Membangun APBN Tanpa Utang, Mungkinkah?

Terbaru0 Dilihat

Memasuki tahun baru 2024, Indonesia belum terlepas dari persoalan utang negara. Bahkan  besarnya semakin bertambah. Hingga akhir November 2023, utang Indonesia mencapai Rp8.041,01 triliun. “Tahun 2024 proyeksinya bisa tembus 8.600 triliun, menghitung besaran utang jatuh tempo dan beban bunga utang yang sebagian akan dibayar dengan penerbitan utang baru,” kata Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Tempo, Rabu, 3 Januari 2024.

Naiknya utang RI saat ini kontradiktif dengan isi kampanye Jokowi pada Pilpres 2014 dengan janji  akan menyetop utang luar negeri. Juga janji bahwa dengan melakukan efisiensi APBN, Indonesia akan mandiri dalam semua pembangunan. Realitasnya sungguh berbeda. Efisiensi Meski ada efisiensi APBN, pos yang dikurangi adalah subsidi yang tentu saja hal ini menambah beban rakyat kecil.

Utang pemerintahan saat ini
terus bertambah terhitung sebesar Rp5.431,21 triliun, sejak  mengawali jabatan presiden 2014. Anehnya pemerintah menganggap utang ini masih dalam kondisi masih aman. Padahal, Bank Dunia Bank telah memberi warning  bahwa naiknya suku bunga telah menjadikan momok di semua negara berkembang. Apalagi menurut perkiraan INDEF, pertumbuhan ekonomi RI hanya di level 4,8%.

Utang Ribawi Haram

Pinjaman yang diambil oleh pemerintah termasuk utang ribawi. Islam melarang melakukannya. Meski  demikian, Menkeu Sri Mulyani beranggapan bahwa utang ribawi boleh-boleh saja.
Hal itu nampak dalam penyataannnya, “Dalam Alquran pinjam-meminjam itu boleh, tetapi harus diadministrasi, dicatat dengan baik, digunakan secara hati-hati.”

Menkeu berkilah bahwa semua negara di dunia juga berutang guna mengelola negaranya. Menurutnya, jika suatu negara tidak berutang, akan terjadi problem pada pembangunan infrastruktur.

Pernyataan Menkeu ini sama sekali tidak berdasar. Administrasi utang dan pemberian keuntungan bagi pemberi utang hukumnya pun berbeda. Pencatatan utang piutang  hukumnya sunah sedang  memberikan tambahan bagi pemberi utang merupakan praktek riba, hukumnya  haram.

Sebutan apapun untuk kompensasi itu, apakah jasa, untung, bunga atau yang lain, semuanya termasuk riba. Keharaman ini tanpa melihat apakah ada eksploitasi oleh pihak pemberi utang atau tidak.

Praktek riba sangat dilarang keras dalam islam Allah Swt.   berfirman, yang artinya “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan karena mereka berpendapat bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah [2]:

Pada awalnya Allah Swt. hanya melarang riba yang berlipat ganda, sebelum ayat tersebut turun. Larangan ini ada dalam  QS Ali Imran ayat 130. Kemudian Allah Swt. mengharamkan riba secara total melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kalian adalah kaum mukmin.” (QS Al-Baqarah [2]: 278).

Ayat-ayat yang mulia di atas menegaskan bahwa seluruh praktik utang-piutang yang mengandung riba adalah haram. Ibnu Qudamah rahimahulLâh berkata, ”Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 6/436).

Menjadi Beban Berat

Utang ribawi ini menjadi beban berat untuk negeri ini. Ekonom Awalil Rizky menyebutkan, rasio utang terhadap pendapatan negara diperkirakan sebesar 310,93% pada 2023 dan 317,63% pada 2024.

Pada 2023, pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp2.637 triliun dengan utang akhir tahun Rp8.200 triliun. Sedang Pada 2024, target pendapatan negara sebesar Rp2.802 triliun, dan posisi utang akhir tahun diperkirakan Rp8.900 triliun. Rasio tersebut telah jauh melampaui rekomendasi IMF dan IDR untuk kondisi yang bisa dikatakan aman. IMF merekomendasikan kisaran 90—150%. Adapun rekomendasi IDR adalah kisaran 92—167%. Barisan[dot]co).

Pinjaman demi pinjaman ini nenjadi beban berar APBN. Bunga utang yang harus dibayar negeri ini berjumlah Rp437,4 triliun pada 2023 dan Rp497,32 triliun pada 2024.

Utang dan bunganya tersebut jauh di atas  subsidi buat rakyat. Subsidi LPG, BBM, BLT, dan yang lain, hanya  Rp146,9 triliun. Bunga utang itu juga tak sebanding dengan anggaran kesehatan untuk rakyat yang besarnya hanya  Rp187,5 triliun.  Klaim pemerintah bahwa subsidi rakyat menjadi beban APBN sunggah tak berdasar,  justru utang dan bunganyalah yang membebani APBN.

Sangat disayangkan bahwa, pembangunan yang dibiayai dari utang ribawi ini tidak membawa pengaruh positif yang berarti bagi ekonomi rakyat banyak. Contohnya, pembangunan IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, sejumlah bandara dan jalan tol.

Selain itu pembebasan tanah untuk infrastruktur ini menimbulkan konflik agraria yang mebyengsarakan rakyat. Rakyat kena gusur kehilanfan tempat tinggal, pekerjaan, merasa tidak aman dan hanta mendapat konpebsasi ganti rugi. Bahkan  beberapa jalan Tol  terancam mangkrak dengan nilai kerugisn mencapai Rp420 triliun!

Secara realita, utang luar negeri banyak menimbulkan masalah kedaulatan suatu negara. Negara-negara seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Maladewa, Uganda, Kenya dan Pakistan adalah sejumlah negara yang kolaps akibat perangkap utang luar negeri. Beberapa negara tersebut harus menyerahkan pelabuhan dan bandara strategis mereka pada negara pemberi utang, yakni Tiongkok, yang juga menjadi salah satu pemberi utang bagi RI.

Dengan alasan apa pun, pinjaman ribawi dilarang dalam oandangan islamb haram. Pelakunya  dikenai dosa besar. Terlebih jika utang tersebut  membahayakan kaum muslim. Dengan jeratan utang,  penguasaan wilayah dan pengambilan kekayaan alam oleh pihak negara pemberi pinjaman sangat mungkin terjadi.

Utang  juga bisa membuat  kaum muslim berada dalam kendali negara pemberi utang, sebuah perkara yang Allah melarangnya.  Allah Swt. telah berfirman, “Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (QS An-Nisa’ [4]: 141).

APBN Bebas Dari Jerat Utang, Mungkinkah?

Realitas negara terjerat utang hari ini terjadi sebagai akibat menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem yang menghalalkan riba serta memĺbuka pintu untuk swasta untuk mengeruk sumber daya alam milik rakyat. Hari ini sekitar 90% pertambangan dan pengolahan nikel dikuasai asing. Sektor batu bara hanya 12% dikelola oleh BUMN. Pada sektor migas, Pertamina hanya mengelola 30% blok migas. Sisanya dikuasai oleh perusahaan  asing.

Memperbaiki rusaknya ekonomi negeri ini merupakan pembahasan pada level sistemik. Karenanya diperlukan perubahan ke arah sustemik yaitu dengan  penerapan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan. Cengkeraman utang ribawi itu baru bisa terlepas jika umat kembali menerapkan syariat Islam, bukan dalam sistem demokrasi.

Melalui konsep Islam yang sempurna, Allah telah menyiapkan APBN yang bebas dari utang ribawi. APBN ini ada dalam sistem ekonomi islam yang berbasis baitulmal. Sumber pendapatan dan pos pengeluaran baitul yang Allah telah tetapkan.

Sumber pendapatan berasal dari ghonimah, fa’i, khoroj, khumus, jizyah yang berasal dari warga non muslim serta zakat dari kaum muslimin. Juga hasil dari pengelolaan harta milik publik yang dikelola negara dan dikembalikan hasilnya kepada rakyat. Pengembalian ini dalam bentuk layanan di bidang pendidikan kesehatan dan keamanan secara gratis.
Baitul maal tidak membebani rakyat dengan pajak, sebagaimana dalam sistem demokrasi.

APBN yang berbasis baitul mal ini akan melepaskan negara dari jerat utang ribawi, karena sumbernya ada secara melimpah. Selain   kuantitas yang melimpah, layanan pada kebutuhan pokok rakyat pun diberikan dengan ukuran kualitas yang layak. Kesejahteraan rakyat terwujud sebagai buah dari ketaatan negara dan rakyatnya kepada Allah, Sang pencipta dunia dan isinya. Keberkahan yang melimpah bukanlah sekedar angan-angan, namun buah dari ketakwaan kolektif.

Hal itu sebagaimana janji Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 96.

﴿ وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ٩٦ ﴾

Artinya: Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.

Maka, membangun anggaran pendapatan dan belanja negara  tanpa utang ribawi adalah suatu keniscayaan. Hal itu hanya bisa dilakulan oleh  pemerintahan yang menerapkan syariat islam.

Tinggalkan Balasan