SEPOTONG KENANGAN DI RUMAH OPA

Cerpen21 Dilihat

Opaku bernama Madope Olie. Cuma begitu. Tapi aku, kami para cucunya hanya memanggilnya Opa. Tanpa menambah menyertakan namanya. Kebiasaan itu akan terus seperti itu dan akan selamanya demikian.

Entah apa nama sesungguhnya? Aku tidak tahu persis. Itu karena tidak pernah diberitahukan kepada kami. Sejak lahir sebagai cucu tertua, aku belum pernah tahu nama sebenarnya. Bagiku yang penting Opa masih mempunyai identitas. Dan aku, kami, siapa saja, semua orang mengenal dan memanggilnya dengan nama itu. Itulah identitasnya.

Dan menurutku tidak ada masalah dengan nama itu. Sama sekali takada yang keliru seandainya ada yang berbisik menyatakan itu sebagai sebuah kekeliruan. Dan lagi, rasanya takperlu juga dicari mengapa nama seperti itu disematkan padanya.

Sebab Shakespeare pernah berkata dalam tanya: “Apa arti sebuah nama?” Artinya mau diberi nama apapun dia tetap seperti itu. Tidak ada yang berubah dengan pemberian nama lain kepada sesuatu yang sudah mempunyai nama. Apalagi motivasi penggantian nama itu hanya karena kurang keren atau biar agak kebarat-baratan. Beraroma Internasional.

Nama itu akan melekat menetap dalam diri seseorang sejak awal disematkan padanya. Dia akan mengkristal dan menyatu dengan diri yang empunya. Karena nama tersebut adalah diri sesuatu yang dimaksud itu. Hakikat diri adalah nama.

Nama sebagai hakikat diri itu mengabadi dan mahal. Sangat berarti. Itu sebabnya tercetus peribahasa bermakna karena nama yang melekat erat dalam diri:” Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati menginggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama.”

Ada banyak orang memberi nama dengan harapan ia akan seperti nama yang disandangnya. Tetapi ketika yang empunya nama itu berperangai tidak sesuai harapan maka dengan serta merta diganti dengan nama yang lebih bagus. Tujuannya agar perangainya berubah sesuai nama itu. Tetapi tetap sama. Dia masih seperti yang dulu.

Mungkin karena itulah sang sastrawan kondang asal Inggris itu berkata demikian. Dia seolah mau bilang: “Sudah gak usah diganti. Sebab mau diganti dengan nama apapun ia akan tetap sama seperti itu. Dia tak akan berubah.”

Jadi menurutku nama itu sebutan luar saja. Yang penting darinya adalah isi dalam diri orang itu. Yaitu seluruh kepribadian yang menyandang nama itu. Cara pandang, cara berbicara dan cara bertingkah laku akan memperkuat memperkokoh namanya sebagai sesuatu yang mahal yang layak dikenang.

Nama Opaku yang tidak mentereng. Itu yang merangsang orang mengotak atik otaknya sendiri mengatai. Mereka dengan tega berceloteh: “Sangat kampungan.” Tapi ocehan orang-orang di luar dirinya itu tidak mempengaruhi apa dan siapa dirinya. Mereka tidak mampu merusak kebiasaan baik yang sudah menjadi identitasnya. Identitas yang melebihi sebuah nama.

Opaku ini senang berkunjung ke siapa saja yang dianggap atau yang dia rasa harus dikunjungi. Apakah itu tetangga, kenalan ataupun saudara. Tidak perduli jarak. Entah jauh atau dekat. Ketika saatnya harus pergi menurut nalurinya, dia akan pergi menyambangi orang yang dimaksud.

Semua yang aku ceritakan tentang Opaku ini aku saksikan dengan mataku sendiri. Sebab orangtuaku jarang menceritakan tentang orangtuanya itu. Jadi aku hanya menalar dari segala yang aku amati dari kehidupan Opa sekalipun aku taktinggal bersamanya. Tapi karena kami sering bertemu. Sering bertemu sesering ia mendatangi kami.

Karena suka dan senang berkunjung siapa pun yang dianggapnya perlu maka dia tidak akan berlama-lama di satu tempat. Datang hanya sebentar saja. Asal hasrat bertemunya sudah terbayar, ia pun mundur. Kabur ke tempat lain seturut nalurinya menuntun. Dan takbisa ditahan agar diam di situ. Dia tak akan termakan iming-iming.

Dan ketika mengunjungi siapa pun takada maksud lain kecuali berkunjung itu. Dia hanya mau melihat apa yang sedang terjadi sehingga nalurinya menuntun dia ke situ. Dia juga tidak membawakan bunga, makanan favorit atau bawaan bermakna lainnya. Ia hanya membawa dirinya seadanya dengan apa yang melekat padanya saat itu.

Kesukaannya bersilaturahim membuatnya selalu segar. Sehat jasmani dan rohani. Ia sehat secara jasmani karena ke mana-mana selalu ditempuhnya dengan jalan kaki. Lenggang santai menyusur jalan. Sehat rohani karena ia tidak memendam rasa yang bertumpuk-tumpuk. Semua tersalurkan secara apik alami.

Sudah sekian lama Opa tidak menyambangi kami ataupun orang-orang yang biasa ia datangi. Jeda waktu yang cukup lama dilihat dari kebiasaan-kebiasaannya itu. Sehingga aku bertanya kenapa? Tapi aku juga hanya menggemakan tanya dalam hati. Sebab kalau aku Tanya pada Papa dan Mama, pasti aku disuruh pergi ke Opa.

Aku takbisa pergi mengunjunginya sekarang. Biasanya pun aku tidak bisa ke Opa sesering atau sesuka yang dia lakoni selama ini terhadap kami. Alasannya sederhana. Aku sekolah. Tugas daringku berjibun. Dan harus selalu kukirim kembali ke guru-guru seusai beres. Tapi aku kangen sekali.

Belum juga terjawab pertanyaanku kenapa Opa takkunjung datang berkunjung, dia meneleponku. Ah, terima kasih Tuhan! Desisku. Kuraih dan tempelkan di telinga. Aku menjawab mengikuti alur pertanyannya.

“Ia Opa!”

“Besok datang dengan adik-adikmu. Opa rindu cerita sama kalian. Jangan terlalu siang datangnya. Opa akan siapkan sesuatu yang kalian suka. Jangan tidak datang!” Hanya itu pesan yang disampaikannya. Namun sesekali dia harus berhenti bicara di sela tarikan napas.

“Siap, Opa! Nanti Dave kasih tahu adik-adik. Besok kami rame-rame ke Opa.” Ia tak menjawab lagi. Opa langsung mematikan telepon.

Segera aku bilang ke adik-adikku dan sepupu-sepupuku. Mereka semua berespon cepat dan senada. “Siap!” Demikian ucapan mereka yang kusimpulkan. Berarti takada masalah. Aman!

Jam sebelas pagi kurang lebih kami sudah berada bersama Opa. Kami duduk setengah lingkaran di depannya mendengarkan. Opa tidak banyak bicara. Aku yang agak banyak bertanya. Terutama tentang nama dan kebiasaannya yang unik.

“Opa panggil kalian karena masak kesukaan kalian. Opa sudah masak Sop Iga Kacang Merah. Opa sendiri yang mengolah, meracik dan memasaknya hingga siap dihidangkan. Nah, kalian tinggal ambil dan nikmati.”

“Ia Opa. Terima kasih banyak, Opa sayang!” Begitu respon kami serempak. Baru juga bangkit menuju dan melacak acak ruang makan juga dapur, Opa tambahkan.

“Tapi ingat! Kalau selesai makan, atur kembali seperti semula. Maksud Opa, abis makan cuci piring masing-masing dan kembalikan ke tempatnya.”

“Oh, siap Opa. Pasti!” Jawab kami tanpa ragu. Opa selalu mengajarkan kami untuk jangan malas dan semena-mena. Mentang-mentang. Ada bibi yang membantu, tapi Opa mau kami bertanggung jawab sesudah melakukan sesuatu. Ya, seperti ini. Habis makan cucui piring sendiri. Tidak boleh diserahkan kepada bibi.

“Satu lagi. Kalau kalian mau pulang, jangan bangunkan Opa, ya! Langsung pulang aja biar Opa istirahat.”

“Ia Opa!” Jawab kami ramai-ramai.

Sesudah itu adik-adikku pun langsung menyerbu dapur. Tapi aku masih duduk. Aku ingin bertanya langsung ke Opa biar terobati rasa penasaranku. Maka cepat-cepat kutanya Opa sebelum dia meluruskan badan di atas tempat tidur.

“Opa, Dave mau tanya. Tapi Opa jangan marah, ya.”

“Ya. Mau tanya apa?”

“Kenapa nama Opa begitu? Unik. Ada artinya atau tidak? Maaf, ya, Opa!”

“Oh. Madope artinya suka dan senang berkunjung. Olie itu tambahan saja. Sebagai pemantas. Kenapa kamu tanya itu?”

“Em…Cuma pengen tahu aja. Thanks, Opa. Dave mau makan deh!” Aku pun bergegas tinggalkan Opa yang beranjak ke tempat tidurnya sambil menjawab dan mengingatku kembali akan pesannya tadi.

“Ya. Opa juga mau tidur. Jangan lupa, kalau mau pulang tidak usah pamit. Opa gak mau dibangunin.”

Kami masih duduk-duduk dan bermain seadanya sesudah makan hingga matahari condong ke barat. Juga sesudah semua beres kami kerjakan sesuai pesan Opa. Kami mau pulang tapi Opa belum bangun. Akhirnya kami langsung pulang sesuai kata Opa.

Tapi aku penasaran. Aku sengaja lewat dari tempat tidur Opa untuk memastikan saja. Siapa tahu Opa sudah bangun tapi segan turun dari ranjang. Waktu itu Opa tidak tidur di kamarnya tapi di dipan ruang depan yang terbuka.

Bangunkan sajalah. Paling juga Opa mengomel karena waktu tidurnya terpotong terganggu. Pikirku dalam hati. Maka aku tepuk kaki Opa untuk membangunkan. Tapi Opa tidak mau bangun. Dia tidak bangun lagi. Dia tidur selamanya.

 

 

Tilong-Kupang, NTT

Rabu, 17 Februari 2021 (12.21 wita)

Tinggalkan Balasan