Dari Museum di Buckinghm Street, anjangsana di Arrowtown dilanjutkan dengan berkunjung ke Chinese Settlement yang letaknya sekitar 5 menit berjalan kaki dan terletak di tepian Bush Creek yang merupakan salah satu anak sungai Arrow.
“Arrowtown Chinese Settlement,” demikian tertera nama resmi tempat ini yang ditulis dengan warna kuning dengan latar belakang hijau. Sementara di bagian atasnya tertulis dengan warna putih Department of Conservation dan terjemahan dalam Bahasa Maori Te Papa Atawhai di pojok kiri dan tulisan Otago Goldfield Park di pojok kanan. Sebuah pagar kayu tampak mengeliling settlement atau kampung Cina di Arrowtown ini.
Uniknya kampung ini sendiri tidak memiliki banyak bangunan yang tersisa alias lebih tepat disebut sebagai sebuah taman dibandingkan sebuah kampung atau settlement. Sebagian besar merupakan lapangan rerumputan yang hijau, pepohonan dan beberapa bangunan baik besar atau kecil lengkap dengan penjelasan dan sekilas sejarah yang bisa dipelajari oleh pengunjung. Di lapangan rumput yang hijau ini pula ada sebuah kursi kayu yang tampaknya asyik bila digunakan untuk sejenak beristirahat.
Kami kemudian memasuki kawasan kampung cina ini dan berjalan menuju bagian belakang. Ada beberapa bangunan kecil yang merupakan rumah atau gubuk para imigran dari Tiongkok yang berdatangan ke Selandia Baru atau khususnya ke Kawasan Otago dan Arrowtown sehubungan dengan perkembangan penambangan emas pada sekitar tahun 1860-an.
Gubuk atau bangunan kecil tempat tinggal mereka terlihat begitu spartan dan sederhana. Bahkan sangat kontras dengan kondisi pemukiman Bangsa Eropa yang ada di kawasan Buckingham Street. Salah satu yang tampak unik merupakan bekas toilet gubuk atau rumah Ah Wak. Di sini juga ada panel yang mengisahkan ringkasan sejarah kedatangan imigran dari negeri Tiongkok tersebut,
“Welecome to Arrowtown Chinese Sttlement and the story of remarkable people,” demikian judul pada salah satu panel dalam dua bahasa yaitu Inggris dan Mandarin yang mengisahkan bahwa pada sejak akhir tahun 1860-an hingga tahun 1880an, temoat ini merupakan salah satu dari perkampungan kaum imigran dari Tiongkok yang kebanyakan mencari keberuntungan di tambang emas di Kawasan Otago dan Southland. Bahkan disebutkan juga jika pada puncaknya terdapat lebih dari 8000 orang Tiongkok yang bekerja di pertambangan emas dan menghasilkan sekitar 30% dari produksi emas di kawasan itu.
Kami terus berjalan dan melihat-lihat lagi beberapa bangunan atau lebih tepatnya gubuk atau ruah tinggal kecil yang dulunya dihuni oleh para imigran penambang emas dari Tiongkok tersebut. Namun informasi yang didapat pada sebuah panel menguak sisi gelap keberadaan imigran Tiongkok ini. Kisah diskriminasi dan ketidaksukaan orang-orang Eropa terhadap mereka. Sebuah fakta yang mencengangkan karena dipamerkan terbuka bahkan di Selandia Baru sendiri.
“Invited but Unwelcome, the harsh reality of Goldfield Life,” demikian judul pada panel ini. Panel yang mengisahkan kehidupan keras para imigran yang kebanyakan berasal dari provinsi Guangdong yang beriklim subtropis dan kemudian harus menghadapi cuaca musim dingin di Otago yang brutal, belum lagi dengan kondisi tempat tinggal yang seadanya. Namun bukan hanya alam dan cuaca yang kejam, mereka juga ternyata kemudian harus menghadapi diskriminasi dan perlakuan yang kurang manusiawi.
Pada awalnya para imigran tersebut sebenarnya diundang oleh pemerintah Otago untuk mengisi kekurangan tenaga penambang Eropa yang Sebagian besar meninggalkan kawasan ini pada sekitar 1860-an. Mereka kemudian berdatangan dari Australia dan kemudian langsung dari Tiongkok. Pada awalnya mereka mendapat sambutan yang baik dan bahkan pujian karena sifat kerja keras dan kegigihan mereka. Namun ketika jumlah imigran Tiongkok ini makin lama makin banyak dan Sebagian bahkan mampu meraih sukses dalam berbagai kegiatan ekonomi yang lain, orang-orang Eropa merasa terancam dan bahkan sebagian merasa bahwa mereka bisa kemudian dijajah oleh ras yang dianggap inferior ini.
Berbagai perlakuan baik verbal dan fisik secara diskriminasi mulai muncul dan bahkan kemudian peraturan hukum yang secara terang-terangan anti imigran Tiongkok pun diterbitkan. Salah satunya dengan Chinese Imigration Act pada tahun 1881 yang menerapkan poll tax atau pajak sebesar 10 Pounsterling per kepala. !0 Pounsterling pada masa itu diperkirakan senilai 2000 Dollar NZ saat ini. Bahkan pada 1896, jumlah pajak yang diterpakan naik menjadi 100 Pounstedrling atau setara 20 Ribu Dollar.
Bukan hanya dengan pajak yang besar, diskriminasi secara gambling juga muncul di surat kabar setemat yang secara terang-terangan menyebut imigran Tiongkok sebagai Yellow Peril atau Bahaya Kuning. Bahkan ada cuplikan surat khabar yang menyebutkan mereka sebagai Almond Eye, Leprosy Tainted, Filthy Chinamen, yang menghina penampilan fisik dan juga sebagai bangsa yang berpenyakit kusta dan juga kotor dan jorok.
Bahkan pada 7 Mei 1887 di Dunedin muncul Gerakan yang diseut dengan Anti Chinese Hysteria dan kemudian bermunculan bermacam-macam organisasi yang secara terang-terangan menentang masuknya imigran Tiongkok ke Selandia Baru. Bahkan pada 1907, setiap imigran dari Tiongkok diharuskan mengikuti ujian bahasa Inggris.
Kami terus berjalan dan kemudian tiba di sebuah gedung paling besar yang ada di Kampung Cina ini. Bangunan ini disebut sebagai Ah Lu’m’S Store. Bangunan ini lumayan luas dan konon dimiliki imigran bernama Ah Lum yang merupakan salah satu imigran yang sukses dalam bidang ekonomi. Selain sebagai toko, gedung ini juga berfungsi sebagai bank dan bahkan tempat bersosialisasi edi antara komunitas imigran Tiongkok di Arrowtown.
Perjalanan di Arrowtown Chinese Sttlement ini memang mengungkap sebagian sisi gelap kehidupan para imigran Tiongkok di Selandia Baru. Namun pada saat yang bersamaan juga menunjukkan kepada kita akan kegigihan dan kerja keras mereka yang pada umumnya menjadi orang sukses secara ekonomi di tanah rantau walau sering mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Dan yang tidak juga boleh dilupakan adalah keterbukaan dan kebesaran jiwa para penguasa negeri Kiwi yang tidak berusaha menutupi kesalahan dan sisi buruk sejarah masa lampau mereka. Salah satunya adalah pengakuan secara terbuka perdana Menteri Selandia Baru, Helen Clark pada 2002 yang meminta maaf kepada penduduk Etnis Tionghoa di New Zealand atas diskriminasi yang diterapkan kepada leluhur mereka.
Sebuah pelajaran dan lintasan sejarah yang menarik dapat disimak dari sebuah kunjungan singkat ke kampung cina di Arrowtown.
Foto-Foto: Dokpri