Daftar Menu dan Harga Penting dalam Pariwisata

Wisata48 Dilihat

Petikan gitar pengamen di depan gerobak makanan di trotoar Pasar Beringharjo, ujung selatan Malioboro, Yogyakarta (24/7-2018, pukul 18.30), yang hingar bingar membuat cewek bule itu mendekatkan wajah ke pelayan.

Di depan pasar yang sejak 11 April 2018 buka di malam hari ada beragam minuman dan makanan khas Yogyakarta. Untuk memuaskan rasa lapar penulis bersama anak, Putri, memilih gerobak tadi dan memilih nasi gudeg krecek seharga Rp 10.000 seperti tertera di daftar menu dan harga.

“Apakah menu dan harga makanan ini seperti yang tertera di spanduk?” kata cewek bule itu sambil menunjuk spanduk kecil yang berisi daftar menu dan harga. Setelah dapat jawaban pasti si bule pun menganggukkan kepala.

Pelayan menyendok nasi ke piring dan bertanya ke cewek bule itu apa saja lauknya. Cewek bule menunjuk oseng tempe, sayuran, tempe, dll. Dengan pilihan yang beragam itu harga nasi dan lauk Rp 18.000.

“Itu memang perlu,” kata seorang perempuan setengah baya tentang daftar menu dan harga yang jelas. Perempuan itu mengaku pernah ditipu di Lombok. Harga makanan yang dia bayar jauh lebih mahal dengan harga di Jakarta.

Pemkot Yogyakarta sendiri sudah beberapa kali memberikan sanksi kepada pedagang minuman dan makanan di trotoar Malioboro yang nuthuk yaitu menaikkan harga yang tidak wajar. Sebuah warung lesehan bernama “Intan” yang mematok harga makanan Rp 400.000 ditutup dua hari (detiknews, 30/6-2017).

Langkah Pemkot Yogyakarta itu perlu diikuti oleh pemerintah daerah lain, terutama yang dijadikan daerah tujuan wisata (DTW). Di Banten, misalnya, pernah muncul keluhan di media sosial tentang harga yang ‘main pukul’. Makanan seafood dihargai Rp 1 juta

Baca juga: Jangan Tipu Lagi Wisatawan dengan Harga yang Tidak Pasti

Sayang, beberapa warung lesehan di sepanjang trotoar Malioboro masih ada yang membuat daftar menu dan harga dalam ukuran kecil. Ada baiknya Pemkot Yogyakarta, dalam hal ini Dinas Pariwisata, membuat standar ukuran huruf dan besar daftar menu dan harga.

Harga dan tarif jasa erat kaitannya dengan pariwisata sehingga perlu ada regulasi dengan sanksi yang keras karena ada pepatah “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Artinya, sekali saja orang ditipu dan tertipu maka akan selamanya orang, dalam hal ini wisatawan, tidak percaya lagi. Apalagi bule informasi buruk atau negatif akan cepat menyebar sehingga jadi pertimbangan bagi wisatawan.

Dalam bahasa lain ‘nuthuk’ adalah sikap buruk yang tidak mendukung pariwisata karena hal itu bertentangan dengan keramahan.

Baca juga: Pariwisata, Adakah “Hospitality” di Danau Toba dan DTW Lain Selain di Bali dan Yogyakarta?

Selain harga yang sering jadi keluhan wisatawan dalam dan luar negeri adalah keamanan. Belum lama ini ada wisatawan Perancis, inisial MB, 22 tahun, yang diperkosa pemandu wisata lepas (KAP, 35 tahun) di Labuan Bajo, NTT (12/6-2018). Ini jelas kabar buruk preseden buruk bagi (promosi) wisata Indonesia di dunia. KPA ditangkap polisi (kompas.com, 22/6-2018). Ada baiknya hukuman bagi KAP tidak sekedar kasus perkosaan tapi ada pemberatan yaitu merusak citra pariwisata nasional.

Biar pun pemerintah terus mendorong DTW baru, selama pemerintah daerah dan masyarakat tidak siap maka hasil yang dicapai pun nol besar. Itu artinya perlu juga dikaji kesiapan daerah-daerah baru yang dijadikan DTW.

Baca juga: Menguji Kesiapan DTW “Beyond Bali” dan “Bali and The Beyond”

Pariwisata adalah sektor perekonomian yang tidak terpengaruh resesi global. Itu artinya pemerintah daerah harus belajar banyak dari Yogyakarta dan Bali tentang harga, pelayanan dan tentu saja ‘hospitality’ (Kompasiana, 24 Juli 2018).

* Jakal Km 5.6 Yogyakarta, 24/7-2018

Tinggalkan Balasan