Cerpen: Valentine yang Malang

Cerpen82 Dilihat

“Buat apa merayakan Valentine? Bukankah cinta memang dan harus dihidupi setiap hari? 14 Februari hanyalah satu di antara 365 hari yang terus kita lewati”

Besok Minggu hari Valentine. Seorang wanita di atas meja pada sebuah ruangan kantor sedang sibuk menulis agenda di antara tumpukan pekerjaan. Wanita itu menulis beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan ketika Valentine tiba.

Pengalamannya menunjukkan, Valentine adalah hari bahagia. Beberapa Valentine dari tahun ke tahun dilewati, dan takada satu pun yang mengecewakan. Valentine selalu berhasil membuat kisah cinta mencapai klimaks. Dopamin dan endorfin bergelimang di sana.

Dulu, setiap Valentine, wanita itu setidaknya mendapatkan cokelat dari pacar-pacarnya. Kemudian, makan bersama di kafe yang bebas dia tunjuk. Lanjut karaoke di tempat karaoke kesayangan. Hingga, beberapa kali pernah menghabiskan malam berdua di hotel langganan.

Tahun ini, bersama pacar barunya, wanita itu ingin mengulangi itu semua. Mereka baru jadian sebulan lalu. Dikenalkan oleh sahabatnya, pada acara pendidikan dan pelatihan lintas kantor.

Wanita itu sebetulnya tidak tertarik dengan wajah lelaki barunya. Alasan satu-satunya yang membuat dia jatuh cinta adalah kecakapan pacarnya dalam presentasi pekerjaan.

Wanita itu tidak pandai bicara di depan umum. Dia terlalu takut dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul seusai dia bicara. Bayangan-bayangan menjatuhkan dan merusak argumennya berkelebatan terus di pikirannya. Pertama kali dia presentasi, temannya menemukan rok dan lantai di bawah tempat dia berdiri, basah. Dia terkencing-kencing.

Sampai sekarang, sudah lima tahun bekerja, wanita itu tetap tidak berani bila harus tampil di depan banyak orang. Dia memilih memperdalam perannya di belakang layar.

Sejak saat itu, dia beranggapan bahwa orang yang bisa presentasi, menyajikan paparan dengan percaya diri, bahkan diselingi candaan yang menarik, sangat hebat. Keren di matanya. Itu yang ditemukan pada lelaki barunya.

Besok pukul delapan, rencana jalan-jalan ke tepi pantai Valore. Memandangi indahnya pantai pasir putih sembari berdua menikmati cokelat hitam di tengah angin sepoi-sepoi. Setelah itu, minum es kelapa muda dan beberapa potong pisang goreng hangat.

Siangnya, pergi ke kafe Mutiara. Menikmati seduhan kopi panas sambil mendengarkan para musisi jazz bernyanyi. Tidak lupa, nasi goreng ayam dengan cita rasa pedas menjadi menu makan siang. Nasi goreng terlezat seantero kota.

Menjelang senja, kita bermain di taman bermain di tengah kota. Komidi putar, ontang-anting, ice age, halilintar, dan seluruh wahana harus dikunjungi. Lanjut malam, kita menonton film di bioskop. Aku selalu suka menghabiskan malam di bioskop. Kalau kamu berhasil menaklukanku, akan ada bonus seusai menonton.

Setelah menulis itu semua, dia mengirimkan pesan lewat ponsel ke pacarnya. “Besok jam tujuh main ke rumah ya, Yang. Aku mau jalan-jalan. Jangan lupa Yang. Muaacchh

Wanita itu berharap dia mengerti apa yang seharusnya dilakukan seorang lelaki pada pacarnya. Apalagi di hari Valentine.

***

Waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Belum ada tanda-tanda kedatangan pacarnya. “Ah, mungkin dia belum bangun tidur. Biasa, ini kan hari libur.” Wanita itu berbisik dalam hati.

Matahari semakin meninggi. Debu-debu aspal terlihat beterbangan jelas di selipan udara, di bawah sinar yang sangat terang dan panas menyengat. Beberapa orang di luar mengenakan payung. Berusaha mencegah kulit agar tidak menghitam.

Masih tidak ada tanda-tanda pukul satu siang itu. “Apa mungkin dia ketiduran? Masak belum bangun sampai siang ini?” Wanita itu tetap berpikir positif dan memperpanjang kesabaran. Dia tidak mau menelepon pacarnya. Dia ingin ini menjadi sebuah kejutan baginya.

Beberapa saat kemudian, senja tiba. Malam pun datang. Masih saja sepi terlihat di depan rumahnya. Kesabaran wanita itu mulai habis. Menjelang pergantian hari, dikirimnya pesan ke ponsel pacarnya. Tidak ada balasan hari itu juga.

***

Keesokan hari, tepat pukul enam pagi, ponselnya berdering. Sebuah gambar amplop di ujung layar muncul. Segeralah dia buka dan baca. Pesan dari pacarnya.

“Maaf, Yang. Aku tidak merayakan Valentine. Pasti kamu berharap kita jalan-jalan berdua sepanjang hari kemarin. Bagiku, itu tidak perlu.”

“Tidak cukupkah aku menunggu setiap hari di depan gerbang kantormu. Ditemani hujan dan remang-remang cahaya lampu di larut malam. Aku selalu khawatir bila kamu pulang sendirian. Jalanan depan kantormu yang sepi menambah kecemasan.”

“Selain itu, aku berusaha menyisihkan sebagian kecil gajiku untukmu, kendati kamu belum jadi istriku. Hebat bukan? Kamu belum hidup serumah denganku, tetapi sudah menikmati jerih payahku.”

“Aku tahu, gajimu tak seberapa. Habis pula menghidupi keempat adikmu yang masih kecil itu. Apalagi, ibumu sakit-sakitan. Aku tidak kuat melihat tanggunganmu sebagai anak pertama.”

“Belum lagi, aku selalu menjaga nama baikmu di depan sahabat-sahabatku. Mereka kerap berbicara jelek terkait dirimu. Tetapi, kuhempaskan semua dengan hal-hal baik yang bisa diceritakan darimu. Tentang tanggung jawabmu, keuletan bekerjamu, sampai ketegaran dirimu.”

“Aku tahu, sepuluh lelaki kamu lewati sejauh ini. Aku tak bisa membayangkan betapa kuatnya dirimu bermain cinta sebanyak itu. Diputus atau memutus, tetap saja menyakitkan. Aku pun tak menyangka bisa menerimamu. Mungkin aku gila.”

“Terakhir, tanpa kau ketahui, namamu, adik-adikmu, dan ibumu selalu kudoakan setiap malam. Agar kamu bisa melupakan akar pahit tentang perilaku bangsat ayahmu, derita cinta dari lelaki-lelaki keparat itu, hingga tetap tegar mengampu tanggung jawabmu.”

“Tidak cukupkah itu semua menjadi bukti cintaku untukmu?”

Seusai membaca, jarinya mengetik beberapa kalimat.

“Tapi, ini kan Valentine, Yang. Hari spesial di mana orang-orang memadu cinta, melepaskan kasih sayang. Seharusnya, aku dapat itu semua. Setidaknya cokelat darimu. Tetapi kenapa kamu tidak peduli sama sekali? Kamu tidak benar-benar cinta padaku? Seharian aku kamu diamkan.”

“Kamu harusnya datang ke rumahku. Kamu harusnya ajak aku jalan-jalan. Kamu harusnya mentraktir aku makan. Aku malu, diejek teman-teman. Valentine kok diam-diam saja.”

Tidak ada pesan balasan setelah pesan itu. Karena keingintahuan dan kejengkelan semakin menumpuk, wanita itu memutuskan pergi ke rumah pacarnya. Tepat pukul delapan sepulang kerja setelah makan malam, dia berangkat dengan ojek pengkolan.

***

Tok..tok..tok

“Iya, siapa?” Terdengar suara wanita paruh baya menyahut.

“Siska, Bu. Adam ada?”

“Oh Siska. Iya, Adam ada. Ayo ke dalam” Wanita itu mempersilakan masuk rumah. Langsung tepat menuju kamar lelaki yang dicintainya itu. Di atas ranjang, tergolek lemah pacarnya itu, dengan handuk dingin di atas dahinya.

“Adam sakit, Bu” Gelisah dan perasaan bersalah tiba-tiba menyelimuti hatinya.

“Iya, mulai pagi kemarin panas tidak turun-turun. Ini baru selesai ke dokter. Jam dua belas tadi obat kedua sudah diminum”

Setelah mendengar penjelasan, wanita itu tertunduk lesu. Tangannya memegang lembut kedua tangan pacarnya yang lemas tak berdaya. Mendadak teringat kembali kata-kata dalam pesan yang telah dilontarkannya. Wajahnya diliputi penyesalan. Mengapa dia lebih mementingkan dirinya sendiri.

Jakarta

19 Desember 2020

Catatan: Telah tayang pula di Kompasiana.com

Tinggalkan Balasan