Pemerintah Tidak Bisa Memutus Mata Rantai Penyebaran Covid-19

Edukasi47 Dilihat

Upaya penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah tidak akan pernah berhasil karena yang bisa putus rantai penyebaran hanya masyarakat.

Laporan kasus harian baru Covid-19 tanggal 18 Juni 2021 sebanyak 12.990 (Twitter @BNPB_Indonesia). Dengan tambahan kasus baru ini, maka jumlah kumulatif kasus sejak 3 Maret 2020 mencapai 1.963.266 dengan 54.043 kematian. Jumlah kasus ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-18 dunia dari 220 negara dan teritori yang melaporkan kasus Covid-19 ke situs independen, worldometer.

Beberapa negara yang diawal pandemi dipuja-puji bisa hadang penyebaran Covid-19, seperti Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Taiwan, Vietnam, Jepang, Australia dan Selandia Baru sekarang kelabakan menghadapi pandemi.

Pemerintah negara-negara itu menutup perbatasan, menghentikan penerbangan dari beberapa negara dan ada yang melarang penerbangan dari semua negara. Australia, misalnya, melarang warganya yang berada di luar negeri sejak pandemi kembali ke Australia.

Langkah itu merupakan upaya pemerintah yang tegas, tapi di negara-negara lain, termasuk Indonesia, pembatasan ditentang. Lagi pula fakta menunjukkan penyebaran lokal tetap terjadi antar penduduk.

Selama ini ada hal yang luput dari perhatian, bahkan sebagian besar media pun abai, yaitu bahwa mata rantai penyebaran virus corona (Covid-19) tidak bisa diputus atau dihentikan pemerintah. Ini fakta.

  1. Tes Covid Bukan Vaksin

Pemerintah hanya bisa sebatas membuat regulasi mencegah penyebaran virus di area atau ruang publik (public sphere), seperti pembatasan jumlah pengunjung mal, melarang kerumunan, dll. Selain itu pemerintah menerapkan protokol kesehatan (Prokes) yang dikenal sebagai 3M (selalu memakai masker, menjaga jarak fisik, dan sering mencuci tangan dengan sabun di air yang mengalir).

Memang, ada sanksi hukum bagi pelanggar Prokes. Tapi, sanksi hanya bisa diterapkan di ruang publik. Di ruang publik pun jelas pemerintah tidak bisa mengawasi orang per orang. Adalah hal yang mustahil petugas, baik anggota TNI, polisi dan anggota Satpol PP mengikuti setiap orang yang melakukan kegiatan di ruang publik.

Dalam sebuah perjalan dari Rangkasbitung (Banten) ke Tanah Abang (Jakarta Pusat) dengan KRL, misalnya, Satpam sudah berkali-kali mengingatkan beberapa pria untuk tidak saling berbicara secara langsung, bahkan kursi panjang yang hanya boleh diduduki 4, tapi mereka berlima duduk berhimpitan.

Bertolak dari pengalaman pasca libur panjang nasional dan libur keagamaan tahun yang lalu pemerintah memperketat arus mudik pada Lebaran tahun 2021 ini. Tapi, tetap saja tidak berhasil karena berbagai macam faktor.

Baca juga: Hanya Masyarakat Bisa Putus Rantai Penularan Corona

Misalnya, pemudik mencari jalan alternatif. Selain itu hasil tes negatif Covid-19 juga tidak jaminan karena tes Covid-19 bukan vaksin. Artinya, orang-orang dengan hasil tes Covid-19 yang negatif bisa saja tertular virus corona jika tidak menerapkan Prokes.

Gambar: Risiko tertular Covid-19 setelah tes Covid-19 dengan hasil negatif (Diolah: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Masalahnya jadi ruwet karena ada rentang waktu 14 hari dari terpapar baru ada gejala yang bisa menunjukkan infeksi Covid-19 yang dikenal sebagai OTG yaitu Orang (dengan Covid-19) Tanpa Gejala.

Virus corona sudah ada dalam tubuh. Biarpun tidak ada gejala OTG sudah bisa menularkan virus corona ke orang lain melalui droplet yang keluar dari mulut ketika berbicara, bersin atau batuk.

Sejak pandemi Covid-19 diakui di Indonesia, 3 Maret 2021, pemerintah sudah menjalankan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan dilanjutkan dengan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan masyarakat) dengan berbagai skala. Tapi, ini jelas tidak efektif karena masyarakat tidak mendukungnya dengan sepenuh hati.

Banyak juga kalangan yang mencibir dan menentang PSBB serta PPKM dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Ironisnya, mereka justru mematuhi aturan pembatasan yang dilakukan oleh negara lain. 

  1. Ranah Privat

Tracing yang sangat rendah di Indonesia meningkatkan risiko penyebaran virus corona. China, misalnya, jika ada warga yang terdeteksi positif Covid-19, maka kota atau wilayah tempat tinggal orang yang terdeteksi positif Covid-19 diblokir. Semua warga jalain tes Covid-19. Ini langkah yang efektif untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Laporan situs independen, worldometer, sampai tanggal 18 Juni 2021 jumlah kasus Covid-19 di China mencapai 91.534 dengan 4.636 kematian. Dengan jumlah ini China ada di peringkat ke-99 dunia.

Apakah di Indonesia dilakukan hal itu? Jelas jawabannya: Tidak!

Amerika Serikat (AS) yang pernah jadi episentrum dengan kasus harian tertinggi 305.062 tanggal 8 Januari 2021 berkat tes massal dan vaksinasi yang masif (sangat luas) kasus harian hanya belasan ribu.

Laporan situs independen, worldometer, sampai tanggal 18 Juni 2021 AS sudah melakukan 498.230.075 tes. Jumlah penduduk AS sebanyak 332.870.823. Begitu juga dengan India yang juga jadi ‘neraka’ pandemi Covid-19 dengan laporan harian tertinggi 414.433 pada tanggal 6 Mei 2021, sekarang kasus harian di bawah 100.000. India sudah lakukan 387.167.696 tes. Jumlah penduduk 1.393.049.733.

Sedangkan Indonesia baru lakukan 12.344.139 tes (Twitter @BNPB_Indonesia). Jumlah penduduk Indonesia 276.304.056.

Baca juga: Pemerintah Sangat Terlambat Menangani Wabah Covid-19

Di ranah publik saja pemerintah tidak bisa menjaga langsung penerapan Prokes orang per orang sehingga tidak bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Apalagi di ranah privat. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari kegiatan tidak hanya di ruang publik. Warga ada di rumah, di lingkungan, bekerja di kantor, kerja di pabrik, losmen, hotel, toko, warung dan lain-lain yang sudah masuk ranah privat yang mustahil dijangkau langsung oleh aparat penegak hukum atau anggota Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19.

Maka, yang bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19 adalah masyarakat, dalam hal ini orang per orang yaitu warga, dengan menerapkan Prokes yang ketat dan konsisten (tagar.id, 19 Juni 2021). *

Tinggalkan Balasan

1 komentar