Hangatnya Sup dan Roti Persahabatan di Masjid Katedral di Minsk

Berita, Islam, Wisata88 Dilihat

Mendekati akhir Maret, dinginnya udara kota Minsk terasa sangat tajam menusuk tulang, walau pakaian sudah enam lapis.  Di gawai yang dingin membeku, suhu menunjukkan minus 16 derajat Celsius. Lebih dingin dibandingkan hari sebelumnya yang minus 13,

Siang itu, saya telah berjanji untuk kembali datang ke Cathedral Mosque atau Sobornaya Meschet yang beralamat di Vultsa Gribaydova no 29. Dari stasiun Metro Nyamiga saya naik bus nomor 1 dan turun di halte di tepian Park Pobedy dengan danau dan telaga yang tertutup es membeku.

Dari sini saya harus menyeberangi Prospekt Peramohi yang lebar dan ramai serta kemudian menyusuri Ulitsa Ignetenko. Selain dalam bahasa Belarus, nama tempat dan jalan sering juga dalam bahasa Rusia. Sehingga walau mirip, kadang-kadang membingungkan. Contohnya untuk jalan dalam bahasa Rusia adalah Ulitsa sedangkan dalam bahasa Belarus adalah Vulitsa. Untungnya saya bisa membaca tulisan dalam aksara Cyrilic tersebut.

Sambil menggigil dan sekali-kali memegang ujung hidung dan telinga, saya bergegas setengah berlari di trotoar berhias salju putih. Sangat indah dipandang mata, namun menyiksa bagai di dalam freezer.

Selain tepian jalan dan halaman, sebagian atap masjid tertutup salju tipis dan terlihat sangat menawan dari kejauhan. Begitu megah dan indah. Kubah dan menara yang bertingkat tiga seakan-akan terus memanggil sehingga langkah kaki pun kian dipercepat.

Sesampainya di halaman masjid, sudah cukup banyak jemaah yang membentuk kelompok kecil saling mengobrol dan melepas rindu. Namun saya langsung masuk ke dalam untuk sejenak menghangatkan tubuh. Menanggalkan overcoat, jaket tebal, penutup kepala, dan sarung tangan yang terasa cukup berat melindungi tubuh dari cuaca nan dingin di luar.

 

Tempat wudu ada di lantai bawah. Tempat yang sudah saya datangi Kamis siang kemarin. Bedanya kalau kemarin sepi, Jumat ini suasana sangat ramai. Waktu salat kira-kira 15 menit lagi, cukup waktu untuk menjelajah bagian masjid yang belum saya lihat.

Di beranda lantai atas terdapat dua prasasti. Satu dalam bahasa Belarus dan satu dalam bahasa Turki. Isinya menceritakan peresmian pembangunan kembali masjid ini pada 2016 yang dihadiri oleh Presiden Turki, Erdogan. Wah ternyata dibiayai oleh pemerintah Turki setelah bertahun-tahun terbengkalai akibat kurang dana.

Tidak lama, satu demi satu saf mulai terisi. Dan setelah azan pertama, khotbah pun dimulai. Sayangnya semua dalam bahasa Rusia dan hanya kata-kata standar dalam bahasa Arab. Sebagian besar jemaah adalah etnis Tatar Krimea yang memang sejak dulu banyak bermukim di Belarus. Sebagian lagi para pendatang dengan berbagai macam rona wajah. Wajah Asia Tengah yang khas dengan kombinasi Mongoloid dan Kaukasus, wajah Timur Tengah, dan juga sebagian Afrika. Sangat jarang yang bule Rusia.

Selepas salat, saya tak sabar menjelajah untuk menikmati keindahan ruang utama masjid ini. Warna coklat muda dengan rona krem mendominasi interior masjid. Sangat cantik dan selaras dengan eksterior yang didominasi warna coklat lebih gelap.

Baik karpet, dinding, maupun langit-langit masjid ini semuanya mengekspresikan ketenangan dan kedamaian yang tersirat dalam warna coklat muda. Yang sedikit berbeda adalah ornamen dan hiasan pola geometrik yang ada di bawah kubah utama. Tampak lebih cerah dan kontras dengan balutan warna putih dan biru muda.

Masjid ini memiliki ruang salat utama dengan balkon di kedua sayap di lantai dua. Salah satu keunikan adalah pintu utama yang berada di samping sebelah kiri dan bukan langsung menghadap ke mihrab. Mihrabnya tampak sederhana dan terbuat dari kayu berukir warna coklat. Kaligrafi kalimat syahadat menghias bagian atas mihrab yang indah ini. Sementara mimbarnya juga terbuat dari kayu dengan ukiran dan pola yang sama dengan mihrab. Konon mimbar dan mihrab ini dibuat di Turki.

 

Puas melihat keindahan interior masjid, saya keluar masjid dan bergabung di halaman dengan para jemaah di bagian bawah tangga utama. Di sini ternyata terdapat puluhan batu nisan yang tertutup salju putih yang halus.

Yang menarik dari batu nisan ini adalah ukiran aksara yang sederhana. Hiasan bulan sabit dan bintang ada di bagian atas. Di bawahnya dalam aksara Hijaiah tertulis ‘Bismillahirahmanirahim” dan kalimat syahadat. Setelah itu baru ukiran dalam bahasa Rusia yang menjelaskan nama serta tahun lahir dan meninggal almarhum. Pada salah satu nisan tertulis nama Mustafa dalam aksara Cyrilic yang lahir pada 1874 dan meninggal 1950.

Nah, di sini pula saya mendapatkan jatah sup hangat dan roti yang terasa sangat nikmat mengisi perut yang kosong dalam cuaca yang sangat dingin. Saya pun bertemu kembali dengan teman saya, orang Aljazair yang Kamis kemarin sempat bercerita banyak mengenai kehidupan umat Islam di Minsk dan Belarus.

Seraya menikmati sup dan roti, serta memandang burung-burung dara yang beterbangan sambil sesekali mematuk roti yang saya tebarkan ke lantai, pikiran saya melayang ke masjid dengan nama yang sama, yaitu Sobornaya Meschet di ibu kota Rusia, Moskwa. Ah walau yang di Minsk ini lebih kecil, namun keramahan masyarakat dan semua orang yang memanggil saya ‘Brat’, membuat saya merasa berat harus meninggalkannya.

Dengan langkah berat di cuaca dingin kota Minsk, saya kembali berjalan menuju halte bus. Pandangan sekali lagi saya lemparkan ke masjid indah berlapis salju yang meninggalkan kenangan manis tidak terlupakan.

Sambil mengucapkan “Da Svidaniya”, saya melanjutkan pengembaraan di ibu kota Belarus dengan harapan suatu saat bisa kembali lagi ke masjid ini.

 

Minsk. Maret 2018

Tinggalkan Balasan