Tak banyak menyangkal bahwa setiap manusia selalu dihadapkan dengan dua hal ini, yaitu suka dan duka. Bak berjalan beriringan dan bergandengan tangan, kedua hal ini juga datang bergantian. Namun tentu saja tidak berarti bergantian berurutan berselang seling secara periodik.
Namun, datang silih berganti dengan kalkulasi Tuhan yang ditujukan sebagai ujian kepada manusia. Itu sudah menjadi kepastian, tentu kita tidak bisa menolaknya. Patut keduanya kita terima, karena pada kenyataannya kita hanya makhluk yang lemah. Pasrah saja, sambil menguatkan sabar, syukur dan tawakal di sepanjang sisa jatah hidup kita di dunia.
Mengapa begitu? Sepanjang kita masih bisa menghirup udara, maka hidup itu sendiri sebenarnya adalah ujian bagi manusia. Allah sendiri yang telah mengatakannya dengan segala kekuasaa-Nya, ”Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk : 2)
Tersurat dengan jelas bahwa hidup dan mati ada dalam genggaman Sang Pencipta, maka amal kesalehan yang akan menuntunmu dalam jalan kebaikan. Kesalehan yang sebenarnya telah diikrarkan janji keimanan disaat kita masih dalam kandungan ibu.
Namun, dalam perjalanan kehidupan manuasia, ikrar keimanan itu seakan pudar, lenyap dan menghilang tak berbekas. Maka disinilah letak kesalehan seakan menjadi barang yang hilang. Manusia membutuhkan cara, dorongan, motivasi, teguran bahkan ujian serta uluran hidayah dari Sang Kuasa untuk menemukan kesalehan itu sendiri.
Ujian Kesalehan
Ujian kesalehan bukan hanya berarti orang yang sudah saleh kemudian diuji untuk membuktikan tingkat kesalehannya. Saya pikir maknanya lebih luas lagi. Orang yang selama hidupnya banyak berbuat ketidakbaikan, bisa jadi karena adanya ujian yang sangat berat, berubah dan muncul kesalehannya.
Karena karakteristik ujian adalah mampu untuk diselesaikan, maka manusia harus pandai memaknainya. Pemaknaan yang tepat akan mendatangkan uluran hidayah dari Allah. Pertaubatan karena adanya ujian yang berat merupakan buah dari ujian kesalehan manusia. Seburuk apapun manusia, ketika ujian kesalehan itu datang membawa pemaknaan yang positif, akan sangat mungkin uluran hidayah itu datang.
Sehingga ujian kesalehan tidak melulu berarti ujian tingkat atau level kesalehan orang, namun juga peristiwa yang kembali memunculkan kesalehan yang telah lama terpendam di dalam gelapnya hati. Gelapnya hati yang tertimbun kemaksiatan dan kedhaliman yang telah dilakukan diirnya sendiri.
7 Macam Ujian
Almarhum Ust. Arifin Ilham pernah menyampaikan setidaknya ada tujuh macam ujian yang dikirimkan Allah bagi manusia.
Pertama, ujian perintah Allah, saat Nabi Ibrahim diharuskan menyembelih putranya Ismail. Yang kemudian menjadi panutan bagi setiap manusia sewaktu Idul Adha dengan berkurban. Kurban sendiri bermakna bagi kesalehan pribadi sebagai upaya pelaksanaan tuntunan. Selain itu juga menjadi bagian kesalehan sosial yang bermakna agar setiap manusia bisa saling berbagi dengan siapa pun di hari yang bahagia.
Kedua, ujian larangan Allah. Dunia tempatnya bersenang-senang dengan segala gemerlap yang menyilaukan mata. Namun, kesenangan itu dibatasi oleh Penciptanya, dilarang untuk dilakukan karena menjadi bagian yang merusak tatanan kehidupan. Sebut saja berzina, korupsi dana, mabuk-mabukan, pencurian dan sebagainya. Sekilas pasti menemukan nikmatnya melakukan hal-hal tersebut. Tapi jika dilakukan maka rusaklah kehidupan bernorma dimasyarakat.
Ketiga, ujian berupa musibah. Banyak orang yang menyangka ujian adalah musibah itu sendiri. Namun, sejatinya, musibah hanya sebagian dari bermacam-macam ujian yang diturunkan oleh Allah kepada makhluk-Nya. Ujian berupa musibah dapat berupa ketakutan, kehilangan, kekurangan hal-hal yang semestinya ada dan dicintai manusia itu sendiri.
Keempat, ujian kenikmatan. Orang menyangka kekayaan merupakan sebuah hadiah dan kemurahan rejeki baginya. Namun, tidak semua kekayaan berarti seperti itu. Kelebihan rejeki bisa menjadi penghalang bagi kesalehan manusia. Terlena dan terlupa bahwa semua itu hanya titipan bukan hak milik yang sejatinya di bawa sampai mati. Semua dipertanggungjawabkan. Jika titipan materi itu dipergunakan untuk kebaikan dan kesyukuran tentu akan menjadi permata di alam kubur dan akhirat nanti.
Baca juga:
Kelima, ujian dari orang zalim kepada kita. Hidup itu berhubungan dengan manusia lain. Ada yang suka ada yang tidak suka. Dan tidak bisa dipaksakan agar orang menyukai kita. Kita hanya bisa berbuat terbaik dalam hal muamalah dengan orang lain.
Keenam, ujian keluarga. Keluarga tidak serta merta bisa dibangun dalam kondisi yang harmonis dan berisi kesalehan. Pondasi bangunan keluarga yang tidak dibangun atas dasar keimanan, ujungnya nanti banyak hal yang mengggiring kepada kedurhakaan.
Ketujuh, ujian lingkungan dan pergaulan. Banyak hal yang menjadi peristiwa ujian bagi manusia. Tidak terlepas orang-orang yang ada di sekitar kita. Tetaplah berbuat baik untuk kemsalahatan, niscaya pertolongan tetap akan datang sesudah ujian datang.
Potensi Kesalehan
Setiap orang yang hidup mempunyai jalan yang berbeda-beda. Maka ujian sebagai konsekuensi hidup manusia juga akan beragam. Penyikapan terhadap ujian itu sendiri membutuhkan kesalehan manusia itu sendiri. Agar ujian yang datang dapat selesaikan dengan kaidah dan tata aturan yang terbaik untuk kebaikan diri dan sekitarnya.
Pada akhirnya, setiap manusia mempunyai potensi kesalehan itu sendiri. Minimal mampu memaknai bahwa setiap ujian itu datang karena untuk menguji kesalehan manusia itu sendiri. Apakah kesalehan itu terpupuk dengan baik atau semakin tenggelam? Sehingga reaksi kita terhadap ujian itu akan membedakan kesalehan dalam diri tumbuh dengan baik atau tidak.