Sekolah Pukul 05.30, Obsesi Serasa Sensasi

Sekolah Pukul 05.30, Obsesi Serasa Sensasi

Viktor punya kesempatan mengeksekusi obsesi besarnya secara lebih terencana. Tak ada kata terlambat untuk memulainya. Jika tergesa-gesa, obsesi yang seharusnya berujung prestasi ini hanya serasa sensasi.

Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN

Mengetik kata kunci ”kebijakan masuk sekolah jam 5.30 pagi di NTT”, dalam 0,37 detik, mesin pencari Google menampilkan sekitar 26.000 hasil. Di media sosial, pencarian kata kunci itu mendapati unggahan bernada kecaman, dukungan, dan kritik pedas yang dikemas dalam nada guyon.

Keriuhan ini mulai muncul pada Senin (27/2/2023) pagi ketika beredar gambar dan video yang berisi anak sekolah dan guru menembus kegelapan malam untuk datang ke sekolah. Mereka memulai kegiatan belajar mengajar saat hari masih gelap.

Sekolah mulai lebih pagi merupakan intruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat. Ini berlaku untuk siswa kelas XII pada 5 SMA negeri dan 5 SMK negeri di Kota Kupang. Berdasarkan regulasi, pengelolaan SMA dan SMK merupakan kewenangan pemerintah provinsi.

Viktor punya obsesi besar agar lulusan SMA/SMK bisa diterima di kampus-kampus ternama di Indonesia ataupun luar negeri. Selain itu, paling tidak dua SMA di NTT masuk deretan 200 SMA terbaik nasional. Obsesi yang perlu diapresiasi.

Obsesi itu ia sampaikan pada pekan lalu saat tatap muka dengan para kepala SMA di Kota Kupang. Namun, tanpa kajian mendalam yang melibatkan berbagai pihak, tanpa sosialisasi, arahan Viktor itu langsung dieksekusi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT.

Pada Rabu (1/3), Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi menggelar konferensi pers untuk menegaskan sikap pemerintah. Tetap belajar lebih pagi. Instruksi gubernur sebelumnya pukul 05.00 diundur menjadi pukul 05.30. Linus menggelar konferensi pers setelah menghadap Viktor.

Ini pemaksaan. Saya tidak bisa belajar dengan baik.

Tanpa perencanaan yang matang, pelaksanaannya pun tergesa-gesa. Beberapa video dan gambar juga memperlihatkan siswa tidur di dalam ruang kelas tanpa guru. Mereka tak bisa menahan kantuk karena harus bangun pukul 04.00 untuk bersiap ke sekolah.

Mereka tidak terbiasa melakukan aktivasi pada jam itu. Selama ini, kegiatan belajar mengajar pukul 07.00. ”Ini pemaksaan. Saya tidak bisa belajar dengan baik,” ujar seorang murid di SMA Negeri 1 Kota Kupang.

Ucapan ini menandakan tidak semua siswa menyukai waktu belajar pukul 05.30. Mereka terbebani. Mereka terpaksa, khawatir disangsi pihak sekolah. Padahal, siswa merupakan subyek belajar dalam paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Kalau subyeknya sendiri tidak bisa menerima, apakah proses ini dapat mencapai tujuan? Tujuan untuk meningkatkan prestasi siswa, menembus perguruan tinggi ternama di Indonesia, dan sekolah mereka masuk jajaran 200 SMA terbaik nasional apakah mungkin tercapai?

Novi Poespita Candra, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada yang juga Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan mengingatkan, prestasi siswa meningkat jika motivasi internal belajar siswa tinggi. Motivasi internal tinggi jika ada hormon kebahagiaan dalam diri siswa.

”Hormon kebahagiaan muncul jika proses di sekolah memunculkan hormon dopamine (memunculkan tantangan), hormon oksitosin (memunculkan cinta kasih), hormon serotonin (anak-anak merasa bermakna), dan hormon endorphin (suasana kegembiraan),” papar psikolog itu.

Selain murid, suara orangtua juga harus didengar. Rutinitas mereka otomatis berubah. Rauf (50), orangtua murid di SMAN 1 Kupang, mengeluh lantaran harus mengantar anaknya ke sekolah. Selama ini, anaknya menggunakan angkutan kota yang mulai beroperasi di atas pukul 06.00.

”Saya ini nelayan. Biasanya saya ke laut dini hari. Sekarang saya tidak bisa mencari ikan. Lalu siapa lagi yang menafkahi keluarga saya? Mau ambil uang darimana?” ujarnya dengan nada kesal.

Kondisi serupa juga dialami orangtua lain. Mereka khawatir dengan keselamatan anak mereka yang berjalan kaki atau menggunakan kendaraan sendiri melewati jalanan yang gelap tanpa penerangan memadai. Jangan sampai anak mereka menjadi korban kejahatan.

Perlu perencanaan matang

Obsesi Viktor untuk menghasilkan generasi berdaya saing perlu didukung. Viktor memikirkan masa depan generasi di NTT. Betapa bangganya orang NTT jika ada anak dari keluarga miskin yang bisa menembus perguruan tinggi ternama di dunia. Untuk mencapai obesesi itu, perlu perencanaan matang.

Pemerintah daerah harus terlebih dahulu melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat bahwa ada sekolah unggulan pada jenjang SMA. Di sekolah itu, anak-anak akan disiapkan secara khusus sesuai cita-citanya termasuk ke jenjang perguruan tinggi.

Untuk bisa masuk ke sana, harus melewati seleksi. Oleh karena itu, anak-anak harus sudah menyiapkan diri. Di Indonesia, model ini sudah diterapkan di SMA Siwalima Ambon yang dikelola oleh Pemprov Maluku. Barangkali Pemprov NTT bisa studi banding ke sana.

Anak-anak harus disiapkan sejak lama, setidaknya ketika masuk kelas X SMA. Sementara yang dilakukan saat ini di NTT adalah belajar pukul 05.30 untuk siswa kelas XII. Rombongan belajar ini kurang dari dua bulan ke depan sudah tamat dari jenjang SMA. Rasanya sulit.

Kompetensi tenaga pengajar juga perlu ditingkatkan. Ide Viktor yang menghadirkan pengajar tamu dari kampus ternama dengan metode interaktif dan menyenangkan dapat diterapkan. Ini bukan berarti menganggap guru di daerah tidak mampu. Ada baiknya jika ruang kelas diselingi suasana baru.

Fasilitas juga tidak kalah penting. Banyak sekolah di NTT masih jauh dari standar untuk kategori fasilitas. Sebaiknya sisi itu perlu diperhatikan demi menunjang pembelajaran menjadi lebih efektif dan menyenangkan. Pernyataan Viktor bahwa 50 persen anggaran di NTT untuk sektor pendidikan agar dialokasikan lebih tepat sasaran.

Eksekusi atas perencanaan ini tidak bisa dalam satu-dua hari. Betul bahwa perbaikan berjalan seiring, tetapi setidaknya persiapan sudah lebih dari separuh konsep. Ini agar tidak serasa berjalan dalam kegelapan malam melewati jalanan berbatu.

Viktor dengan kuasa penuh di NTT punya kesempatan besar untuk mulai mengeksekusi obsesi besarnya itu secara lebih terencana. Belum ada kata terlambat. Jika terus dipaksa seperti yang berjalan sekarang, obsesi yang seharusnya berujung prestasi ini hanya serasa sensasi.

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/03/03/sekolah-jam-530-obsesi-serasa-sensasi

Tinggalkan Balasan