia memilih duduk diam di belakang etalasenya. Tangannya mengutak-atik smartphone-nya. Setidaknya dia bisa mengobati kesendiriannya selama ini lewat interaksi dengan pelanggannya di media sosial Twitter.
Matanya tak lepas dari layar smartphone-nya. Dengan teliti dia membuka dan membaca semua mention yang masuk. Dia menghentikan aktivitas scrolling saat matanya tertuju pada sebuah nama akun, @RahendraRay. Kata demi kata dibacanya dengan teliti.
Bli @Wayan_Ardika , jam berapa tokonya buka?
Ardika tidak segera membalas mention itu. Dia justru asyik menatap avatar calon pelanggannya itu. Ada getaran aneh yang dirasakannya. Sepertinya wajah itu tidak asing baginya.
“Kayaknya pernah ketemu deh. Tapi, di mana ya?”
Akhirnya, Ardika pun akhirnya memutuskan untuk membalas mention itu. Beberapa kata disusunnya menjadi sebaris kalimat. Beberapa kali dia menekan tombol ‘Yes’ saat ada notifikasi ‘discard tweet without sending?’ muncul di layar smartphone-nya. Setelah yakin, dia pun menekan tombol Enter.
Ardika sudah tidak sabar menunggu balasan dari calon pelanggannya. Beberapa kali dia me-refresh tab mention, tetapi belum muncul balasan juga. Dia akhirnya mengalihkan perhatian pada mention yang lain. Salah satunya dari temannya dalam grup Gendang Beleq2) “Pade Girang”3) yang mengabarkan tentang latihan nanti sore.
Senyum merekah saat dia mengingat kelakar teman-temannya dalam satu grup. Sungguh sebuah keluarga baru yang hangat. Dari teman-teman dan terutama pelatihnya, dia belajar banyak hal tentang hidup. Terlebih tentang kekuatan dalam menanggung beban kehidupan. Ada saat harus bisa bangkit, kemudian terus mengubah ujian hidup menjadi irama. Seperti halnya gendang beleq yang sering menemaninya menghapus kesedihan dan kesepian.
“Apa pun yang menimpamu, kamu harus kuat. Anggep aja kamu sedang latihan gendang beleq. Semakin kamu bersahabat, kamu akan semakin pinter memainkannya,” kata pemimpin grup.
Ardika ingat betul dengan kata-kata itu. Ungkapan halus yang tersu membuatnya merasa kuat dalam keadaan bagaimanapun. Dia selalu ingat bahwa hidup adalah tentang menyelaraskan keinginan dengan langgam kehidupan yang terus berjalan.
Sampai istirahat makan siang, belum satu pun pelanggan mendatangi toko mutiara Ardika. Meskipun beberapa orang lewat di depan tokonya, tetapi belum ada satu pun yang berminat untuk sekadar melihat-lihat. Tidak seperti biasanya memang. Hari ini hampir seluruh toko yang ada di deretan pertokoan itu sepi pengunjung. Salah satu faktornya adalah hujan yang berkepanjangan.
Ardika sibuk mengutak-atik smartphone-nya saat ada notifikasi mention masuk. Bergegas dia membuka. Di hadapannya jelas tertera deretan kata yang membuat hatinya berbunga-bunga. Pengirimnya adalah calon pelanggan pertamanya hari ini. Ardika segera memberikan persetujuan lewat balasan.
Langit kota Mataram masih gulita. Tidak dengan hati Ardika. Dia hampir saja melupakan segalanya. Genangan di jalan yang rusak, pohon beringin besar yang tumbuh di depan tokonya bahkan kusir cidomo4) yang bolak-balik lewat membawa penumpang. Meskipun hujan, tetapi aktivitas ekonomi di desanya hampir seperti hari-hari biasanya. Terlebih pedagang mutiara yang selalu setia terhadap pekerjaannya.
Berbagai macam hal mereka lakukan untuk mengisi hari yang gerimis berkepanjangan. Pemilik toko mutiara di sebelah toko Ardika terlihat asyik sedang membersihkan perhiasan emas yang dia miliki. Tak jauh dari komplek pertokoan itu, beberapa umat Hindu bahkan tetap melangsungkan ibadah di pura yang tak jauh dari komplek itu. Sungguh kota kecil yang damai.
Di balik etalasenya, Ardika menata ulang perhiasan-perhiasan yang ada agar lebih menarik. Hampir semua barang jualannya sudah di-upload di Twitter untuk memudahkan pelanggan online memilih sesuai seleranya. Dia berhenti sejenak saat jemari kokohnya memegang sebuah cincin bermata mutiara air laut. Cincin emas 24 karat itu membawa ingatannya ke beberapa tahun yang lalu saat dia tidak sendiri seperti saat ini.
***
“Kamu serius? Emang kamu yakin, Bli?”
“Sejak pertama aku memutuskan jadian sama kamu aku udah yakin kok, Bil,” jawab Ardika nyengir.
“Tapi kita kan baru jadian seminggu. Kamu enggak nyesel entar?” tanya Nabilla menggeser duduknya sedikit menjauh dari Ardika.
Pasir pantai Loang Baloq5) yang hitam itu meninggalkan bekas memanjang. Ardika tak habis pikir dengan sikap Nabilla. Selama ini dia sudah serius hubungannya dengan Nabilla. Tapi, bahasa tubuh Nabilla sepertinya mengatakan lain. Sebenarnya Ardika paham, tetapi dia tidak mau menunggu lama-lama. Dia sejak awal mencari calon istri dan bukannya pacar. Meskipun kenal pertama hanya lewat dunia maya, tapi baginya Nabilla adalah kenyataan yang harus tetap dipertahankannya. Di matanya, Nabilla adalah gadis tanpa cela.
Baru jadian seminggu bukan berarti dia tidak membuka mata dan telinganya. Beberapa kali dia mendengar dari teman-temannya tentang masa lalu Nabilla. Seorang gadis yang saat senggang pekerjaannya memilih menghabiskan waktu di kafe di Senggigi bersama teman-temannya. Dia menyadari itu. Sebagai gadis yang tinggal di kota kecil dengan segala kerumitan pekerjaan, itu sah-sah saja. dia tidak begitu peduli dengan semua itu. Satu keyakinannya, bahwa dia akan bisa mengubah Nabilla.
“Kamu kenapa ngomong gitu, Bil?”
“Enggak papa sih. Aku cuma butuh waktu aja, Bli.”
“Aku tahu kok, Bil. Mungkin kamu enggak papa, tapi orang tuamu. Iya kan?”
Nabilla kemudian terdiam tak menjawab pertanyaan Ardika. Kata-katanya hilang ditelan ombak pantai Loang Baloq yang datang. Dia melemparkan tatapannya ke arah perahu nelayan yang hilir mudik di laut lepas menyongsong semburat senja. Tangan kirinya mengibaskan tangan kanan Ardika yang berusaha menggenggamnya. Sementara kakinya sudah semain terbenam di pasir sampai batas mata kaki. Nabilla terdiam menikmati hembusan angin yang menerbangkan rambutnya.
Ardika berusaha mengerti perubahan sikap Nabilla. Dia berusaha untuk tidak memaksanya. Dia merebahkan tubuhnya di atas hamparan pasir pantai itu. Kedua tangannya dilipat menyangga kepalanya. Tatapannya lekat ke langit biru. Beberapa gumpalan awan putih tampak bergerak lambat. Sesekali dia memejamkan mata saat aroma tubuh Nabilla hinggap di indera penciumannya. Aroma tubuh yang selalu mengingatkannya saat mereka tweet-up di Car Free Day di Jalan Udayana Mataram. Tanpa disadarinya, bibirnya menyunggingkan senyuman.
Keduanya terdiam cukup lama. Mereka membiarkan pikiran berjalan ke arahnya masing-masing. Masa lalu, hari ini, dan masa depan. Tak ada yang mau mendahului percakapan di sore yang hening itu. Maklum bukan hari libur, jadi wajar kalau pantai Loang Baloq sepi pengunjung.
Nabilla menoleh ke arah Ardika yang masih rebahan. Dia membatalkan niatnya untuk berbicara saat dilihatnya Ardika menutup mata. Damai jelas terlihat dari setiap titik wajahnya. Nabilla tidak mau mengganggunya. Dia sadar, kata-katanya barusan telah menimbulkan banyak pertanyaan di hati Ardika. Nabilla tahu dari kerutan di dahi Ardika.
“Cowok yang baik,” Nabilla membatin.
Ardika tidak juga membuka mata. Dia menyadari Nabilla sedang memperhatikannya. Dia hanya tidak ingin melihat keraguan di wajah Nabilla. Sebab bagaimanapun juga, Nabilla baginya adalah segalanya. Nabilla terlah berhasil menggugurkan bunga-bunga kesedihan yang selama ini tumbuh dalam ingatannya. Ingatan yang membelukar karena mantan kekasihnya yang meninggalkan dirinya hanya karena tidak sanggup dipisahkan jarak.
Senja semakin memesona. Beberapa fotografer dadakan maupun profesional menunggu saat-saat matahari terbenam. Semburat jingga semakin melebar di cakrawala saat Ardika bangun dari posisinya semula. Dia tersenyum menatap ke arah Nabilla, sekilas. Nabilla sepertinya lebih memilih melepas kepergian senja. Ardika melemparkan pandangannya jauh ke arah gunung Agung di seberang lautan. Kokoh. Di puncak gunung Agung itu, Ardika melihat hati Nabilla bertengger dengan pongahnya. Dia bahkan tidak tahu lagi bagaimana dia akan menjangkaunya.
Nabilla masih menatap semburat jingga yang bergoyang-goyang di permukaan laut. Ada keraguan hatinya yang melayang-layang bersamanya. Kadang timbul, kadang tenggelam. Dia tidak yakin keraguan yang sembunyi di dalam pantulan cahaya itu akan menepi ke pantai pada akhirnya. Dia sudah pasrah dengan keraguannya sendiri. Kapan keraguan itu akan tenggelam, hanya dia sendiri yang mengetahuinya.
Nabilla merasakan ada sebuah tangan menyentuh bahu kanannya. Dia hanya tersenyum. Bahkan, tanpa melihat sekalipun dia yakin, itu adalah lengan kokoh Ardika. Lengan kokoh yang menginginkan semua baik-baik saja. Nabilla tahu itu dari kehangatan yang menjalar ke dasar hatinya yang paling dalam. Nabilla menarik napas kemudian mencoba tersenyum ke arah Ardika. Senyum mereka bertemu dalam satu titik beda. Senyum Ardika berada di titik lega atas jawaban Nabilla, sedangkan senyum Nabilla masih belum beranjak dari titik keraguan hatinya.
“Bil… Maafin aku ya kalau terkesan buru-buru. Aku cuma pengin kita selalu bersama-sama,” kata Ardika berusaha mencairkan suasana.
“Enggak perlu minta maaf juga kali ah. Aku kali yang harusnya minta maaf sama side, Bli.”
Ardika kembali tersenyum pada Nabilla. Sementara Nabilla sendiri justru diam dalam rasa bersalah. Perasaan yang tidak bisa dibohonginya itu mendadak hadir kembali saat dia berusaha menjalin hubungan dengan orang baru. Dia bisa membohongi Ardika, tapi tidak hati kecilnya yang masih mengharapkan kembali pada mantannya.
Senja sebentar lagi habis, tetapi cinta Ardika ke Nabilla mereka belum bisa terkikis. Pelukan hangat itu dirasakan Nabilla semakin merenggang dan akhirnya terlepas. Perlahan-lahan Ardika memasukkan kembali kotak persegi kecil itu ke dalam saku celana panjang jeans biru dongkernya. Mereka bersama-sama menatap senja sebagai kehilangan. Huruf-huruf yang tegak berdiri membentuk nama pantai “LOANG BALOQ” menjadi saksi. Kebersamaan yang singkat dalam keindahan perbedaan keyakinan itu pun akhirnya menemukan caranya sendiri untuk diakhiri tanpa komunikasi.
***
Ardika menata kembali kenangan yang tersimpan dalam cincin itu. Sedikit demi sedikit dia bisa melupakan kejadian pahit hidupnya. Dia berusaha meyakinkan pada dirinya sendiri, bahwa dia bisa bangkit dari keterpurukan. Dan, kebangkitan dari masa lalunya bersama Nabilla, harus dia sendiri yang mulai membangunnya.
“Selamat siang, Mas.”
Suara itu sedikit mengagetkannya. Dengan agak tergesa-gesa dia meletakkan kembali cincin itu pada tempatnya. Dia mendongak ke atas untuk memastikan siapa yang baru saja menyapanya.
“Mari, Mas. Ada yang bisa dibantu?” tanya Ardika ramah seperti biasanya.
Kenangan tentang Nabilla serta merta membuatnya sedikit tidak fokus. Pikirannya mendadak blank. Dia bahkan sampai lupa bahwa hari ini sudah membuat janji dengan calon pelanggannya.
“Bli Ardika ya?” tanya lelaki berkacamata yang berdiri di depan etalase kaca tokonya itu.
“Iya. Kok tahu?”
Sungguh pertanyaan tidak penting yang harusnya tidak ditanyakan. Seharusnya Ardika segera sadar dengan siapa dia sedang berbincang. Seseorang yang sudah dikenalnya di Twitter. Seseorang yang sudah sering melintas di timeline-nya karena sering melakukan Public Display of Affection setelah dia kembali dengan mantannya.
“Kan saya udah janji mau ke sini siang ini, Bli,” jawabnya sambil tersenyum.
“Astaga! Iya… Maaf. Lagi kurang fokus soalnya. Biasa banyak pikiran. Kalau istilah anak zaman sekarang sih galau. Hee….”
Keduanya terkekeh. Mencairkan suasana adalah salah satu kemampuan Ardika. Sebagai seorang yang berhubungan dengan customer, dia cepat memahami karakter calon pelanggannya.
“Ray?” Ardika menanyakan nama calon pelanggannya dengan hati-hati karena dia sendiri belum yakin.
“Tepat sekali, Bli.”
Obrolan hangat siang itu ditemani langit Mataram yang mulai berangsur cerah meninggalkan tanah basah. Aktivitas di kampung khusus perajin emas itu sudah normal kembali. Riuh orang-orang yang lewat, bapak-bapak yang baru pulang dari masjid, dan beberapa wisatawan luar negeri yang tampak asyik melihat-lihat etalase di toko seberang jalan. Sebagai pusat kerajinan emas, wilayah tempat tinggal Ardika memang menjanjikan. Semakin hari semakin mengalami kemajuan seiring majunya pariwisata Lombok.
“Oya, Bli. Tyang6) mau lihat dong cincin yang kemarin side7) share itu,” kata Ray kemudian.
“Oh… Iya kodenya berapa kemarin itu ya?”
“C104, Bli.”
Pandangan mata Ardika menyapu hampir seluruh koleksi cincin di bagian khusus etalase. Dengan teliti dia mencari kode yang disebutkan Ray. Senyum tipis mengembang di bibirnya saat dia menemukannya.
“Ini, Ray,” katanya menyodorkan sebentuk cincin emas 24 karat yang ada sedikit ukirannya.
“Ini cocok enggak sih, Bli untuk cincin tunangan?”
“Bagus kok.”
“Serius, Bli?”
“Iyalah. Masak kamu enggak percaya sih? Apa aku ada tampang pembohong?”
“Enggak sih, Bli. Tampang teraniaya sih… Iya… Hahaha….”
Keduanya kembali tertawa. Sesekali Ray minta tolong Ardika untuk mengeluarkan koleksi cincinnya yang lain. Dengan saksama dia memperhatikan setiap detail cincin yang ditunjukkan. Sampai akhirnya, Ray menyerah dan meminta tolong kepada Ardika untuk memilihkan cincin dengan model dan kualitas terbaik.
“Coba yang kode C273 ini, Ray. Ini kayaknya lebih bagus dari yang tadi deh.”
Ray kembali mnegamati cincin yang diberikan Ardika. Dia sependapat dengan pilihan Ardika dan akhirnya memilih cincin itu. Ray kemudian membayar untuk pemesanan dua buah cincin yang akan diambilnya esok hari. Setelah transaksi selesai, Ray berpamitan. Perlahan mobil Jazz berwarna merah itu meninggalkan area parkir di depan toko Ardika.
Setelah kepergian Ray, Ardika membuka lembaran bertuliskan nama lengkap Ray dan pasangannya. Wajahnya tiba-tiba berkerut saat membaca sederet nama yang tertulis di kertas sobekan nota itu. Dia berusaha menyadarkan dirinya bahwa ini bukanlah mimpi.
“Ja… Ja… Jadi…?”
***
27 Maret 2013.
Langit siang Mataram panas dan gerah. Ardika dan teman-teman grupnya sedang melakukan persiapan terakhir. Setelah hampir tiga bulan latihan, mereka sudah pandai menabuh gendang beleq. Materi bukanlah tujuan utama Ardika bergabung dengan grup ini. Semata-mata hanya karena ingin ikut melestarikan budaya Sasak, tanah yang telah memberinya kehidupan, meskipun nenek moyangnya dari Bali. Dan, kali ini adalah untuk pertama kalinya di tahun baru mereka akan ikut tampil sebagai pengiring dalam sebuah prosesi acara perkawinan adat Sasak, nyongkolan8).
“Mudahan entar sore enggak hujan ya,” kata Ardika sambil membetulkan sapuq-nya.
“Amin.”
Setelah berdoa mereka segera naik ke atas truk yang sudah disiapkan. Beberapa lelaki dengan pakaian adat Sasak dengan baju berwarna hitam sudah siap di atas truk bersama perlengkapan masing-masing, kecuali Ardika. Dia memilih mengendarai mobilnya sendiri bersama Erlangga Aditya, teman dekatnya. Truk berjalan meninggalkan sanggar di kawasan Pagesangan menuju daerah Ampenan. Ardika mengikutinya dari belakang. Sepanjang perjalanan Ardika hanya tersenyum kecut saat Erlangga mem-bully-nya tentang pernikahan.
Tak sampai lima belas menit kemudian, kedua mobil itu berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah bercat biru. Setelah basa-basi dengan pemilik rumah, mereka dipersilakan istirahat di berugaq9) sebelum mempersiapkan diri. Setelah dirasa cukup beristirahat grup itu mempersiapkan diri. Tak terkecuali Ardika. Dengan cekatan dia memasang gendang beleq di pundaknya. Sesekali dia mengetes bunyinya. Dengan satu komando, terdengar harmonisasi bunyi berbagai alat musik yang padu.
Mereka menghentikan pertunjukan itu saat pengantin pria muncul dari dalam rumah. Seorang lelaki yang gagah dengan cincin emas di jari manis tangan kirinya. Ardika mengenalinya sebagai Rahendra Ray. Meskipun kenal, tetapi Ardika sengaja untuk tidak menunjukkan dirinya.
Tepat pukul 16.00 Wita, rombongan berangkat. Pengantin pria dengan pakaian adat itu melangkah dengan gagah diiringi rombongan yang semuanya berpakaian adat. Di belakang rombongan pengiring pengantin itu, rombongan gendang beleq kembali memainkan aksinya dengan suara membahana. Rombongan pengantin terus menuju ke utara. Semakin dekat, Ardika semakin mengenali jalur yang dilaluinya.
“Deg!”
Jantung Ardika seakan berhenti berdetak saat rombongan tiba di depan rumah pengantin wanita. Seorang wanita berbalut pakaian adat Sasak keluar dengan anggun bersama pengiring-pengiringnya. Dia mengenalinya sebagai Nabilla Raya, gadis yang pernah singgah mengisi kekosongan hatinya kemudian meninggalkannya karena dia butuh waktu untuk menjawab pinangannya waktu itu.
Tubuh Ardika sedikit bergetar, tetapi dia tetap berusaha tegar. Dijalankannya kembali tugas menabuh gendang beleq dengan sebaik-baiknya. Ini adalah keinginannya, menyaksikan kebahagiaan Nabilla, dan dia telah siap dengan segala konsekuensinya sampai prosesi nyongkolan itu selesai.
Truk membawa personil yang sudah kelelahan kembali pulang ke sanggar seni, kecuali Ardika. Ardika ditemani Erlangga dalam mobil Katana-nya. Saat melewati sebuah gerbang masuk, Ardika memutuskan belok kanan menuju pelabuhan Ampenan. Tak ada aktivitas berarti di pelabuhan Ampenan itu, kecuali beberapa pedagang kaki lima.
Ardika mengajak Erlangga menuju ke salah satunya. Pedagang yang menurutnya menyediakan kopi paling enak. Keduanya duduk bersisian menatap ke arah laut lepas. Dua cangkir kopi hitam mengeluarkan asap panas tersaji di depan mereka.
“Yang sabar ya, Bli.”
“Enggak papa, Er. Aku udah tahu sejak awal kalau ini bakal terjadi.”
“Terus kenapa side diem aja, Bli?”
“Lha emangnya mau ngapain lagi. Cinta kan enggak bisa dipaksain, Er. Iya kan?”
“Bener juga sih, Bli. Tapi, seenggaknya Bli kan harus berusaha mendapatkan Nabilla kembali. Dan, bukannya menyerah.”
“Udah ah. Enggak usah dibahas lagi ya,” kata Ardika menutup pembicaraan sore yang pekat itu.
Erlangga menurut lalu perlahan meninggalkan Ardika sendiri. Dia tahu, temannya ingin menumpahkan segala kesedihannya dalam diam. Ardika menghela napas panjang mencoba mengatur perasaannya. Ada tangisan tersimpan dalam diamnya. Satu per satu rintik hujan membentuk lingkaran-lingkaran kecil di permukaan lautan kemudian menghilang.
“Seandainya tangis kesedihan bisa menghilang secepat itu.”Ardika membatin sambil mengusap sudut matanya dengan punggung tangan kanannya.
Pelabuhan Ampenan menjadi saksi bisu kisah Ardika. Di tempat ini dia pernah bermimpi saat ada pesta perayaan kebahagiaan, di tempat ini pula dia mengubur impian dalam pesta perayaan kesedihan bersama hujan sore hari yang temaram. Sendiri.
Footnote:
- Bli: Panggilan untuk lelaki yang lebih tua.
- Gendang Beleq: Kesenian tradisional suku Sasak Lombok berupa gendang dengan ukuran besar
- Pade Girang: Sama-sama senang.
- Cidomo: Kendaraan khas Lombok yang menggunakan tenaga kuda seperti dokar.
- Loang Baloq: Lubang buaya, nama pantai di kota Mataram.
- Tyang: Saya
- Side: Kamu untuk orang yang lebih tua untuk menghormati.
- Nyongkolan: Prosesi adat pernikahan di Lombok dengan mengiring kedua mempelai keliling kampung. Biasanya disertai kesenian gendang beleq
- Berugaq: Gazebo.