Dunia hanya mengenal dua daerah tujuan wisata (DTW) utama di Indonesia, yaitu Yogyakarta dan Bali.
Ini terjadi karena pariwisata (tourism) berbeda dengan darmawisata, piknik, melancong, rekreasi, tamasya, dll. Pariwisata erat kaitannya dengan kehidupan riil yaitu perpaduan di realitas sosial pada social settings, al. ciri khas bangsa, budaya dan agama merupakan bagian yang menyatu dengan kehidupan keseharian. Ciri-ciri khas itu tidak menimbulkan gejolak sosial dengan pendatang.
Kita tidak bisa melihat ’orang Aceh’ nun di Banda Aceh. Bahkan, di Pulau Samosir sekalipun kita tidak bisa melihat ’orang Batak’ di daerah yang disebut-sebut sebagai asal muasal orang Batak.
Bandingkan dengan Yogyakarta yang selalu diwarnai dengan kehidupan ’orang Jawa’, misalnya, cara bertutur-sapa, pekaian dll. Hal yang sama terjadi di Bali. ”Orang Bali’ selalu ada sepanjang hari dengan pakaian yang khas: kain sarung kotak-kotak dan penutup kepala serta kembang di telinga.
Di Tanah Papua memang kita bisa melihat ’orang Papua’, tapi kita tidak bisa melihat kehidupan ’orang Papua’ di social settings.
Begitu pula dengan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, ‘orang Toraja’ hanya bisa dilihat ketika upacara kematian yang disebut ‘rambu solo’. Selebihnya kita tidak bisa melihat ’orang Toraja’ di Tana Toraja.
Jika dikaitkan dengan pariwisata, maka Yogyakarta dan Bali selalu menyuguhkan berbagai kegiatan seni, terutama yang menyangkut pertunjukan, secara rutin dan teragenda.
Bandingkan dengan daerah lain dengan pertunjukan seni yang tidak teragenda dan tidak bisa dilihat setiap hari.
Lombok pernah mempromosikan diri sebagai ’Bali and the Beyond’ dengan tagline: “You can see Bali in Lombok but You can not see Lombok in Bali”. Sayang, tidak ada sarana dan prasarana yang mendukung. Bahkan, Pemkot Mataram melarang wisatawan, terutama perempuan, memakai celana pendek dan rok mini.
Maka, wisatawan mancanegara yang mendarat di Bandara Ampenan, Mataram, sebelum ada bandara baru, langsung ke pantai Senggigi. Begitu pula dengan wisatawan yang menyeberang dari Pelabuhan Padang Bai di Bali ke Pelabuhan Lembar di Lombok. Begitu mendarat mereka langsung ke Senggigi. Maka, tidaklah mengherankan kalau Kota Mataram sudah sepi sejak magrib. Sebaliknya, suasana di Senggigi tidak kalah ramainya dengan suasana di Pantai Kuta, Bali.
“Aduh, susah, Pak,” kata seorang perajin di kios cinderamata dekat mal di Kota Mataram. Rupanya, yang datang membeli hanya wisatawan lokal dan nusantara yang membeli barang dagangan mereka. Tentu sangat tergantung dengan musim. Bahkan, benda-benda seni, seperti patung, sangat jarang dibeli oleh wisatawan nusantara.
Berbeda dengan wisatawan mancanegara yang justru mencari benda-benda seni. Mereka juga datang tidak tergantung musim karena sepanjang tahun ada saja turus dari luar negeri yang mendarat di Yogyakarta dan Bali.
Jika Malaysia berhasil menawarkan diri sebagai ‘Truly ASIA’ tentulah amat disayangkan karena seni pertunjukan mereka tidak khas. Begitu pula dengan kuliner dan barang-barang seni. Semua negara di Asean mempunyai slogan yang khas (Lihat Tabel).
Slogan Pariwisata Negara-negara ASEAN (Dok Syaiful W. Harahap)
Tidak ada yang ditawarkan itu merupakan ‘truly’ Malaysia karena semua merupakan penjelmaan dari ragam seni dan budaya negara-negara Asia.
Semua yang ada di Asia ada di Indonesia, bahkan yang ada di Indonesia tidak ada di negara lain, seperti candi dan peninggalan sejarah lain yang bernilai seni tinggi.
Alam Nusantara merupakan bentangan alam dengan pernak-pernik kekayaan alam, kehidupan sosial masyarakat dan seni pertunjukan di sepanjang Khatulistiwa. Tidak ada negara yang membentang selebar wilayah Nusantara.
Gambaran itu merupakan landscape (bentang darat, pemandangan) yang membahana bagi dunia jika dikemas dengan kekuatan moral yang tidak akan diganggu oleh kepentingan kelompok dan golongan.
Untuk itulah pemerintah harus bertindak menjaga kekayaan alam, sosial dan budaya yang sudah menjadi batu manikam di Nusantara (17.504 pulau) yang membentang di garis Equator (KBBI: garis khayal yg merupakan lingkaran terbesar mengelilingi bumi; garis yg ditarik pd peta bumi untuk menggambarkan titik-titik yg sama jaraknya dr kutub utara ke kutub selatan; khatulistiwa) dari 95°’ Bujur Timur sampai 141°45′ Bujur Timur dan diapit oleh garis lintang mulai dari 6° Lintang Utara sampai 11°08′ Lintang Selatan.
Dengan branding (penanda) “Indonesia, ASIA Landscape” memberikan gambaran kepada dunia bahwa Asia ada di Indonesia, tapi Indonesia tidak ada di negara-negara Asia lain.
Tentu saja diperlukan kerja keras untuk membahanakan “ASIA Landscape” secara internasional (Kompasiana, 29 Agustus 2013). *