Tanpa Partisipasi Warga Penyebaran Covid-19 di Indonesia Akan Terus Meroket

Edukasi41 Dilihat

Pemerintah sudah menjalankan berbagai upaya untuk meredam penyebaran virus corona (Covid-19), tapi partisipasi warga sangat rendah.

Intensitas tes virus corona (Covid-19) yang digalakkan pemerintah belakangan ini membuahkan hasil yaitu kian banyak kasus positif Covid-19 yang terdeteksi. Setelah tanggal 1 Juli 2021, terdeteksi 24.836 kasus baru harian Covid-19, pada 2 Juli 2021 jumlah kasus baru mencapai 25.830 (Twitter Kemenkes @KemenkesRI).

Dengan tambahan 25.830 kasus baru, maka jumlah kumulatif kasus positif Covid-19 yang terdeteksi di Indonesia sejak 3 Maret 2020 mencapai 2.228.938. Jumlah ini Indonesia ada di peringkat ke-17 dunia dari 220 negara dan teritori yang melaporkan kasus Covid-19 ke situs independen, worldometer.

Sedangkan kematian per 2 Juli 2021 dilaporkan sebanyak 539 sehingga jumlah total kematian sejak 3 Maret 2020 mencapai 59.534.

Jumlah vaksinasi dan langkah-langkah penanggulangan yang logis, seperti lockdown, menunjukkan kasus harian yang terus turun di beberapa negara yang sebelumnya melaporkan kasus harian ratusan ribu. Amerika Serikat (AS), misalnya, 8 Januari 2021 melaporkan kasus harian sebanyak 305.039, tapi tanggal 2 Juli 2021 kasus harian baru yang dilaporkan 13.328. Begitu juga dengan India yang melaporkan kasus harian sebanyak 414.433 pada tanggal 6 Mei 2021, tapi tanggal 2 Juli 2021 kasus harian yang dilaporkan 47.252.

  1. Pemerintah Tidak Mungkin Mengawasi Perilaku Orang per Orang

Beberapa daerah di Indonesia menyebut diri sebagai ‘zona hijau’ antara lain karena kasus sedikit, tapi daerah tersebut tidak menjalankan tes Covid-19 yang masif sehingga tidak banyak kasus yang terdeteksi. Ini tentu saja ‘zona hijau’ yang semu.

Baca juga: Zona Hijau Sebagai Daerah Semu Pandemi Virus Corona

Indonesia semula menjalankan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), tapi tidak menunjukkan hasil yang baik karena tidak dituruti sebagian besar wara. Selanjutnya dijalankan PPKM (Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dengan skala mikro, juga tidak membuahkan hasil. Terakhir, pemerintah menerapkan PPKM Darurat yang disebut-sebut aparat akan bertindak tegas pada rentang waktu 3 – 20 Juli 2021 di Pulau Jawa dan Bali. Lagi-lagi keberhasilannya tergantung pada perilaku warga.

Baca juga: Covid-19 Tak Kenal Batas Wilayah, Daerah dan Negara

Adalah hal yang mustahil pemerintah bisa mengawasi orang per orang. Jangankan di ranah privat (pribadi) di ranah publik (public sphere) pun tidak mungkin aparat pemerintah bias mengawasi orang per orang.

Perilaku berisiko warga terkait dengan risiko tertular Covid-19 sangat menentukan keberhasilan upaya pemerintah untuk meredam penyebaran Covid-19.

Prediksi kalangan pakar epidemiologi sebelum lebaran bahwa mudik akan meningkatkan penyebaran Covid-19 terbukti sudah. Namun, semua pembahasan hanya tertuju ke pemerintah, sedangkan terkait dengan perilaku berisiko warga terabaikan.

Ketika itu pemerintah sudah wanti-wanti warga, bahkan dengan dukungan kalangan agamawan, agar tidak mudik tapi ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’ (meskipun dilarang tapi tetap saja dilakukan).

Baca juga: Pemerintah Tidak Bisa Memutus Mata Rantai Penyebaran Covid-19

Yang bikin miris belakangan ini adalah kasus Covid-19 terjadi pada klaster (kelompok) keluarga, mulai dari ayah, ibu dan anak-anak. Data kemudian berbicara bahwa kematian anak-anak umur sampai 17 tahun di Indonesia tertinggi di dunia.

Selain itu jumlah kematian tenaga kesehatan (Nakes) terkait dengan Covid-19 di Indonesia paling terbanyak di kawasan Asia. Data terakhir menunjukkan 647 Nakes terinfeksi Covid-19 yang terdiri atas: 289 dokter (di antaranya ada 16 guru besar), 27 dokter gigi (3 guru besar), 221 perawat, 84 bidan, 11 apoteker, dan 15 tenaga laboratorium medik.

Kondisinya kian runyam karena sebelum lebaran gaung vaksinasi bagi setengah orang seakan-akan masuk kuping kanan keluar dari kuping kiri (tidak mau mendengarkan nasihat) sehingga kekebalan kelompok (herd immunity) tidak tercapai. Akibatnya, terjadi penyebaran virus antar warga dalam berbagai klaster.

Baca juga: Fenomena AIDS Persis Serupa dengan Corona

Informasi bohong (hoaks) yang dibumbui dengan norma, moral dan agama menenggelamkan informasi yang akurat tentang Covid-19 sehingga yang ditangkap oleh masyarakat bukan fakta medis, tapi mitos (anggapan yang salah). Hal ini terjadi terutama bagi warga yang memakai kacamata kuda (tidak peduli dengan informasi dari sumber yang kompeten) dalam menyerap informasi.

Hoaks jadi benar karena berulang-ulang dan disebarluaskan secara masif dengan balutan norma, moral dan agama. Bahkan, dikaitkan pula dengan ras dan negara yang menyuburkan kebencian. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) mengingatkan nama penyakit, virus dan lain-lain tidak boleh dikaitkan dengan ras dan negara.

Informasi pertama yang diterima, terutama yang negatif, akan terpatri dalam ingatan orang-orang yang tidak mau menerima informasi dari sumber-sumber yang berkompeten.

2. Mengaitkan Penularan Virus Corona dengan Maksiat

Celakanya, influencer yang disebut-sebut didanai pemerintah justru KO (knock out) atau kalah telak melawan hoaks. Di sisi lain sebagian besar media massa dan media online juga terbawa arus untuk mengemas berita dengan balutan moral.

Tapi, hoaks dan mitos yang subur tidak lepas dari cara pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19 yaitu pada seorang perempuan yang disebut Pasien 01 pada tanggal 3 Maret 2021.

Hampir semua media massa dan media online mengaitkan penularan Covid-19, ketika itu disebut virus corona, dengan dansa. Muncullah judul berita yang mengaitkan penularan virus corona dengan lantai dansa.

Padahal, secara medis tidak bisa dibuktikan kapan terjadi penularan virus corona kepada Pasien 01 karena banyak kegiatan yang mereka lakukan selain latihan dansa. Bercengkrama, ngopi dan lain-lain.

Pasien 01 juga mengeluh mengapa pemerintah membuka riwayat kontak Pasien 01 secara terbuka yang tergolong vulgar juga. Keluarganya jadi sasaran kemarahan dan menerima caci-maki di masyarakat dan di media sosial. Soalnya, tidak ada kaitan langsung antara berdansa (dalam KBBI disebut: menari cara Barat) dengan penularan virus corona.

Baca juga: Publikasi Identitas Covid-19 Suburkan Stigmatisasi

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul posting dan spanduk yang menyebut mencegah virus corona dengan menghindari maksiat [KBBI: perbuatan yang melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk, dan sebagainya)].

Nah, warga yang berjualan di pasar, pengojek, sopir angkot, dan lain-lain mereka merasa tidak melakukan maksiat sehingga terhindar dari virus corona. Maka, mereka pun tidak menerapkan protokol kesehatan (Prokes) dengan konsekuen dan konsisten. Prokes dikenal sebagai 3M, yaitu: selalu memakai masker, sering mencuci tangan dengan sabun di air yang mengalir dan menjaga jarak fisik. Ini merupakan ‘vaksin sosial’ yang juga ampuh, tapi banyak warga yang mengabaikannya.

Penularan virus corona (Covid-19) tidak tergantung pada sifat pertemuan atau kontak (keluarga, kerumunan, sosial, dan lain-lain), tapi kondisi saat terjadi pertemuan (ada yang mengidap virus corona bahkan tanpa gejala yang disebut OTG – orang tanpa gejala dengan kondisi tidak memakai masker dan orang lain yang kontak pun tidak memakai masker pula).

Baca juga: Hanya Masyarakat Bisa Putus Rantai Penularan Corona

“Saya sudah tahu, Pak, ini (pandemi Covid-19-pen.) cuma politik.” Ini dikatakan oleh seorang sopir Mikrolet di Jakarta Timur karena melihat penulis memakai masker.

Itu gambaran riil terkait pemahaman sebagian warga. Nah, apa yang akan dilakukan influencer menghadapi pandangan di atas? Yang diperlukan bukan debat (kusir), tapi membawa mereka ke realitas sosial di social settings tentang pandemi Covid-19.

Lalu, ada pula yang menyebut Covid-19 sebagi konspirasi dan lain-lain. Boleh-boleh saja menyampaikan pendapat, tapi sekarang virus itu ada depan mata. Ibaratnya, masuk binatang berbisa ke rumah, apa yang harus dilakukan? Berdiam diri: wah ini dari mana masuknya? Ya, keburu kena patuk.

Maka, yang dilakukan secara riil menghindari risiko dengan membunuh binatang berbisa itu atau menghindarkan diri dari kemungkinan kena patuk.

Jika ditarik ke pandemi Covid-19 terlepas dari semua anggapan dan pemahaman yang tidak objektif yang perlu dilakukan adalah menghindari perilaku berisiko yang memungkinkan tertular Covid-19. Selain membuat kekebalan diri terhadap Covid-19 dengan vaksinasi sesuai dengan ketentuan medis (tagar.id, 3 Juli 2021). *

Tinggalkan Balasan