Meski tinggal di kawasan Cikarang telah lama tapi baru kali ini bisa menjejakan kaki di sebuah rumah ibadah bernama Tepekong, padahal sering kali tempat ini di lewati saat melakukan aktifitas saat pulang balik kerjaan. Letaknya yang berdekatan dengan stasiun Cikarang dan Pasar Lama Cikarang.
Sebuah rumah ibadah yang akan terlihat lebih ramai dari biasanya ketika ada perayaan tahun baru Imlek dan juga kirab ketika ada acara Cap Go Meh, tak kepalang meriahnya suasana kota Cikarang iring iringan Jolly atau tandu dewa dengan di lengkapi atraksi Barongsay, kota Cikarang saat Cap Go Meh sering macet total.
Namun tak ada yang marah, tak ada yang misuh misuh nggak karuan, menikmati Barongsay dan Liong serta dentuman mercon merupakan atraksi tersendiri, apa lagi kalau ada angpao maka suasananya pun begitu meriah.
Di sebuah jalan bernama K.H. Fudholi, di sebuah gang bernama Tepekong, berdiri dengan gagah sebuah kelenteng bernama Tek Seng Bio, bangunan dengan dominasi warna merah dan juga motif naga seakan menyambut pengunjung, penulis diperkenankan memasuki bagian dalam tepekong.
Bang Yudi yang menjaga tepekong, bertutur bahwa kelenteng ini di peruntukan untuk tempat ibadah umat Kong Hu Cu, Taoisme dan juga Budha, namun yang lebih menarik lagi meski berada di tengah tengah perkampungan yang di dominasi oleh para penduduk yang beragama Islam.
Toleransi terasa indah sekali, bahkan letak kelenteng Tek Seng Bio sangat berdekatan dengan masjid Nurul Huda. Tahun 1998 di mana kerusuhan yang melanda sebagian besar kota kota di Jabodetabek saat itu yang juga melanda Cikarang, hebatnya para penduduk yang rata rata muslim menjaga tempat ibadah ini sehingga tak ada pengrusakan sama sekali.
Karena di izinkan memasuki ruangan dalam, maka dengan langkah antusias Penulis pun mengikuti langkah menuju bagian belakang kelenteng, di ruang tengah terlihat aneka lilin yang menyala, akhirnya saya terus berjalan dan masuk di sebuah ruangan, menurut Bang Yudi bahwa ruangan ini sering di kunjungi oleh warga yang ingin melihat petilasan.
Sebuah ruangan berbentuk empat persegi inilah setiap malam Senin dan Kamis, warga yang beragama Islam menyempatkan untuk panjatkan do’a. Ada empat sekat dengan masing masing nama yang tertera, yaitu Embah Raden Surya Kencana, Aki Jenggot, Imam Soedjono dan Embah Sabin, mereka ini adalah penyebar agama Islam di kawasan Cikarang pada abad ke 17. Kelenteng Tek Seng Bio menjadi saksi bisu yang merekam jejak budaya luhur yang terbungkus sebuah kedamaian dan toleransi, saling menghargai tak saling mencaci, di sebuah sudut kelenteng.
Ruangan petilasan menyadarkan bahwa saling menghormati jauh lebih indah di banding harus saling memaki. Semoga akan terus bercerita dengan aksara indah bahwa di sebuah tempat bernama Pasar Lama Cikarang, akan terus membingkai indahnya ragam budaya dan inilah kita semua adalah Indonesia.
Klenteng Tek Seng Bio termasuk rumah ibadah tertua di wilayah kabupaten Bekasi, mungkin ini salah satu bangunan cagar budaya yang ada di kota Cikarang. Indonesia memang beragam etnis dan juga ada agama yang berbeda beda, beruntung di daerah Cikarang dan sekitarnya kerukunan antar umat beragama selalu terjaga dan membuat suasana tetap harmonis dan kondusif.
Penulis yang memang berdomisili di sekitaran Cikarang berharap agar kondisi seperti ini tetap terjaga,aman dan tentram dan saling menghormati, setuju enggak nih dengan pendapat penulis?