“Diharapkan, Indonesia akan bebas HIV/AIDS di tahun 2030, yaitu tidak ada infeksi HIV baru, tidak ada kematian akibat AIDS, dan tidak ada stigma atau diskriminasi (three zeros).” Ini pernyataan dalam berita “Menuju Indonesia Bebas HIV/AIDS 2030, Apa Strategi yang Disiapkan?” di IDN TIMES, 3 Desember 2020.
Penyebutan ‘tidak ada infeksi HIV baru’ di Indonesia tahun 2030 adalah mimpi di siang bolong karena adalah hal yang mustahil menghentikan infeksi HIV baru, yaitu:
Pertama, tidak ada vaksin anti-HIV sehingga tetap ada risiko tertular HIV terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah;
Kedua, tidak mungkin mengawasi perilaku seksual berisiko setiap orang sepanjang hari karena perilaku seksual ada di ranah privat;
Ketiga, tidak ada peran serta aktif masyarakat untuk menghindari perilaku-perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS;
Keempat, materi KIE (komunikasi, informs dan edukasi) HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama yang membuat fakta medis HIV/AIDS hilang sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah), dan
Kelima, pemerintah tidak mempunyai strategi yang konkret berupa langkah untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, serta melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
Laporan terakhir Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2020 sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.
Sedangkan estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000 (aidsdatahub.org). Itu artinya ada 102.270 warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) tapi tidak terdeteksi.
Mereka inilah (102.270 warga) yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.
Perilaku berisiko tertular HIV/AIDS melalui PSK langsung tidak bisa diintervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir. Begitu juga dengan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS melalui PSK tidak langsung juga tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi dengan berbagai modus melalui jaringan media sosial.
Dalam berita “Menuju Indonesia Bebas HIV/AIDS 2030, Apa Strategi yang Disiapkan?” sama sekali tidak ada langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Ada tiga cara yang disebutkan dalam berita, tapi itu semua hanya di awang-awang karena tidak menukik ke akar persoalan yaitu menurunkan menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Seperti strategi 1 disebut tetap menjalankan upaya edukasi dan pencegahan dari HIV/AIDS. Edukasi HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan materi KIE yang hanya bermuatan moral sehingga masyarakat tidak mengetahui cara-cara yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Begitu juga pada strategi 2 yaitu pendidikan seks perlu ditanamkan sejak dini untuk memupuk rasa tanggung jawab. Materi informasi tentang pendidikan seks hanya mengumbar moral, seperti jangan melakukan hubungan seksual sebelum menikah, jangan berzina, dst. Ini mitos karena tidak ada kaitannya dengan penularan HIV/AIDS.
Hal yang sama pada strategi 3 yaitu bagaimana cara memahami kesehatan seksual dan reproduksi dengan mudah? Adalah hal yang mustahil memahami kesehatan seksual dan reproduksi kalau informasi yang disampaikan hanya mitos.
Padahal, Thailand berhasil menanggulangi HIV/AIDS karena peran media, dalam hal ini media massa, yang menyebarluaskan KIE tentang HIV/AIDS dengan informasi yang akurat sesuai dengan fakta medis.
Sebaliknya di Indonesia media massa nyaris tidak membantu penanggulangan karena banyak media yang menulis berita yang menyesatkan tentang HIV/AIDS. Banyak berita yang tidak mengedepankan fakta medis, tapi mengumbar mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Kondisinya kian runyam karena pemerintah dan banyak kalangan yang menyuburkan mitos yang menghambat penanggulangan HIV/AIDS.
Maka, apakah Indonesia bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, dalam 9 tahun ke depan? Tanpa program yang konkret itu hanya mimpi (Kompasiana, 4 Desember 2020). *