Jam di ponsel menunjukkan pukul 01.30 WITA.
Ponsel berdering. Balikpapan, Kaltim, 3 November 2007.
Ponsel saya angkat: ”Pak, Bapak di mana? Bawa “X” (nama putri saya), nggak?”
Itulah tulisan berupa SMS yang muncul di layar ponsel saya. Pesan itu dari Pak Ajie di Cilegon, Banten, salah ’orang pintar’ yang mengobati saya dan putri saya terkait dengan penetapan tumbal dan kiriman santet.
Busyet. Kok dini hari gini tanya anak saya?
Ada apa?
Anak saya memang tidak ikut karena dia sekolah. Kalau dia libur selalu saya bawa karena selalu saja ada kejadian di rumah yang membuat saya khawatir. Waktu itu dia di SMA.
Tidak berapa lama ada telepon masuk ke ponsel saya. Ternyata dari rumah kontrakan di bilangan Petak Panjang, Pisangan Lama III, Jakarta Timur.
”Pak, kami takut, Pak.” Itulah suara pertama yang saya dengar.
Suara itu suara salah seorang pembantu di rumah. Rupanya, mereka bertiga sudah bangun sejak pukul 00.00 WIB, atau pukul 01.00 WITA di Balikpapan, dan saling berpelukan.
Mereka bertiga menangis.
Ada apa?
“Ada kiriman, Pak,” kata Pak Ajie.
Astaga, lagi-lagi ulah dukun santet yang dibayar oleh kerabat yang memelihara buto ijo untuk pesugihan. Soalnya, perjanjian dengan buto ijo tumbal harus diserahkan bulan Muharram atau paling lambat maulid.
Itulah sebabnya kiriman gencar dan mengutus ’dua (sosok) perempuan’ untuk memasukkan benda-benda ke tubuh saya.
Sebelum berangkat ke Balikpapan saya menitipkan anak dan pembantu kepada Bu RT. Beberapa hari kemudian saya kembali ke rumah, ”Ya, saya lihat ada dua sosok memakai baju putih seperti pakai jilbab di depan rumah Bapak,” kata Bu RT. Itu kira-kira pukul 23.30. Bu RT sengaja melongok ke kontrakan saya untuk memastikan semuanya baik-baik. Karena dua sosok itu persis seperti perempuan yang sedang berdiri, Bu RT tidak mendatangi sosok itu.
”Saya pikir tamu ke Bu Ustazah,” kata Bu RT tentang dua sosok perempuan itu. Rumah kontrakan saya bersebelahan dengan rumah seorang ustazah.
”Ya, itu dia, Pak,” kata Pak Ajie lagi tentang sosok itu yang merupakan jelmaan itu. Makhluk itu dikirim untuk menaburkan benda-benda tajam yang akan menyerang saya secara langsung.
”Di loteng ada suara kaki berjalan-jalan, Pak,” kata pembantu tadi. Rupanya, makhluk itu mencari keberadaan saya di rumah sehingga di loteng makhluk itu hilir mudik di atas gantungan pakaian di kamar ke lemari pakaian di ruang depan.
Mendengar suara kaki itu pastilah loteng yang terbuat dari tripleks itu akan jebol. Tapi, karena makhluk halus maka tidak ada bekas pijakan di loteng.
Saya meminta Pak Ajie mengusir makhluk di loteng dan sosok perempuan di depan pintu.
Alhamdulillah. Satu jam kemudian putri saya menelepon mengatakan tidak ada lagi suara-suara kaki yang hilir mudik di loteng. Mereka bertiga kembali tidur. Semua lampu dinyalakan.
Beberapa benda yang semula ditujukan kepada saya ditarik oleh Pak Ajie ke Cilegon (Kompasiana, 7 September 2013). *