Ada Raina dalam Hidupnya
Pagi ini aku sengaja berjalan kaki menyusuri taman di sekeliling villa. Bunga dan kumbang nampak berseri, disambut lembut cahaya mentari, sebagian daun berguguran sebagian lagi terlihat bersemi.
Aku terus berjalan menghampiri deburan ombak yang menyeruak menyeru keheningan diri, burung camar sesekali terbang sambil bernyanyi mengepakan sayap kerinduan yang menyayat hati.
Dari kejauhan kulihat nelayan dan penjaja ikan sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sementara aku masih sibuk dengan lamunanku entah apa yang harus aku lakukan, aku sendiri bingung. Aku ingin pulang dan memeluk erat bundaku, aku selalu merasa kesepian meski dalam keramaian, aku merasa sendiri meski banyak teman yang mengelilingi.
“Yaa Rabb, tolong aku. Keluarkan aku dari masa laluku,” jerit hatinya sambil menahan tangis.
“Bunda, aku tidak mau buat bunda sedih dan kecewa. Aku tidak mau melihat bunda menangis, aku ingin bunda bahagia,” lanjutnya.
Angin mulai mengibaskan hijabnya yang panjang. Gadis bergamis hitam itu terus berjalan, disambut ombak kecil yang mulai membasahi telapak kakinya yang terbungkus kaos kaki berwarna coklat muda. Pikirannya terus melayang, mengikuti layang-layang yang berterbangan. Sejenak ia terhenti saat melihat anak kecil berlari-lari sambil memegang bola di tangannya. Ia teringat Aziza adik perempuannya. Bening air matanya mulai menetes melintasi wajahnya yang tertutup cadar.
“Aziza, mbak kangen banget sayang,” bisiknya dengan lirih.
Duk, bola yang dipegang gadis kecil itu dilemparkan tepat dan mengena di lengan kanan Nainawa. Membuyarkan lamunannya.
“Maaf ya mbak, bajunya jadi kotor”, suara perempuan di belakangnya menyambut bola yang dilemparkan oleh anak kecil itu.
Aku segera menoleh ke belakang.
“Oh iya, tidak apa-apa mbak, kebetulan bajuku juga sudah kotor,” jawabku sambil kuanggukan kepala dan bola mataku memberi tanda kalau aku tersenyum.
“Biar saya bersihkan ya mbak”, sambutnya sambil merogoh tisu basah di tas selempang berwarna coklat yang dipakainya.
“tidak usah mbak, tidak apa-apa. Tenang saja, memang bajunya sudah kotor, dan sekalian saya juga mau main pasir kok.” Jelasku
“Ooh, baik kalau begitu. Oiya mbak, kenalkan nama saya Raina. Ini anak saya Maura.” Sambil mengulurkan tangan kanan kepadaku dan menggandeng putri kecilnya.
“Nainawa,” aku mengenalkan namaku dan memegang erat tanganya.
“Seperti nama yang tidak asing ku dengar,” ia tersenyum dengan sedikit mengernyitkan alis kanannya.
“Oh ya. Berarti namaku pasaran dong, mbak?” tanyaku sambil ku sambut senyumnya dengan ramah.
“Tidak juga. Nama yang jarang, tapi sering ku dengar.” Balasnya sambil melirik ke arahku.
Aku sendiri tidak begitu penasaran dengan kalimat yang dilontarkan oleh Raina. Tetapi, Raina mulai membuka cerita tentang nama yang sama denganku di balik ceritanya. Belum juga Raina bercerita panjang lebar, suara lelaki dengan jarak sekitar lima puluh meter dari kami membuyarkan ceritanya.
“Rainaa, Maura.. ayo kita siap-siap untuk pulang,” teriaknya sambil melambaikan tangannya.
Seketika aku dan Raina menoleh ke arahnya.
“Iya, Abii sebentar ya,” jawab Raina sambil menggendong putrinya.
“Ustadz…,” aku terkejut dan terhentak, hingga terdengar oleh Raina.
“Nainawa kamu kenal Ustadz Athar?” tanya Raina dengan penuh keheranan.
Bersambung…..
Wiwi Widiastuti
KMAB hari ke-1