Beberapa tahun belakangan ini muncul pernyataan yang disebut tiga nol (Getting To 3 Zero), yaitu: tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian akibat AIDS, dan tidak ada stigma dan diskriminasi.
Yang jadi persoalan besar adalah tidak ada langkah-langkah penanggulangan untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru.
Celakanya, media pun sama sekali tidak memberikan pencerahan karena hanya mengutip pernyataan berbagai kalangan tentang 3 Zero itu dengan judul berita beberapa daerah dan Indonesia akan bebas HIV/AIDS tahun 2030.
Berita-berita tentang ‘bebas AIDS’ itu pun dari kaca mata jurnalistik hanya sekelas talking news karena tidak ada fakta empiris dan realitas sosial yang mendukung pernyataan-pernyataan tersebut.
Ini beberapa judul berita terkait dengan ‘Indonesia Bebas AIDS 2030’ bombastis dan sensasional, tapi tanpa langkah konkret (urutan berdasarkan tahun publikasi):
- Menkes Optimistis, Tahun 2030 Indonesia Bebas HIV/AIDS (liputan6.com, 5/8-2014)
- Epidemi AIDS Bisa Berakhir Pada Tahun 2030 (promkes.kemkes.go.id, 19/12-2014)
- PBB Canangkan Bebas AIDS Tahun 2030 (voaindonesia.com, 9/6-2016)
- Indonesia Bebas HIV AIDS di 2030 Bila Semangat Lakukan Upaya Preventif (fimela.com, 29/11-2017)
- Gubernur Jabar Tanda Tangani Deklarasi Bandung: Mengakhiri Epidemi HIV AIDS di Indonesia Tahun 2030 (bappeda.jabarprov.go.id, 29/11-2019)
- 2030, Kota Padang Ditargetkan Bebas HIV/AIDS (infopublik.id, 23/1-2020)
- 2030, Jakarta Ditargetkan Bebas HIV-AIDS (beritasatu.com, 11/2-2020)
- Jakarta Targetkan Bebas HIV/AIDS pada 2030 (metro.tempo.co, 12/2-2020)
- Jakarta Targetkan Bebas HIV/AIDS 2030 (republika.co.id, 12/2-2020)
- Menuju Indonesia Bebas AIDS 2030 (kemenkopmk.go.id, 7/3-2020)
- Menuju Indonesia Bebas Infeksi Baru HIV/AIDS 2030, Peran WPA Kelurahan Perlu Dioptimalkan (rri.co.id, 1/12-2020)
- Hari AIDS Internasional: Kemenkes Targetkan Indonesia Bebas HIV AIDS di 2030 (jakpusnews.pikiran-rakyat.com, 1/12-2020)
- Tahun 2030, Pemkab Solok Targetkan Bebas AIDS (gatra.com, 2/12-2020)
- Menuju Indonesia Bebas HIV/AIDS 2030, Apa Strategi yang Disiapkan? (idntimes.com, 3/12-2020)
- Sinergikan Langkah Menuju Three Zero HIV AIDS Pada 2030 (kominfo.kulonprogokab.go.id, 3/12-2020)
Tidak ada langkah yang konkret disampaikan dalam berita-berita tersebut. Lagi pula yang bisa dilakukan secara bertahap adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.
Program yang dijalankan, dalam hal ini di Indonesia, hanya di hilir, seperti tes HIV untuk kalangan dengan perilaku seksual berisiko, tes HIV ibu hamil, tes HIV calon pengantin dan pemberian obat antiretroviral (ARV).
Ini jelas di hilir karena yang ditanggulangi adalah orang-orang yang sudah tertular HIV atau orang-orang yang sudah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
- Insiden Infeksi HIV Baru
Yang diperlukan adalah langkah konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.
Thailand, misalnya, berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui program “wajib kondom 100 persen” bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Program ini bisa efektif jika praktik PSK dilokalisir.
Di awal tahun 1990-an Thailand mencatat kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.000. Negara Gajah Putih itu bisa menurunkan kasus baru dengan indikator penurunan jumlah calon taruna militer yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Sampai akhir tahun 2020 kasus HIV/AIDS secara global dilaporkan oleh UNAIDS tercatat 37,7 juta warga dunia hidup dengan HIV/AIDS dengan 668.000 kematian terkait HIV/AIDS di tahun 2020, serta 1,5 juta infeksi HIV baru.
Sedangkan di Indonesia seperti Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2 Februari 2021, sejak tahun 1987 sampai Desember 2020 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS adalah 549.291 yang terdiri atas 419.551 HIV dan 129.740 AIDS.
Paling tidak ada lima pintu masuk HIV/AIDS melalui hubungan seksual yang disebut sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;
Pertanyaannya: Apakah ada cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku nomor 1 ini? Tidak ada! Perilaku (1) ini bersifat pribadi.
(2). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;
Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku (2) ini? Tidak ada! Perilaku (2) ini bersifat pribadi.
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan
(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.
Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku (3) ini?
Untuk perilaku (3) a jelas tidak bisa dilakukan intervensi untuk PSK langsung karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Begitu juga dengan perilaku (3) b? Jelas tidak bisa dilakukan intervensi untuk PSK tidak langsung karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu melalui media sosial.
- Mendeteksi Kasus HIV/AIDS di Masyarakat
(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan waria.
Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa waria menempong atau menganal).
Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku (4) ini?
Jelas tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
(5). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti.
Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku (5) ini?
Jelas tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Sedangkan pada perempuan ada juga beberapa perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(a). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS;
(b). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam atau di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS;
(c). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom) dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS.
(d). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (waria tidak memakai kondom) dengan waria. Dalam prakteknya waria ada yang heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan.
Pertanyaannya adalah: Apakah ada langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mencegah perilaku berisiko nomor a sd. d di atas? Jelas tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Tentu saja tidak ada langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mencegah penularan pada perilaku seksual berisiko laki-laki dan perempuan di atas. Itu artinya insiden infeksi HIV di masyarakat akan terus terjadi.
Orang-orang yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat (horizontal) terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas HIV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS.
Langkah di hulu mustahil dilakukan di Indonesia karena praktik PSK tidak dilokalisir. Yang bisa dilakukan adalah menemukan kasus HIV/AIDS di masyarakat dengan cara-cara yang tidak melawan hukum serta tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Misalnya, membuat peraturan dengan kekuatan hukum (UU atau Perda) yang mewajibkan suami perempuan hamil menjalani konseling HIV/AIDS untuk selanjutnya menjalani tes HIV. Selain itu mewajibkan penderita IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah (GO/gonorrhoea), sifilis (raja singa), trikomoniasis, virus hepatitis B, virus kanker serviks, dll.) dan pasien TB menjalani tes HIV di fasilitas kesehatan pemerintah.
Jika tidak ada langkah-langkah yang konkret di hulu, maka mustahil dan hanya merupakan bualan belaka bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan bebas infeksi HIV baru.
Yang terjadi justru bisa sebaliknya yaitu ‘ledakan AIDS’ yang bisa saja Indonesia jadi ‘Afrika Kedua’ (Dari berbagai sumber). *