Biarpun objek pariwisata tersebar di bumi Nusantara, tapi dunia hanya mengenal dua daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia, yaitu Yogyakarta dan Bali.
Kekayaan alam, sosial, dan budaya di Nusantara yang membentang di garis Equator dengan 17.504 pulau merupakan aset sebagai objek wisata yang potensial.
Tapi, mengapa hanya dua daerah yang menjadi DTW utama?
Itu terjadi karena pariwisata (tourism) berbeda dengan darmawisata, piknik, melancong, rekreasi, tamasya, liburan, dll.
Pariwisata erat kaitannya dengan objek wisata yang menampilkan kehidupan ril di realitas sosial pada social settings, al. ciri khas bangsa, budaya dan agama merupakan bagian yang menyatu dengan kehidupan keseharian.
Ciri-ciri khas tsb. tidak menimbulkan gejolak sosial secara horizontal antar penduduk, pendatang dan wisatawan.
Beberapa daerah yang potensial jadi DTW justru membuat aturan yang membatasi wisata(wan). Seperti di Kota Mataram, Pulau Lombok, NTB, wisatawan (asing) dilarang memakai pakaian yang memperlihatkan aurat (KBBI: bagian badan yg tidak boleh kelihatan menurut hukum Islam).
Akibatnya, biar pun Pulau Lombok pernah mempromosikan diri sebagai ’Bali and the Beyond’ dengan tagline: “You can see Bali in Lombok but You can not see Lombok in Bali”, tapi ada pembatasan yang justru mengekang aktivitas wisatawan.
Maka, wisatawan mancanegara yang mendarat di Bandara Lombok dan turun dari feri di Pelabuhan Lembar dari P Bali langsung ke pantai Senggigi. Lepas magrib Kota Mataram sudah sepi. Suasana ini berbeda dengan di Senggigi yang tidak kalah ramai dengan suasana di Pantai Kuta, Bali.
Seorang perajin di kios cinderamata dekat mal di pusat Kota Mataram mengeluh karena tidak ada wisatawan asing yang mampir ke sanggarnya. Benda-benda seni, seperti patung, sangat jarang dibeli oleh wisatawan nusantara karena mereka hanya mencari T-Shirt dan perhiasan.
Salah satu kelemahan DTW di Indonesia, selain Yogyakarta dan Bali, adalah kita tidak bisa melihat orang Aceh di Banda Aceh, orang Batak di Pulau Samosir, dan orang Sasak di Lombok.
Memasarkan tujuan-tujuan wisata di Indonesia melalui internet, seperti di situs Indonesia Travel, ke seluruh dunia merupakan salah satu langkah yang tepat di era globalisasi ini.
Memang, ada beberapa daerah yang menampilkan kehidupan ril keseharian, seperti Dayak di Kalimantan, Tengger di Jatim, dll. Tapi, ini ada di tempat yang sangat khusus sedangkan pariwisata adalah tempat yang menyatu dengan kehidupan perkotaan yang bisa dijangkau dengan akses transportasi umum yang murah.
Coba lihat di Yogyakarta yang selalu diwarnai dengan kehidupan orang Jawa, misalnya, cara bertutur-sapa, pekaian, dll. Hal yang sama terjadi di Bali. Orang Bali selalu ada sepanjang hari dengan pakaian yang khas: kain sarung kotak-kotak dan penutup kepala serta kembang di telinga.
Di Tanah Papua memang kita bisa melihat orang Papua, tapi kita tidak bisa melihat kehidupan orang Papua di social settings.
Begitu pula dengan di Tana Toraja, Sulsel, orang Toraja hanya bisa dilihat ketika upacara kematian yang disebut rambu solo. Selebihnya kita tidak bisa melihat orang Toraja di Tana Toraja.
Jika dikaitkan dengan pariwisata, maka Yogyakarta dan Bali selalu menyuguhkan berbagai kegiatan seni, terutama yang menyangkut pertunjukan, secara rutin dan teragenda setiap hari.
Bandingkan dengan daerah lain yang tidak mempunyai jadwal tetap untuk pertunjukan seni.
Untuk itulah daerah yang mempunyai potensi wisata tapi tidak menjadi DTW utama mengembangkan kehidupan lokal, misalnya, menyediakan daerah-daerah yang khas dengan seni pertunjukan rutin dan terjadwal, barang-barang cenderamata yang khas, serta kuliner yang sehat.
Banyak objek wisata di Indonesia justru tidak ada di negara lain, seperti candi, suku-suku asli, dll. Tapi, kita kalah bersaing dengan Malaysia yang menyebut diri sebagai ”Truly Asia” yang bisa mendatangkan 20 jutaan wisatawan mancanegara. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya dikunjungi 8 jutaan wisatawan mancanegara. Padahal, di Malaysia tidak ada objek wisata yang khas Asia, seperti candi.
Melestarikan pernak-pernik kekayaan alam, kehidupan sosial, budaya, masyarakat asli, dan seni pertunjukan merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai ”ASIA Landscape”.
Dengan branding (penanda) “Indonesia, ASIA Landscape” memberikan gambaran nyata kepada dunia bahwa “Asia ada di Indonesia, tapi Indonesia tidak ada di semua negara Asia” (Kompasiana, 16 Desember 2013). *
1 komentar