Bukan Memindahkan Ibu Kota Negara, tapi Menyebarkan Kegiatan Pemerintahan, Ekonomi dan Industri

Sosbud23 Dilihat

Hiruk-pikuk pemindahan Ibu Kota Negara disebut-sebut sejak era Presiden Soekarno, tapi yang terlihat secara fisik baru di era Presiden Soeharto ketika tanah rakyat di Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sekitar 40 kilometer arah tenggara Jakarta dipatok-patok. Akibatnya, memicu masalah terkait dengan jual-beli tanah. “Proyek” ini gagal seiring dengan kejatuhan pemerintahan Soeharto pada 21 Mei 1998.

Wacana berlanjut di era pemerintahan SBY. Tidak memindahkan ibu kota, tapi memperluas Jakarta sebagi ibu kota dengan julukan “The Greater Jakarta” yang mencakup Jabodetabek sampai Sukabumi dan Purwakarta. SBY juga mengajukan tiga opsi yaitu Jakarta tetap ibu kota sebagai pusat pemerinahan dan pusat bisnis, membangun kota baru, serta Jakarta tetap ibu kota tapi memindahkan kegiatan pemerintahan ke kota lain. Ini juga sebatas angan-angan karena persoalan bangsa tidak hanya menyangkut pemindahan ibu kota.

Angkutan Massal

Presiden Jokowi tidak mau ketinggalan. Dengan memaknai usul Presiden Soekarno yaitu pindah ke Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Kota ini dipilih karena luas, strategis dan relatif aman dari bencana alam.

Dengan eksploitasi hutan dan tambang yang sangat tinggi di Kalimantan, apakah Kota Palangkaraya bisa dikategorikan aman?

Tidak juga. Soalnya, kondisi alam sudah berubah karena eksploitasi hutandan tambang secara besar-besaran. Banjir bandang jadi ancaman terbesar karenahutan sudah diganti dengan tanaman kelapa sawit. Kualitas dan potensi air tanahpun terganggu karena sawit tidak menahan air hujan bahkan menyedot air tanah.Aktivitas pemerintahan, bisnis, industri dan pariwisata membutuhkan air bersihyang banyak.

Selain membutuhkan dana yang sangat besar posisi Palangkaraya juga tidak strategis secara nasional jika dibandingkan dengan kota-kota di Pulau Jawa.

Persoalan sosial juga akan muncul karena penduduk di sana masih pada taraf hemogen dengan kebudayaan dan religi yang khas. Dengan membawa puluhan kementerian tentulah proporsi warga akan banyak sehingga muncul heterogenitas. Friksi-friksi sosial akan muncul apalagi dihadapkan dengan kebiasaan beberapa suku yang sudah sangat ekstrovert dan terbiasa dengan masalah-masalah sosial yang terkait dengan norma dan moral.

Beberapa negara di dunia, seperti Amerika Serikat dan Australia, memisahkan ibu kota negara dengan pusat bisnis. Di AS pemerintahan dipusatkan di Washington DC sedangkan kegiatan ekonomi di New York. Pusat pemerintahan Australia di Canberra sedangkan bisnis di Melbourne. Bahkan, Malaysia pun membangun pusat pemerintahan di Shah Alam yang tidak jauh dari Kuala Lumpur.

Kalau pemindahan ibu kota dikaitkan dengan menghindari kemacetan tentulah tidak pas karena semua kota besar di dunia ini selalu diwarnai dengan kemacetan. Lagi pula kalau kelak ibu kota pindah ke kota lain tentu saja kegiatan pemerintahan akan menimbulkan kemacetan juga. Soal kemacetan bukan karena tidak ada pertambahan jalan raya, tapi karena semua menuju satu titik sehingga terjadi kemacetan di titik-titik tertentu. Ibarat leher botol yang keluar dari dalam botol akan berdesakan di leher botol. Bank Dunia pernah merilis hasil studi bahwa kota dengan penduduk lebih dari 1 juta, maka transportasi hanya bisa diandalkan dengan angkutan massal bebas hambatan.

Maka, di kota-kota besar di dunia kemacetan bukan diatasi, tapi dibangun sarana transportasi yang massal dan bebas macet yaitu mass rapid transit (MRT) yakni kereta listrik di bawah permukaan tanah (subway) atau kereta layang (light rapid transit/LRT). Jadi, bukan menambah lebar atau panjang jalan raya seperti diusulkan pengamat dalam talk show di televisi. Yang diperlukan bukan mengatasi kemacetan, tapi menyediakan pilihan (opsi) yaitu MRT dan LRT.

Untunglah ketika Joko Widodo (Jokowi) menjabat Gubernur DKI Jakarta bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pembangunan MRT dimulai yaitu dari Bundaran HI sampai ke Lebak Bulus. Di masa Ahok jadi gubernur mulai pula pembangunan LRT dari Cibubur-Grogol.

Pindahkan Kementerian

Dengan kondisi sekarang pusat pemerintahan dipindahkan ke Kota Bogor adalah langkah yang bijak. Pertama, di sana sudah ada sarana yaitu Istana Bogor. Kedua, transportasi ke Kota Bogor dari Jakarta dilayani dengan kereta rel listrik (KRL) yang beroperasi sepanjang hari sampai tengah malam. Dari Sta KA Bogor ke Istana Bogor ditempuh 15-30 menit dengan jalan kaki.

Ketika KA Bandara dari Bandara Soekarno-Hatta beroperasi, maka warga yang akan berurusan ke pemerintahan tinggal naik KA Bandara sambung dengan KRL ke Bogor. Tidak perlu lagi ke Jakarta dengan mobil, taksi atau bus.

Langkah lain yang juga bijaksana adalah menyebarkan kementerian ke seluruh pulau. Kementerian yang terkait dengan kehutanan pindakan ke Pulau Kalimantan. Pertanian ke Pulau Sumatera. Pertambangan ke Pulau Sulawesi atau Papua. Pariwisata ke Bali atau NTB. Dengan cara ini sudah mengurangi beban Jakarta sebagai ibu kota.

Pilihan lain yang juga jitu adalah merelokasi industri ke semua pulau. Industri dengan bahan baku kayu pindahkan ke Pulau Kalimantan. Berbahan baku hasil petanian relokasi ke Sumatera. Yang bahan bakunya hasil perikanan pindahkan ke Sulawesi. Mungkin relokasi berat, bisa dilakukan untuk industri baru.

Memindahkan kegiatan pemerintahan, dalam hal ini kementerian, dan industri ke luar Pulau Jawa membuka lapangan kerja (baru) dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan skala nasional. Nah, kalau hanya dipindahkan ke Kota Palangkaraya tentu yang menikmati pertumbuhan langsung hanya daerah itu saja.

Yang jadi masalah bagi industri tentulah target pemasaran. Jika ini jadi patokan pilihan adalah Pulau Jawa karena jumlah penduduk yang sangat besar yaitu 65 persen dari penduduk nasional. Dari 7 provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia 5 di antaranya ada di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan Jakarta. Dua lagi adalah Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.

Dengan peningkatkan kapasitas tol laut yang digagas oleh Presiden Jokowi tentulah tidak ada lagi masalah untuk pemasaran produk-produk industri. Maka, tidak ada lagi alasan membangun industri di Pulau Jawa karena pasar produk terbesar di Pulau Jawa.

Kalau memindahkan ibu kota hanya karena alasan lahan yang luas dan bebas bencana alam, tentu tidak akan sebanding risikonya dengan deretan masalah baru yang kelak muncul ketika ibu kota dipindahkan (Kompasiana, 8 Mei 2017). *

Tinggalkan Balasan