“Sudah banyak yang dipulangkan.” Ini dikatakan oleh salah seorang petugas di check point di pintu masuk Stasiun KA Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, 31 Mei 2020). Dengan enteng petugas itu mengatakan hal tersebut sambil menunjuk ke arah stasiun tanpa beban moral. Sementara bari orang-orang yang dipulangkan mereka sudah menanggung beban ekonomi dan moral.
Soalnya, banyak warga yang naik KRL ke Rangkasbitung untuk bertemu keluarga. Mereka umumnya pekerja informal di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Sebelum ada KRL mereka kos di sekitar tempat kerja. Tapi, sejak ada KRL Tanah Abang-Rangkasbitung pekerja-pekerja itu memilih pulang pergi. KRL terakhir dari Tanah Abang pukul 21.55 dan KRL pertama dari Rangkasbitung ke Tanah Abang pukul 04.00 tiba di Tanah Abang 05.52 sehingga mereka tidak terlambat ke tempat bekerja.
Dengan kondisi pandemi Viruscorona Disease 2019 (Covid-19) yang membuat Jakarta sebagai zona merah karena banyak kasus Covid-19 sehingga diperlukan persyaratan administrasi jika hendak keluar Jakarta. Jakarta sendiri menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), semacam lockdown (penguncian) lokal. Begitu juga ketika hendak masuk ke wilayah Lebak melalui Sta KA Rangkasbitung biarpun daerah zona hijau diperlukan persyaratan administrasi.
Tidak Ada Informasi di Stasiun KA
Celakanya, persyaratan hanya diinformasikan melalui media massa dan media online. Pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, Pemprov Banten dan Pemkab Lebak merasa yakin semua orang sudah memahami persyaratan dimaksud.
Terlepas dari benar atau tidak anggapan tsb. yang jelas tidak ada pemberitahuan tertulis dan lisan di Stasiun KA Tanah Abang dan di Stasiun KA Rangkasbitung. Kalau saja Pemprov DKI Jakarta, Pemprov Banten dan Pemkab Lebak lebih arif dan bijaksana tentulah dipasang pamflet di Stasiun KA Tanah Abang dan di Stasiun KA Rangkasbitung sehingga calon penumpang bisa berpikir jernih.
Mereka akan mempertimbangkan apakah mau coba atau balik kanan urus surat. Tapi, lagi-lagi tidak ada informasi yang tertempel di Stasiun KA Tanah Abang. Begitu juga dengan PT Kereta Commuter Indonesia yang mengoperasikan KRL sama sekali tidak memberikan informasi tentang persyaratan keluar dari Sta KA Rangkasbitung di masa pandemi Covid-19 ini. Padahal, pos check point itu ada di dalam areal stasiun.
Di kapal terbang selalu ada pemberitahuan tentang situasi di bandar udara (Bandara) yang akan dituju, misalnya mengingatkan penumpang tentang risiko membawa narkotika dan supaya mengisi formulir tentang barang-barang dan jumlah uang yang dibawa. Perusahaan penerbangan tahu persis yang mereka bawa bukan sekedar ‘barang’ atau ‘nomor’, tapi manusia.
“Mana surat keterangan medis.” Ini pertanyaan petugas yang mencatat nama-nama orang yang akan masuk ke Lebak di check point Sta KA Rangkasbitung. Saya bingung karena bukan berobat medis, tapi nonmedis. Saya dihadapkan dengan tentara dan polisi untuk membicarakan masalah yang saya hadapi.
Perjalanan Dinas untuk Urusan Nonmedis
Kesulitan terjadi karena KTP saya Jakarta. Selain itu saya tidak memegang Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) DKI Jakarta. Ada saran supaya saya meminta surat tugas dari perusahaan. Bisa melalui WhatsApp.
Tapi, saya berubah pikiran karena Bu Haji yang akan saya temui di Pandeglang selalu mengatakan kalau mau ‘berobat’ harus jujur dan ikhlas. Saya bisa saja dapat surat tugas peliputan, tapi itu sudah sebuah kebohongan karena saya tidak dalam tugas peliputan berita. Apalagi saya bukan pemeluk agama yang taat akhirnya saya pilih untuk tidak urus surat agar tidak menambah kesalahan duniawi.
Di laman corona.jakarta.go.id tentang syarat mengajukan SIKM hanya ada tiga alasan yaitu surat keterangan:
- perjalanan dinas keluar Jabodetabek (untuk perjalanan sekali);
- surat keterangan bekerja bagi pekerja yang tempat kerjanya berada di luar Jabodetabek (untuk perjalanan berulang); atau
- surat keterangan memiliki usaha di luar Jabodetabek yang diketahui oleh pejabat berwenang (untuk perjalanan berulang)
Apakah saya harus berbohong dengan menyertakan surat perjalanan dinas untuk dapat SIKM untuk menemui Bu Haji? Saya pikir lebih baik menunggu new normal sembari berserah diri kepada-Nya. Selama bulan puasa beberapa kali ada ‘kiriman’ ke badan saya. Pengalaman saya menghadapi santet bisa dilihat dengan pencarian #serial santet di Kompasiana (Kompasiana, 3 Juni 2020).*