Mengapa China, Bukan yang Lain

Humaniora0 Dilihat

Mengapa China, Bukan yang Lain

Nani Nurcahyani

 

“Jadilah orang yang MISKIN ilmu, dengan begitu kamu akan selalu merasa kehausan dalam hidup”

 Kalimat itu selalu berlari-lari dalam ingatanku. Ya, Si Dosen nyentik sekaligus pembimbing tesis kesayanganku di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Pak BNY, yang terkenal dengan “LOGIKA” berpikir tingkat tinggi itu sering menjejaliku dengan filsafatnya meski terkadang aku harus memutar otak untuk menangkap makna yang ingin disampaikan. “Jika ada kesempatan belajar, maksimalkanlah,” pesan beliau. Sekilas terlintas juga sebuah hadits “Tuntutlah ilmu walaupun sampai negeri China”. Mengapa China, bukan negara lain? Pertanyaan itu terus saja berputar-putar dalam otakku.

Sore itu tanggal 4 Februari 2019 jam 4 aku masih asyik mengendarai Satria kesayanganku menuju rumah. Maklumlah, jarak rumah ke sekolah 42 km. Entah mengapa, gawaiku terus saja bergetar. Aku tahu ada telepon, tapi tidak kuangkat. Kalau penting, pasti telepon lagi pikirku. Setiba di rumah kulihat nomor Jakarta yang menelepon. Saat itu guru-guru alumni lomba-lomba Kesharlindung ribut membuat status di media sosial kalau mereka lolos pengiriman serbu guru ke luar negeri. Aku sudah putus asa karena sudah hampir sebulan tak ada orang kementerian yang menghubungi. Setengah 5 sore, gawaiku berdering Kembali, kuangkat ternyata Mbak Vicka dari GTK. Aku kaget bukan main setelah belaiu mengabarkan bahwa aku mendapatkan kesempatan belajar STEM dan HOTS di China. Bahagia bukan kepalang saat itu. Syukur, Alhamdulillah aku terpilih mengikuti short course ini meskipun sebenarnya aku ingin ke Belanda. Mungkin Allah SWT punya rencana pikirku. Besoknya aku harus mengurus surat-surat ke imigrasi dan dinas pendidikan Kabupaten Malang.

 

Maret 2019 tiba. Saatnya aku terbang menuju negeri tirai bambu. Mataku terbelalak melihat peradaban di sana. Sebulan hidup di dominitory kampus China University Mining of Technology (CUMT)  membuatku paham mengapa kita harus belajar di China. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dan dipraktikkan di Indonesia sekembaliku nanti. Aku betul-betul menjadi saksi hidup bagaimana orang-orang China membangun peradaban. Kita mulai dari hal kecil, Bahasa China begitu disanjung dan diagungkan. Acara resmi tetap menggunakan Bahasa China. Kedua, siswa SD kelas I-III sudah ditanamkan pendidikan karakter mulai dini.  Mereka diajarkan bagaimana menghormati yang lebih tua, menghargai sebaya, dan menyayangi yang lebih muda. Pendidikan karakter begitu lekat pada diri mereka. Kuintip dari balik kaca, begitu seriusnya mereka memerhatikan sang guru. Kulihat deretan sepatu dan payung berjajar rapi layaknya orang antre. Di kelas sebelah terlihat anak-anak yang begitu asyik membaca. Mereka begitu menikmati suasana sekolah. Tiba-tiba ada 3 gadis cantik bermata sipit mendatangiku lalu menyapa, “Ni Hao?” (halo) sontak kujawab, “Ni Hao ma.” (apa kabar). “Wo shi hao pengyou,” lanjut mereka. Sambil terbata-bata kujawab tiap pertanyaan mereka meskipun terkadang bahasaku China bercampur Inggris ditemani google translate yang begitu membantu serta 3 mahasiswa yang ditugaskan mengawal kami, Barman, Pateson dan Shano.

Ini foto waktu masih jadi model gadis sampul

 

Tahukah kalian? Ternyata orang-orang China selain memiliki karakter yang kuat mereka juga memiliki “International Inovation Center” yang telah bekerja sama dengan banyak negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan Australia untuk meningkatkan inovasi dalam segala bidang. China mengirimkan putra-putri terbaik bangsa untuk menuntut ilmu dari negara-negara maju. Sekembalinya mereka dari sana, tuntutan untuk membuat inovasi yang telah mereka pelajari atau bahkan harus melebihi inovasi yang dibuat oleh negara lain. Tak heran, jika pasaran dunia dikuasai China. Produk-produk yang mereka buat kualitasnya hampir sama dengan negara maju dan harganya pun lebih murah. Hari gini, siapa yang tidak ingin barang murah, tapi berkualitas. Barang elektronik, seperti smartphone, televisi, kulkas, dan lainnya dikuasai pasaran China. Bahkan kami diajak melihat robot buatan anak PAUD yang terbuat dari lego, buatan Siswa SD sampai perguruan tinggi yang telah dirancang sedemikian rupa dengan programming tingkat dewa. Ada robot petarung, penari, pelayan, pembuat minuman, dan lain sebagainya. Hebat pokoknya. Rahasianya adalah Pemerintah China langsung terjun ke lapangan untuk bekerja sama dengan sekolah-sekolah mulai PAUD sampai perguruan tinggi untuk mencari bibit-bibit siswa yang mampu menguasai robotik.

 

Keesokan harinya, kami ber-52 dibawa ke SD dan SMP model untuk melihat proses pembelajaran. Kami disuguhi tarian dan minuman sebagi menu pembuka. Kami dibagi menjadi beberapa kelas. Aku mengambil kelas Bahasa. Di kelas itulah kutemukan yang namanya STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, Mathematic). Guru melakukan apersepsi lalu memberikan stimulus berupa kata kunci yang ditulis di kertas. Siswa diminta mendeskripsikan kata kunci tersebut. Mereka begitu aktif, bergantian mengemukakan pendapat masing-masing. Selanjutnya guru menayangkan gambar bunga sakura di papan tulis. Tahu nggak? Papan tulis mereka ternyata layar sentuh. Guru memberikan game menjodohkan berupa kata yang bergerak turun. Mereka diminta  menyentuh kata yang berhubungan dengan gambar tadi. Selesai itu mereka bermain peran menggambarkan diri mereka menjadi bunga sakura yang bermekaran dan indah sambil menari. Ada siswa yang menyanyi. Bahkan aku diajak mereka untuk ikut bergembira menari menjadi bunga sakura dan kupu-kupu.

 

Suasana kelas begitu asyik dan menyenangkan. Jauh dari kata membosankan. Guru-gurunya pun sudah menyiapkan materi dan soal di papan tulis. Siswa menjawab soal melalui tombol yang ada di kursi mereka. Semacam Quizziz kalau di Indonesia… nilai mereka berkejar-kejaran terlihat di papan tulis. Terakhir ada puisi dan bunga yang diberikan kepada kami. Aku sedari awal mencari kursi guru kok tidak ada. Ternyata di China sengaja guru tidak duduk, mereka berkeliling membimbing siswa satu persatu dengan sabra. Coba di Indonesia gurunya tidak diberi kursi… tidak terbayang. Hihiiii… sepulang dari sekolah, kami kuliah umum. Kami diberi gambar berupa lukisan berjudul “Laki-laki dan Buku”. Anehnya laki-laki dalam lukisan tersebut tidak membaca buku. Di situlah kami mulai berpikir tingkat tinggi (HOTS). Diklat HOTS dan STEM dimulai. Lukisan itu ternyata penuh makna. Buku yang dimaksud adalah alam sebagai sumber ilmu pengetahuan. Laki-laki dalam lukisan memandangi gunung tinggi berdiri kokoh. Dari gunung mengalir air jernih untuk sawah petani. Lebih lengkapnya nanti baca di bukuku yang akan segera meluncur ya… inti pembelajaran berbasis STEM, tidak hanya seputar kecanggihan teknologi, tetapi hal sederhana dapat juga berbasis STEM. Art-nya di mana. Ternyata pembelajaran di China disesuaikan dengan minat dan bakat siswa. Jika sukanya menyanyi, ya diajak menyanyi disesuaikan dengan materi saat itu. Jika suka menari ya diberi waktu mengembangkan bakat mereka saat pembelajaran berlangsung. Tak ayal suasana pembelajaran menjadi menyenangkan. Seperti itulah kira-kira.

 

Selain inovasi, kebudayaan China begitu menakjubkan. Mereka begitu menjaga kekayaan busaya yang dimiliki. Kalau di Indonesia banyak Candi, di sana banyak kuil. Kami pun diberi kesempatan mengunjungi kediaman sang filusuf besar “Kongfusius”. Kami belajar makna hidup dari sana dipandu Tour Guide Miss Susi. Tak lengkap kalau ke China belum naik tembok China. Sebagia dari kami menghabiskan uang saku untuk mengunjungi tujuh keajaiban dunia “The Great Wall”. Pengalaman tak terlupakan Ketika aku berhasil mencapai puncak dan mengibarkan bendera merah puti dan selempang kebanggaan arek Malang “AREMANIA”. Selanjutnya kami juga menikmati keindahan danau dan kota di Xuzhou. Itulah sekelumit sejarah yang pernah kuukir di China. Reward yang aku terima setelah menjuarai Inobel SMP tahun 2018 lalu.

 

#Nani Nurcahyani

#SMPN 1 Tumpang Kabupaten Malang

Fb : Nani Bilqish

Ig : @pelangi1717

YT : Pelangi 1717

Blog : www.pelangi1717.com

 

 

Tinggalkan Balasan