Bali merupakan surga bagi wisatawan mancanegara, terutama dari Australia, tapi isu kriminalisasi zina menggegerkan yang berdampak buruk bagi (pariwisata) Bali.
Kehidupan di Bali yang nyaman bagi penduduk, pendatang dan wisatawan baik wisatawan nusantara (Wisnu) dan wisatawan mancanegara (Wisman) tiba-tiba geger ketika Cawapres Nomor Urut 2 Sandiaga Uno ingin mengembangkan pariwisata halal di Bali. Sandiaga menyampaikan hal itu ketika kampanye Pilpres 2019 di Bali, pada Minggu, 24 Februari 2019.
Kegemparan kembali menghantam pariwisata Bali karena kriminalisasi zina yang jadi salah satu pasal pada Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yaitu:
Pasal 417 “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II”, dan
Pasal 419 “Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Denda di sini Rp 10 juta.
Memang, Pasal 417 adalah delik aduan. Artinya, pengaduan ke polisi dilakukan oleh warga yang ada relasi dengan pasangan yang diduga melakukan persetubuhan yang bukan suami istri.
Baca juga: FTV di “SCTV” yang Merusak Citra Pariwisata Yogyakarta
Tapi, selama ini polisi dan Satpol PP sangat rajin melakukan razia ‘pekat’ (penyakit masyarakat) dengan menggedor kamar-kamar penginapan, losmen dan hotel melati mencari pasangan yang bukan suami-istri. Padahal, tidak ada pengaduan.
Yang tidak masuk akal polisi dan Satpol PP hanya menggerebek kamar-kamar penginapan, losmen dan hotel melati, sedangkan hotel berbintang tidak pernah mereka razia.
Lagi pula kalau razia dilakukan karena ada pengaduan, maka yang digedor hanya kamar yang diduga ditempati oleh pasangan yang dilaporkan bukan semua kamar di penginapan, losmen dan hotel melati tsb. Tapi, yang terjadi adalah tanpa ada pengaduan polisi dan Satpol PP ‘dibantu’ pula oleh wartawan menggedor semua kamar di penginapan, losmen dan hotel melati.
Kondisi itulah yang membuat banyak kalangan ketakutan, terutama Wisman. Jika RKUHP disahkan, maka seks konsensual antara orang dewasa yang tidak dalam ikatan pernikahan akan jadi kejahatan dengan sanksi pidana penjara. Begitu juga dengan pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan akan diganjar dengan hukuman kurungan di balik jeruji besi.
Media di Australia dan Inggris menulis berita terkait dengan pasal kriminalisasi zina dan risiko yang akan dihadapi oleh Wisman. Seorang pengusaha Australia, Elizabeth Travers, yang mengelola 30 vila di Bali, misalnya, kepada The Daily Telegraph, koran Inggris, dia mengatakan pembatalan sudah mulai berdatangan. “Undang-undang belum berubah dan saya sudah menerima pembatalan. Satu klien mengatakan mereka tidak lagi percaya datang ke Bali karena mereka belum menikah,” kata Travers, seperti dilansir dailymail online, Minggu, 22 September 2019.
Baca juga: Kejahatan Seksual Menghantui Pariwisata Nasional
PT Angkasa Pura I (Persero) Kantor Cabang Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai menyebutkan pada periode Januari-Juli 2019 tercatat 3.533.010 Wisman yang tiba di Bali melalui bandara ini. Seperti dilansir “Antara”, 3 September 2019, mayoritas Wisman yang tiba berasal China dan Australia.
Maka, tidaklah berlebihan kalau kemudian Travers yang sudah tinggal di Bali selama 15 tahun mengatakan dampak kriminalisasi zina terhadap pariwisata Bali akan lebih besar daripada efek letusan gunung berapi (Gunung Agung). Soalnya, kedutaan besar negara-negara Barat mulai menerbitkan peringatan atau imbauan (travel warning) yang mengingatkan warganya akan risiko masuk penjara karena tertangkap zina. Di situs departemen luar negeri Australia, misalnya, sudah ada peringatan agar hati-hati di Bali karena bisa dijerat pasal kriminalisasi zina.
Travers juga membandingkan dampak dua kali bom di Bali dengan kriminalisasi zina. Travers yakin kriminalisasi zinalah yang akan menghancurkan industri pariwisata di Bali yang pada gilirannya jadi pemicu akhir kehidupan di Pulau Dewata itu. Harap maklum pariwisata adalah akar kehidupan di Bali. Jika pariwisata hancur maka akar kehidupan pun rusak sehingga masyarakat tercerabut dari akar kehidupan.
Bukan hanya pasal kriminalisasi zina, tapi beberapa pasal pada RKUHP juga menimbulkan kontroversi dan silang-pendapat. Presiden Joko ‘Jokowi‘ Widodo, Jumat, 20 September 2019, meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RKUHP. Presiden Jokowi mengatakan dia membawa keprihatinan masyarakat tentang amandemen KUHP tsb.
“Saya telah memerintahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyampaikan sikap (saya) kepada DPR, bahwa pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang harus ditunda dan bahwa RUU itu tidak boleh disahkan selama periode duduk saat ini,” kata Jokowi. .
Lebih lanjut Jokowi mengatakan: “Saya harap DPR berada di halaman yang sama tentang masalah ini sehingga pembahasan RUU KUHP dapat dilanjutkan (oleh anggota parlemen) pada periode berikutnya.”
Yang dikhawatirkan banyak pihak yang memanfaatkan pasal kriminalisasi zina itu dengan memakai peraturan daerah (Perda) yang berbalut agama. Padahal, di Bali, misalnya, pariwisata merupakan bagian dari budaya yang diatur melalui Perda Nomor 2 Tahun 2012 (tagar.id, 23 September 2019). *
2 komentar