Kampung Ngadisuryan berada di Kalurahan Patehan, Kemantren Kraton di kawasan sebelah Barat Alun-Alun Kidul, Yogyakarta. Lokasinya yang terletak di antara Alun-Alun Kidul dan juga tempat wisata Taman Sari membuatnya lumayan ramai dan cukup menarik untuk dijelajahi.
Kalau kita dari Alun-Alun Kidul , maka akan melewati Jalan Ngadisuryan yang ditandai dengan sepasang Gapura dengan pintu untuk pejalan kaki beratap melengkung yang lumayan rendah sehingga saya harus menundukkan kepala kalau melewatinya.
Nah dari sini kemudian kita akan belok ke kanan melalui sebuah jalan yang diujungnya terdapat Ndalem Ngabean. Konon inilah Ndalem ini yang menjadi asal-usul nama Ngadisuryan karena dulunya merupakan tempat tinggal Bendara Pangeran Haryo Hadi Suryo yang merupakan salah seorang putra Hamengkubuwono ke VII. Sekarang Ndalem Ngabean masih berfungsi sebagai resto dan hotel dan sering digunakan menjadi tempat berbagai acara termasuk pernikahan.
Di jalan ini juga sering ditemukan odong-odong yang penampakannya berbeda antara siang dan malam. Dari ndalem Ngabean ini kalau kita belok ke kiri, akan masuk melalui Jalan atau Gang Abdul Hadi yang menghubungkan nDlaem Ngeban dengan Jalan Taman dan terus ke tempat wisata Pemandian Taman Sari yang terkenal dengan Water Castle.
Di mulut jalan, di salah satu sisi dinding warna putih ada beberapa lukisan mural dengan tema cerita wayang yang cantik, lengkap dengan pemanah dan juga kereta kencana. Bahkan ada sosok pewayangan yang dililit ular naga berwarna hijau. Di sebelah kanan tembok putih ada peringatan agar kendaraan jalan pelan-pelan karena banyak anak-anak, lengkap dengan gambar sepeda, sepeda motor dan becak. Di sebelahnya ada tulisan Forum Kampung Panca Tertib yang anehnya berisi delapan aturan. Dulu di sini juga pernah ada himbauan mengenai jam belajar masyarakat yang sekarang gaungnya sudah mulai menghilang.
Pada salah satu rumah ada alamat dengan nama kampung dan kemudian KT I yang menunjukkan Kemantren Keraton. Alamat di Yogya memang cukup unik karena setiap kecamatan atau kemantren mempunyai kode atau singkatan yang khas.
Kalau kita berjalan terus dan kemudian belok ke kanan, kita akan melewati jalan kecil menuju ke Masjid Ngasiduryan, Di sini juga ada mural bergambarkah kepulauan Nusantara dan juga lambang Garuda Pancasila. Sering juga diparkir beberapa odong-odong baik berbentuk VW Kombi dan kali ini saya melihat odong-odong yang bentuknya kereta kerajaan yang lebih elegan dengan tulisan I love Jogja di depannya.
Kalau kita sampai di gang yang ada masjid Ngadisuryan ini, maka kalau berbelok ke kanan dan berjalan terus bisa menuju ke Bangsal Kamandungan yang ada di sebelah utara Sasana Dwi Abda di Alun-Alun Kidul. Tetapi kali ini saya memilih belok ke kiri dan akhirnya tiba di Jalan Taman. DI sini ada pintu gerbang masuk ke Ngadisuryan dengan spanduk di dinding mengenai aturan selama PSBB untuk salat Jumat di masjid Ngadisuryan.
Dari sini, setelah menyeberang jalan, kita akan tiba di Kampung Taman yang sering juga dijuluki Kampung Ramah anak dan menjadi satu dengan berbagai situs bersejarah baik, Taman Sari dengan Sumur Gemuling, Pulo Kenanga dan juga Pulo Cemeti. Kita juga bisa terus berkelana sampai ke Kampung Cyber dan tembus ke Pasar Ngasem.
Padau umumnya situasi di jalan dan gang di sekitar Kampung Ngadisuryan selalu sepi dan tenang. Kecuali pada saat ada perayaan atau festival. Misalnya saja pada saat Grebek Pasar dalam rangka HUT kota Yogya di bulan Oktober sebelum pandemi lalu, warga berpartisipasi dengan tarian bertema Hanuman.
Akan tetapi salah satu keunikan di Kampung ini adalah seringnya wisatawan mancanegara yang lewat dan sesekali tampak tersesat dan bingung. Mereka umumnya hendak ke Tamansari atau bahkan ada yang menanyakan jalan ke Kraton. Kalau sudah begini, terpaksa saya menjelaskan arah dengan sesekali menunjukkan arah mata angin baik utara maupun barat.
Yogyakarta, Juli 2022