Seri Santet #32 – RKUHP Abaikan Penderitaan Korban Santet

Sosbud66 Dilihat

RKUHP memasukkan pasal santet, pasal itu lebih melindungi dukun santet sehingga mengabaikan derita korban santet yang merana sepanjang hidup.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas di DPR tetap memasukkan pasal tentang santet. Dalam RKUPH yang diajukan pemerintah tersebut di Pasal 293 diatur perbuatan terkait dengan ilmu hitam tsb. 

Bunyi pasal santet di RKUHP: (1). Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal ini justru melindungi dukun santet atau orang-orang yang bisa memakai ilmu hitam (sebut saja penyantet) karena tidak ada dukun santet dengan identitas sebagai dukun santet. Ada yang menyebut diri sebagai ‘orang pintar’, paranormal, dan ada pula yang menyebut dirinya sebagai agamawan yang dibalut dengan pengobatan, dll.

Dalam prakteknya seorang penyantet didatangi oleh orang-orang yang ingin mencelakai seseorang karena berbagai hal, seperti perebutan harta warisan, persaingan dagang, perebutan perempuan, perebutan jabatan, dll. Nama dan alamat dukun santet biasanya diketahui dari mulut ke mulut.

Orang yang akan mengirim santet, kita sebut pembeli santet, akan menjelaskan tujuannya menyantet korban dan seperti apa efek yang diinginkan terhadap korban. Penyantet kemudian memperhitungkan harga alat-alat yang diperlukan, seperti benda-benda yang akan dikirim dan upah, mereka sebut ‘mahar’.

Penyantet akan meminta nama lengkap calon korban dengan bin atau bintinya serta alamat lengkap. Selain itu diperlukan pula benda-benda yang menempel langsung ke tubuh calon korban, seperti kaos kaki, celana dalam dan bagian-bagian tubuh (rambut, kuku, dll.) serta foto.

Benda-benda itu akan jadi bagian dari santet yang dikirim secara gaib ke calon korban setelah ‘diisi’ dengan mantra dan benda-benda lain oleh penyantet. Kiriman bisa ke rumah, tempat kerja dan ke badan.

Benda-benda yang dikirim dengan kekuatan gaib itu dijadikan seperti jeli yang dikenal sebagai dematerialisasi yaitu proses mengubah benda padat jadi energi. Yang kemudian dibawa oleh kekuatan gaib ke tubuh calon korban. Setelah masuk ke tubuh energi tadi kembali jadi materi atau benda padat seperti sebelumnya.

Dalam kaitan ini ada transaksi antara pembeli dan penyantet. Pada benda-benda yang dikirim yang bukan masuk ke badan bisa saja ada sidik jari pembeli dan penyantet.

Derita korban tidak dipikirkan oleh yang merancang RKUHP. Korban santet akan menderita selama benda-benda yang dikirim ke rumah, kantor atau ke badan tidak dikeluarkan. Pengobatan medis sama sekali tidak bisa menghentikan kesakitan karena benda-benda, terutama yang di dalam tubuh, akan terus ‘bekerja’ sesuai dengan perintah penyantet melalui cara-cara gaib.

Praktek santet bisa juga disebut sebagai kejahatan terselubung karena tidak bisa dibuktikan dengan hukum formal. Santet memakan korban yang tidak sedikit dengan berbagai efek buruk terhadap kesehatan, kedudukan, jabatan dan usaha serta relasi rumah tangga.

Banyak korban santet yang habis-habisan untuk biaya berobat ke sana ke mari, bahkan ada yang tanpa hasil. Derita sepanjang hidup karena disantet hanya bisa berakhir dengan kematian jika tidak menemukan orang yang tepat mengobatinya (tagar.id, 11 September 2019). *